Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya.
Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih.
Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya.
Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya.
"Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya.
Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy laki-laki itu.
Setelah pelepasannya, Deren segera menarik keluar miliknya dari tubuh wanita itu dan turun dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi, berniat membersihkan diri.
Di bawah guyuran air, Deren terus mengumpat kepada dirinya sendiri. "Sial! dasar wanita busuk! bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?" keluhnya frustasi. Rahangnya mengeras saat bayangan persetubuhan Lisa dengan selingkuhannya muncul lagi. Deren begitu terluka.
Setengah jam kemudian Deren keluar dari kamar mandi, karena merasa pikirannya kembali jernih seteleh diguyur air shower.
Deren melihat wanita yang baru dipakainya belum juga pergi, membuat otaknya kembali mendidih. "Kau belum pergi?!" tanyanya ketus dengan tatapan jijik.
"Tentu saja, aku lelah setelah melayani mu. Ijinkan aku untuk tidur ...,"
"Keluar!" perintah Deren keras dan dengan cepat memotong perkataan wanita itu.
"Tapi, kita baru saja ber-cin ...,"
"Stop!"
Deren muak jika diingatkan tentang itu. "Jangan lancang!" Rahangnya mengeras.
"Kita tidak melakukannya, aku membayar kamu." Deren dengan gamblang mengatakan itu, ia melakukannya hanya untuk balas dendam kepada Lisa.
Laki-laki itu ingin Lisa tau, jika ia bisa mendapatkan wanita manapun hanya dengan satu jentikan jari. Ia tidak akan rapuh hanya karena tunangannya selingkuh.
Bahkan banyak wanita di luaran sana yang mengantri untuk ia tiduri. Bagi Deren yang sekarang, Lisa bukanlah apa-apa. Wanita itu hanya butiran debu yang pernah menyelip dan membutakan matanya."Keluar!" teriak Deren keras, suaranya menggema sampai memenuhi ruangan kamar.
Merasa takut, wanita itu langsung merangkak turun dari ranjang. Ia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya dengan terburu-buru.
Pakaiannya sudah rapi, ia pun meraih tas tangannya, dan bersiap pergi dari apartemen Deren.
"Tunggu!"
Wanita itu berhenti.
"Ini bayaran untukmu." Deren melemparkan sebuah cek ke lantai dan berbalik badan lagi.
Wanita bernama Vina itu merunduk untuk mengambil kertas putih di lantai, muncul senyuman tipis saat netra-nya melihat nominalnya.
Vina melanjutkan langkahnya begitu saja tanpa menoleh Deren. Bahkan ia tidak mengucapkan sepatah katapun kepada laki-laki yang biasa membayar-nya itu.
Heh!
Deren mencibir jijik, "Wanita hanya peduli dengan uang, uang dan uang. Menjijikkan!"
Deren benci wanita yang rakus dengan uang. Sebenarnya yang ia benci itu Lisa, tetapi semua wanita menjadi target ketidaksukaan nya.
Ia meninju dinding hingga permukaannya bergetar, mencoba melupakan emosinya.Saat melihat bingkai fotonya bersama Lisa di atas nakas, emosinya semakin meledek. Ia meraih bingkai kayu itu lalu melemparnya ke lantai dan terdengar suara kaca pecah. 'PRANK'Belum puas.
Deren juga menurunkan bingkai foto keduanya yang tersusun rapi di rak dinding, dan melemparnya asal ke lantai.Setelah lantai penuh dengan pecahan kaca, ia masih belum berhasil meredam emosinya. Deren pun menghancurkan semua barang yang ada di dekatnya tanpa tersisa.
Kini, kamar itu hancur berantakan seperti kapal pecah.
Ini terjadi seperti malam-malam sebelumnya, Deren akan selalu menghancurkan kamarnya setelah selesai bercinta.
Deren keluar dari kamar dan berjalan ke dapur. Ia mengambil sebotol minuman beralkohol dari rak dan satu gelas di tangan lainnya.
Ia duduk di kursi bar tender yang terhubung langsung dengan dapur apartemen-nya. Satu gelas wine ditandaskan Deren dalam sekali teguk. Pikirannya semakin kacau, saat otaknya dipenuhi oleh ingatan hari itu. Hari dimana ia menangkap basah Lisa sedang bersetubuh dengan pria lain di apartemen milik wanita itu.
Deren marah, ia kesal karena bayangan itu enggan meninggalkan pikirannya. Ia pun meminum wine langsung dari botolnya sampai habis tak tersisa.
Deren adalah peminum yang hebat, menandaskan satu botol wine belum bisa merobohkan tubuh bajanya. Ia berjalan menuju rak wine, dan mengambil beberapa botol lagi dengan dua tangannya.
Deren membuka semua tutup botol. Ia meminum wine langsung dari botolnya satu persatu seolah-olah itu air mineral.
Saat semua isi botol telah Deren tandaskan seorang diri, barulah ia merasakan pusing. Ia merasakan kepalanya begitu berat dan seolah-olah ingin meledak. Wajahnya berubah merah padam, dan sulit baginya untuk mempertahankan kesadarannya.
Deren pun tertidur setelah berhasil mengusir bayangan Lisa dari otaknya.
***Jam dinding menunjukkan pukul 11:00.Deren membuka mata, lalu menguap. Ia sesekali menutup dan membuka kelopak matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam netra-nya.
Ia merenggangkan kedua tangannya bebas lalu terdengar suara 'prank' dan hampir membuatnya berdiri karena terkejut. Deren baru sadar jika ternyata dirinya tertidur di sini sejak semalam.
Deren melihat ke bawah, dan menatap pecahan botol wine yang sudah memenuhi lantai.
"Berapa banyak yang aku minum semalam?" tanyanya pada diri sendiri.
Ia mengalihkan pandangannya, menghitung jumlah tutup botol wine yang ada di meja. "Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ...." Deren hampir tidak percaya. "Aku mendapat rekor baru," ujarnya, dan tanpa sadar bibirnya naik sebelah.
Deren bergerak untuk mencari sapu dan sekop. Tetapi ia tidak berhasil menemukannya. Suara ponsel dengan nada dering lagu Haru Haru dari Big Bang, menarik Deren dari dapur untuk menuju kamarnya.
Tak lama, ia tiba di kamar.
"Wow!" Deren lebih terkejut saat melihat keadaan kamarnya. "Apa aku melakukannya lagi?" Katanya polos.
"Begini juga bagus," imbuhnya tanpa dosa.
Deren baru ingat dengan tujuannya masuk kamar, yaitu mengambil ponselnya yang lagi-lagi kembali berdering.
Ia melihat ID penelepon lebih dulu sebelum akhirnya menggeser ikon hijau di layar ponselnya.
"Pagi, Mam." Deren menjawab seceria mungkin.
"Pagi kepalamu! Cepat pulang!"
Teriakan di ujung telepon membuat Deren menjauhkan ponsel itu dari telinganya. "Iya," jawab Deren lalu mengakhiri sambungan itu lebih dulu.
Deren menghubungi asistennya. "Ben, jemput saya di apartemen, 10 menit." Deren mematikan sambungan setelah selesai bicara.
30 menit kemudian. Deren sudah rapi dengan setelan jas abu-abu dan kemeja putih di dalam. Ia turun ke area parkiran bawah. Asistennya sudah menunggu di samping pintu mobil yang sudah terbuka.
Deren masuk ke dalam mobil, disusul asistennya. "Pulang ke rumah," perintahnya kepada asistennya, Ben.
Ben pun segera menyalakan mesin mobil, dan melaju menuju ke kediaman keluarga Prasetyo.
Deren yang duduk di kursi penumpang hanya diam selama perjalanan. Ia sedang menyiapkan mental untuk menghadapi orang tuanya, terutama ibunya.10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam. "Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal. "Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel. Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.
Kakak dan adik itu berpapasan saat keduanya sampai di ruang tv. Merasa di buru waktu, keduanya pun segera kembali ke ruangan keluarga.Saat keduanya sampai.Azel mendengar dengan jelas jika ibunya mengatakan perihal pernikahannya dengan cemas. Ia ingin bertanya soal itu. Namun saat melihat binar kerinduan di mata sang ibu, ia mencoba menepis dulu pertanyaan dan rasa penasarannya."Azelia." Arumi berdiri dari duduknya dengan senyuman lega. Wanita berhidung mancung itu merasa bahagia, karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa melihat putrinya itu pulang kembali ke rumah. Ia tidak perlu lagi repot-repot video call dengan putrinya itu jika merasa rindu.Satrio sang ayah juga merasa senang melihat putrinya kembali dalam keadaan sehat. Rasa khawatirnya pun hilang saat itu juga.Azka kembali duduk di sofa, di dekat istrinya tercinta.Sebelum membaur, Azel mendeka