Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.
Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren.
"Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.
Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.
Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara.
"Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah.
"Bakso sama es teh."
Hah?
Semua mata tertuju pada Azel, mereka menatap dengan tatapan tak percaya. Bahkan pelayan hotel sempat menahan tawa karena mendengar pesanan gadis itu.
'Secara gitu neng! ini kan Hotel mewah yang berkelas, bintang lima lagi. Masa iya pesen bakso sama es teh, kan nggak etis.' pikir pelayan lelaki itu.
Azel menoleh dan menatap si pelayan hotel, dengan dingin ia berkata, "Kenapa? Nggak ada?" Sorot tatapan tajam yang menghunus, membuat pelayan itu langsung gemetar.
"Ada! Bakso ada," jawab pelayan itu cepat, karena gugup.
"Ya sudah, sana siapin," kata Azel ketus dan membuat pelayan itu langsung undur diri dari ruangan itu.
Salah siapa membuat nona besar ini kesal menunggu, mesti tak bisa mengeluarkan emosinya secara langsung di depan orang tua ini. Bagaimana pun, Azel harus melampiaskan emosinya agar tak berakar di dalam hati.
Kurang dari 30 menit, beberapa pelayan memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi pesanan tadi, termasuk bakso dan es teh.
"Terima kasih," ucap Azelia. "Buat kamu." Azel memberikan 2 lembar uang kertas seratus ribuan yang baru ia ambil dari dompetnya. "Maaf ngerepotin," imbuhnya lagi.
Pelayan pria itu tersenyum senang lalu berkata. "Terima kasih, Non."
"Sama-sama," jawab Azel ramah. Azel sadar jika tindakannya tadi sudah membuat repot pelayan pria itu. Pasti tidak mudah mendapatkan bakso dalam waktu 30 menit, Azel menghargainya.
Prasetyo dan Jane tersenyum melihat tindakan Azel itu. Keduanya tidak menyangka jika Azel akan memberikan uang tip kepada pria tadi.
Di mata Prasetyo dan Jane, Azel adalah sosok wanita ideal yang sangat cocok untuk putranya, Deren.
Oh iya, Deren?
Sampai semua orang selesai makan pun, laki-laki itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Orang tuanya sampai harus beberapa kali meminta maaf dan memohon agar sekeluarga itu mau menunggu sebentar lagi.
Sayangnya, sampai waktu menunjukkan pukul 22:00, Deren belum juga datang. Padahal Jane sudah menghubungi putranya itu sampai puluhan kali, namun tak juga di angkat.
Azel menguap. Ia sengaja memperlihatkan kepada semuanya, agar mereka sadar jika ini sudah waktunya untuk pulang dan tidur.
Saat melihat putrinya menguap bebas tanpa sungkan. Arumi membulatkan matanya ke arah Azel dengan sedikit teguran. "Di tutup, Zel!" Lalu Arumi menunjukkan senyum sungkan kepada dua sahabatnya itu.
Jane yang melihat jadi tak enak hati. Ia menatap Prasetyo penuh tanya, 'Bagaimana ini?'
Dan akhirnya suaminya buka suara juga untuk meminta maaf atas ketidak hadiran putranya. Prasetyo dan Jane merasa malu sekali saat ini, pasalnya mereka lah yang meminta perjodohan ini dan meminta bertemu.
Namun anak sulungnya itu tak menampakkan diri sama sekali, sunguh mau di letakkan dimana muka mereka sekarang.
"Tidak apa-apa, Pras. Mungkin Deren lagi sibuk sama kerjaannya, sampai tidak bisa datang," ujar Satrio pengertian. "Kita bisa lakukan lain kali, dan mungkin biarkan Azel dan Deren saja yang bertemu." Kata Prasetyo dan langsung di setujui oleh semua orang kecuali putrinya sendiri.
"Kayaknya nggak perlu deh, Yah." Azel mendapat tatapan heran dari semua orang. "Kalau nggak bisa lihat orangnya langsung, lihat fotonya juga nggak apa-apa ... biar aku pertimbangkan mau ketemu dia lagi atau tidak." Azel tidak beralih dari tatapan semua orang, ia dengan berani mengutarakan pikirannya.
"Ada, tunggu sebentar." Jane membuka layar screen lock ponselnya. Ia membuka galeri dan mencarikan foto Deren yang menurutnya paling bagus dan terlihat tampan. "Ini, kamu bisa lihat," ujar Jane sembari memberikan ponselnya kepada Azel.
Azel tersenyum dan diraih ponsel itu. Matanya membulat kala melihat foto Tante Jane dengan laki-laki yang sedang tersenyum memeluk wanita itu.
Ia diam sejenak sebelum akhirnya berkomentar. "Ini anak tante?" tanyanya memastikan, padahal jawabannya sudah jelas.
"Iya," jawab Jane. "Itu Deren anak pertama tante. Gimana? ganteng, kan?" imbuhnya antusias. "Anaknya juga baik." pujinya lagi.
"Um. Yaa...." jawab Azel dengan senyuman yang dipaksakan. "Sayang banget, kenapa harus dia?" imbuhnya lagi dalam hati, lalu dikembalikan ponsel itu kepada Tante Jane.
"Karena sudah malam, sebaiknya kita akhiri dulu pertemuan ini." Prasetyo buka suara.
"Iya, menurutku juga begitu." Kata Satrio.
"Besok atau kapan, Tante akan suruh Deren minta maaf langsung sama Azelia. Azelia mau kan kalau diajak makan malam?" tanya Jane sebelum semuanya pergi.
"Insyaallah, Tante. Azel nggak janji."
Jane hanya bisa tersenyum mendengar jawaban dari Azel. Ia berharap sekali jika Deren bisa segera menikahi gadis cantik ini.
***
Di kediaman keluarga Satrio.
Azel lebih dulu turun dari mobil, ia berjalan dengan cepat memasuki rumah. Saat di perjalanan pulang, Azel sudah bilang jika ia tidak ingin menikahi anak sahabat ayahnya itu. Namun, ayahnya berkata untuk berdiskusi ketika mereka sampai di rumah.
Azel duduk di ruang TV, menunggu orang tuanya dengan kesal. Tetapi ia tetap berusaha tenang dan bersikap sopan, walaupun begitu keduanya adalah orang tuanya.
Orang tua yang di tunggu Azel akhirnya datang. Keduanya duduk di sofa untuk memulai berdiskusi dengan putri mereka.
"Aku nggak mau nikah sama laki-laki itu .... Tidak akan! dan nggak akan pernah," jelas Azel setelah orang tuanya tiba dan sudah duduk di sofa panjang ruangan tv.
Satrio mengerutkan alisnya. "Beritahu Ayah, apa alasannya?" tanya Satrio ingin tau, ia penasaran sekali kenapa lagi-lagi putrinya itu menolak untuk menikah dengan Deren.
Padahal kemarin putrinya bilang akan setuju, tapi sekarang dia kembali menolak tanpa alasan. Apa yang sebenarnya anak ini pikirkan?
Arumi melihat putrinya, bingung. "Katakan, Zel. Bunda juga ingin dengar." Arumi juga sama penasarannya seperti suaminya saat ini.
Dengan sorot mata teduh, gadis cantik itu berkomentar. "Dia itu nggak baik! Dia galak! Dia juga jahat! Azel gak suka," terangnya.
Untuk sesaat, orang tuanya hanya diam. Sementara otak mereka bekerja, mencoba untuk mencerna setiap kata yang putrinya katakan.
Sepersekian menit kemudian, akhirnya Arumi buka suara. "Kamu tau dari mana? Kamu saja belum pernah bertemu dengan Deren, kan?" tanya Arumi lembut..
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya