10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan.
Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang.
Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah.
Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini."
"Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya.
"Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya.
"Benar." Ben mengangguk.
Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain.
"Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah.
Ben menerima perintah bosnya dengan berat hati. Ia lagi-lagi harus membersihkan kekacauan di apartemen terkutuk itu. Sebenarnya tugasnya bukan membersihkan, lebih tepatnya membenahi.
Ben harus mengembalikan isi apartemen bosnya seperti sedia kala. Ia sudah menerima perintah yang sama selama 2 bulan terakhir.
Ben menggeleng berat, terlalu merepotkan.
***
"Kamu tau berapa lama kami menunggu?" Jane menatap tajam kearah putranya.
Deren yang duduk di sofa ruangan kerja ayahnya, hanya bisa menunduk ketika mendengar keluhan sekaligus amarah ibunya.
Ayah dan ibunya duduk di sofa seberang yang tersekat oleh meja kaca bulat.
"Mami dan Papi susah payah membujuk keluarga Sudrajat agar setuju dengan perjodohan ini ... lihat sekarang? siapa yang membuat ulah?" Jane berkata dengan pelan, tetapi jelas terlihat seraut wajahnya yang marah.
"Maaf, aku salah," jawab Deren.
"Maaf, maaf, maaf, kata itu juga selalu kamu ucapkan saat menolak kecan buta." Jane membulatkan matanya karena emosi. "Apa kamu menganggap Mami Papi lelucon?" tanya Jane tak kuasa menahan diri, nadanya naik satu oktaf. Ia dan suaminya menanggung malu kemarin malam karena putra satu-satunya ini.
"Aku tidak pernah berpikir begitu." Deren menghela nafas berat. Ia merasa beban hidupnya bertambah ribuan ton saat orang tuanya terus menerus menjodohkan dirinya.
Di saat Deren patah hati karena diselingkuhi, kedua orang tuanya tidak berhenti mencarikan jodoh untuknya. Bagi orang tuanya, cara itu mungkin bisa membebaskan putra satu-satunya ini dari keterpurukan.
Tapi mereka salah, hal itu justru membuat Deren semakin muak dengan hidupnya sendiri. Sampai akhirnya ia berlari ke bar dan tenggelam dalam minuman beralkohol yang membuatnya mabuk tiap malam.
Deren memilih Azelia karena namanya sangat familiar. Nama itu sama persis dengan nama seseorang yang spesial untuknya di masa lalu.
"Kalau begitu temui Azel, minta maaf langsung padanya." Kata Jane perlahan dan emosinya mulai meredup.
"Deren, kita ini laki-laki." Kata Pras menegaskan.
"Laki-laki itu menang memilih, wanita menang menolak ... kamu itu anakku, Prasetyo! satu wanita menolak kamu, papimu ini bisa berikan sejuta wanita untuk kamu. Bahkan 1000 kali lebih baik dari si Lisa itu." Pras dengan gamblang menasehati putranya.
Namun, jika sekali ini nasehat nya tidak di dengar. Dengan berat hati ia akan angkat tangan, untuk tidak ikut campur dalam masalah putranya lagi.
Deren terdiam, suara ayahnya seperti kilatan petir yang menyambar seluruh tubuhnya terutama hati. Ia tahu jika orang tuanya sangat menyayangi dirinya. Jadi, kenapa dia malah jadi seperti ini dan menyusahkan keduanya orang tuanya karena satu wanita hina.
Deren seperti baru di program, nasehat ayahnya masuk ke telinganya dan sampai ke otak. Mungkin karena ia sedang dalam keadaan sadar, tidak mabuk seperti biasanya.
"Benar yang Papi katakan ... Aku bisa dapatkan wanita manapun yang aku mau." Deren menaikkan wajahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman. Mirip senyum licik serigala yang baru mendapat mangsa.
Jane menyadari ada yang aneh dengan senyuman Deren.
"Maksud Papi bukan begitu, Der." Jane ingin menjelaskan ulang. "Walaupun banyak wanita, bukan berarti~"
"Udah ya, Pi Mi." keluh Deren kesal, wajahnya menggelap. "Aku udah dewasa, aku bisa bedain antara wanita yang baik dan tidak." Tegasnya.
"Terus kira-kira Lisa itu wanita baik atau tidak?" Jane seperti sengaja memancing amarah putranya karena ia juga kesal.
"Mi."
"Jawab?" Jane bersikeras.
Deren diam, membuang muka karena enggan menjawab.
"Kamu belum bisa bedain, kan? ... itu artinya kamu belum dewasa. Menilai seseorang itu bukan hanya dari fisikle, tapi harus lihat juga hatinya ... apakah baik atau buruk? sebagai lelaki cerdas, berpengalaman dan berpendidikan tinggi. Kamu bahkan tidak tau jika tunangan sendiri selingkuh dengan pria lain dan sudah setahun." Ia kehilangan akal sehatnya sampai-sampai berani menggali luka putranya.
"Cukup, sayang," tegur Pras lembut kepada istrinya.
"Biarin! sekali ini aja, Yang. Biar anak ini sadar! Apa sih kelebihan perempuan itu? sampai-sampai dia jadi begini?" Ia memohon pada suaminya, ini kali terakhir ia akan menasehati Deren.
"Kalaupun kamu sakit hati, mati rasa, ingin balas dendam. Mami mohon ... jangan sakiti tubuh kamu sendiri, itu membuat Mami 1000 kali lebih sakit dari yang kamu rasakan. Apa kamu tau itu?" Butiran bening jatuh perlahan di wajah Jane.
Deren hanya diam. Rasa panas muncul dari dalam dadanya dan menjalar cepat ke seluruh tubuhnya. Otaknya mulai di penuhi bayangan Lisa yang sedang bersetubuh dengan pria lain. Jika bisa memilih, ia ingin memergoki Lisa di tempat lain, jangan di ranjang saat keduanya sedang bercinta.
Melihat itu dengan mata kepalanya sendiri, jelas membuatnya hancur berkeping-keping. Sekarang, meski Deren mencoba melupakan., tapi bayangan dua setan itu terus menghantuinya. Apalagi saat ia mendengar ada yang menyebutkan nama Lisa. Ia seperti akan meledak seperti kembang api.
Deren menunduk, tubuhnya gemetar, Pras dan Jane melihat keadaan Deren yang tampak menyedihkan. Keduanya menatap putranya dengan welas.
"Der, kamu nggak apa-apa?" Jane mengulurkan tangannya untuk menyentuh kepala putranya. Jemarinya mengelus rambut anak lelaki nya dengan lembut penuh kasih sayang.
Deren menepis pelan tangan maminya, membuat Pras dan Jane terkejut.
"Aku akan temui Azel dan minta maaf. Aku akan menikah dengannya ... Papi Mami stop jodoh-jodohin aku." Deren bisa melihat senyum kebahagiaan di wajah orang tuanya saat kalimatnya selesai.
"Oke, bagus kalau kamu berinisiatif begitu." Kata Pras puas.
"Kamu tau, alasan kami mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Pras, ia harus jujur.
"Ingin segera menimang cucu," ceplos Deren asal.
Haha.
"Bukan." Pras menggeleng.
"Papi ingin menunjuk kamu sebagai CEO di rapat umum pemegang saham yang akan diadakan dua bulan lagi. Papi pikir kamu akan menikah bulan ini, jadi Papi Mami tidak khawatir ... namun siapa yang sangka hal itu akan terjadi."
"Jadi, kami harus cepat mencari jodoh untukmu agar kamu segera menikah. Karena itu satu syarat yang diajukan Dewan Direksi." Pras dengan tegas menjelaskan.
Sebenarnya Pras telah melakukan 'circular resolution' dengan mengirim usulan kepada anggota Dewan Direksi, dan telah di setujui beberapa bulan yang lalu. Tetapi masih dengan satu syarat, sudah berkeluarga.
Jika kondisinya tidak seperti ini, Deren pasti senang mendengar ia akan ditunjuk sebagai CEO di Perusahaan Ayahnya. Namun, ia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Deren memijit pelipisnya, nyerinya bukan main. Bukan karena beban pekerjaan yang akan ia tanggung kedepannya. Melainkan tentang pernikahan-nya yang tidak bisa dihindari lagi.
Setelah perbincangan panjang dengan orang tuanya selesai, Deren kembali ke perusahaan.
Deren datang hanya untuk rapat, setelah rapat selesai. Ia memberikan sisa pekerjaannya kepada serkertarisnya, Siska.
Deren keluar dari Perusahaan saat sore. Seperti biasanya ia akan pergi ke 'KING' club malam langganannya setelah putus dari Lisa.
Deren duduk di sofa ruangan VIP. Ia ditemani lima wanita penghibur dengan pakaian minim bahan. Dua wanita duduk mengapitnya, keduanya sengaja menempelkan benda bulat mereka ke lengan Deren. Dua wanita bernyanyi dan berjoget dengan sexy di depan sana. Satu wanita lagi bertugas menuangkan minuman untuk pria itu.
Deren semakin mabuk, hari juga semakin malam. Deren pulang ke apartemennya dengan dijemput Ben. Dua wanita yang mengapitnya tadi juga ikut pulang bersama dengannya.
Sampai di apartemen, Deren yang setengah sadar langsung diajak bermain oleh dua wanita yang di bawanya. Ketiganya bermain di atas ranjang dengan semangat dan bergairah.
Deren begitu menikmati, malam panjang yang dipenuhi hasrat itu. Ia hanya menginginkan malam tanpa kesedihan.
Untuk besok, mungkin ia benar-benar harus menemui Azel seperti yang dirinya janjikan kepada orangtuanya.
Hai... Salam kenal dari aku, Noona Nani. Senang rasanya novelku bisa diterima di GoodNovel. Mohon dukungannya untuk memberikan nilai untuk novelku... Terima kasih (✿ ♡‿♡)
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam. "Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal. "Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel. Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.
Kakak dan adik itu berpapasan saat keduanya sampai di ruang tv. Merasa di buru waktu, keduanya pun segera kembali ke ruangan keluarga.Saat keduanya sampai.Azel mendengar dengan jelas jika ibunya mengatakan perihal pernikahannya dengan cemas. Ia ingin bertanya soal itu. Namun saat melihat binar kerinduan di mata sang ibu, ia mencoba menepis dulu pertanyaan dan rasa penasarannya."Azelia." Arumi berdiri dari duduknya dengan senyuman lega. Wanita berhidung mancung itu merasa bahagia, karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat putrinya itu pulang kembali ke rumah. Ia tidak perlu lagi repot-repot video call dengan putrinya itu jika merasa rindu.Satrio sang ayah juga merasa senang melihat putrinya kembali dalam keadaan sehat. Rasa khawatirnya pun hilang saat itu juga.Azka kembali duduk di sofa, di dekat istrinya tercinta.Sebelum membaur, Azel mendeka
Suasana di ruangan keluarga terasa sedikit canggung saat ini. Kruyuk. Namun, suara perut Azel terdengar beberapa kali, membuat semua orang lepas kendali dan tertawa terbahak-bahak termasuk Rose yang baru saja tiba. Azel hanya menunjukkan cengiran kuda untuk menutupi rasa malunya. "Duh, putri bunda laper ya?" tanya Arumi basa-basi padahal sudah tahu jelas jawabannya lewat suara yang di hasilkan perut putrinya itu. "Iya..." Azel nyengir lagi. "Kalau begitu, kita makan dulu saja. Ngobrolnya dilanjut nanti setelah makan..." Kata Arumi lalu melihat Rose. "Rose pasti laper juga, kan?" ujarnya dengan senyum menyelidik. Rose tidak mengelak. "Hehe... Bunda tau aja," jawab Rose dengan tawa sedikit sungkan. "Kalau begitu." Satrio bangkit dari sofa. "Ayo! kita ke ruangan makan," ajaknya kepada istri dan anak
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren."Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara."Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah."Baks