Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari wajahnya. Terkadang, kita juga harus menilai seseorang dari tuturnya yang sopan agar kita bisa melihat hatinya.
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam. "Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal. "Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel. Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.
Kakak dan adik itu berpapasan saat keduanya sampai di ruang tv. Merasa di buru waktu, keduanya pun segera kembali ke ruangan keluarga.Saat keduanya sampai.Azel mendengar dengan jelas jika ibunya mengatakan perihal pernikahannya dengan cemas. Ia ingin bertanya soal itu. Namun saat melihat binar kerinduan di mata sang ibu, ia mencoba menepis dulu pertanyaan dan rasa penasarannya."Azelia." Arumi berdiri dari duduknya dengan senyuman lega. Wanita berhidung mancung itu merasa bahagia, karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat putrinya itu pulang kembali ke rumah. Ia tidak perlu lagi repot-repot video call dengan putrinya itu jika merasa rindu.Satrio sang ayah juga merasa senang melihat putrinya kembali dalam keadaan sehat. Rasa khawatirnya pun hilang saat itu juga.Azka kembali duduk di sofa, di dekat istrinya tercinta.Sebelum membaur, Azel mendeka
Suasana di ruangan keluarga terasa sedikit canggung saat ini. Kruyuk. Namun, suara perut Azel terdengar beberapa kali, membuat semua orang lepas kendali dan tertawa terbahak-bahak termasuk Rose yang baru saja tiba. Azel hanya menunjukkan cengiran kuda untuk menutupi rasa malunya. "Duh, putri bunda laper ya?" tanya Arumi basa-basi padahal sudah tahu jelas jawabannya lewat suara yang di hasilkan perut putrinya itu. "Iya..." Azel nyengir lagi. "Kalau begitu, kita makan dulu saja. Ngobrolnya dilanjut nanti setelah makan..." Kata Arumi lalu melihat Rose. "Rose pasti laper juga, kan?" ujarnya dengan senyum menyelidik. Rose tidak mengelak. "Hehe... Bunda tau aja," jawab Rose dengan tawa sedikit sungkan. "Kalau begitu." Satrio bangkit dari sofa. "Ayo! kita ke ruangan makan," ajaknya kepada istri dan anak
Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren."Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara."Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah."Baks
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya