Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal.
Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?"
Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu.
Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong.
Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika sampai ia mati pun atau bahkan di akhirat nanti, ia akan terus ditagih karena tidak menepati janjinya.
"Ayah percaya sama kamu, tapi mungkin itu terjadi karena Deren belum mengenal kamu. Jika sudah kenal, dia tidak mungkin bersikap seperti itu." Satrio mencoba untuk bijaksana menanggapi putrinya. Meski ia sadar mungkin kebijaksanaan-nya ini akan mengecewakan putrinya
Azel tertegun. Ia tidak percaya jika ayahnya akan mengatakan itu, dan Bunda tampak mendukung saja. Bahkan dirinya tidak tau lagi harus berkata apa saat ini.
Ia hanya ingin mengutarakan isi hatinya untuk menolak perjodohan itu. "Maaf Yah. Aku tetap tidak bisa. Aku hanya mau menikah dengan orang yang aku cintai, dan orang itu juga mencintai aku. Aku akan bertemu dengan Deren lalu menolaknya dengan baik-baik." kata Azel tenang.
Satrio cemberut, wajahnya yang terang berubah mendung. "Perjodohan ini tidak akan dibatalkan, karena Deren sudah setuju sebelum orang tuanya mendiskusikan tentang hal ini dengan kami," ujar Satrio pelan, namun nadanya menjadi lebih serius.
Azel masih ingin menolak, dengan berkata: "Laki-laki baik dan bertanggung jawab tidak akan pernah mengingkari janjinya. Deren tidak datang malam ini, bahkan membuat kita menunggu lama. Dia sama sekali tidak menghormati keluarga kita dan menunjukkannya secara terang-terangan. Apa Ayah masih bisa terima?"
Ia secara terbuka memancing amarahnya.
Wajah Satrio muram, dengan dingin ia berkata: "Karena Ayah laki-laki baik dan bertanggung jawab. Maka pernikahan ini tidak akan dibatalkan." tegasnya.
"Tapi Yah ...,"
"Stop!" bentak Satrio memotong bantahan putrinya kali ini. Ia lelah berdebat. Sekilas ia teringat akan sesuatu di masa lalu.
"Apa kamu masih ingat perjanjian kita saat kamu lulus SMA?" tanya Satrio dingin.
Azel membeku mendengar ayahnya mengungkit perjanjian 7 tahun lalu, yang hanya diketahui keduanya.
Saat itu, Azel berdiri di depan meja di ruangan kerja ayahnya. Dengan sungguh-sungguh ia mengikrarkan sebuah janji.
'Jika Ayah kasih ijin aku untuk kuliah di Korea dan tinggal di sana untuk berkarier. Aku janji, aku akan penuhi satu permintaan Ayah di masa depan, apapun itu!'
Satrio yang sedang duduk di kursi kerjanya, menautkan jemarinya. Dengan bijak ia berkata, 'Baiklah, Ayah akan kasih ijin."
Azel menggaruk kepalanya kasar, saat ingatannya 7 tahun yang lalu memenuhi kepalanya. Ia hanya bisa berharap jika ayahnya tidak akan meminta dirinya untuk menepati janji itu saat ini. "Ya, Azel ingat."
"Ayah minta kamu untuk menerima pernikahan ini." Satrio mengatakan dengan jelas dan serius.
Deg.
Azel terdiam. Demi apa? Kenapa ayahnya menagih janjinya demi keluarga Prasetyo itu. Apa yang telah terjadi? Sampai-sampai ayahnya merelakan putri kesayangannya untuk di jodohkan dengan anak sahabatnya itu.
Ia harus bagaimana?
"Oke! Jika itu permintaan Ayah ...." Azel pasrah, ia harus menepati janjinya.
"Yah!" Kata Arumi ragu-ragu, setelah melihat kekecewaan di wajah putrinya. Namun suaminya itu hanya mengedipkan mata, seolah-olah memberi perintah untuknya diam dan tidak ikut campur.
"Tapi aku punya syarat. Jika aku menemukan 3 saja keburukan dari lelaki itu ... maka pernikahan ini harus dibatalkan. Bagaimanapun aku ingin menikahi laki-laki baik yang tulus mencintai ku. Setelah itu batal, Ayah boleh meminta hal lain dariku." tegas Azel menawar. Ia dengan cepat memutar otaknya, makanya baru bisa mendapat ide gila ini.
Kedua orang tua itu saling menatap dalam diam. Arumi memberi tatapan lembut pada suaminya, ia mengangguk pelan, memohon agar laki-laki itu setuju.
Satrio menatap sang istri tercinta, meski ia tidak suka dengan ide anaknya. Melihat wanita yang di depannya memohon dengan tulus, ia jadi bimbang, lalu berkata dengan bijak. "Oke! 30 hari! lewat dari itu, kamu harus setuju untuk menikah." Satrio menatap Azel mantap.
"Oke! Setuju!" Azel menatap balik ayahnya dan tatapannya tidak kalah tangguh dari sorotan mata lelaki berusia 56 tahun itu.
Masih duduk, Ayah dan anak itu saling menatap satu sama lain saat gendang peperangan di tabuh. Keduanya seperti masuk kedalam pikiran masing-masing, dan mencibir lewat sorotan matanya.
'Ayah lihat saja, aku akan cari keburukan pria itu, dan gagalkan perjodohan ini.'
'Kamu tidak akan berhasil. Lebih baik kamu tepati janjimu 7 tahun lalu, dan menikah.'
'Menikah? tidak akan, tidak akan pernah.'
"Baik, Ayah akan lihat bagaimana kamu melakukannya? jika lelah, beritahu Ayah." Bibirnya melengkung, ia bangkit dari sofa, dan berjalan menuju kamarnya untuk istirahat.
Ibu dan anak itu masih setia di tempat duduk, suasana sangat sunyi dan tanpa pergerakan sedikit pun. Arumi melihat jemarinya yang saling bertautan, ia ragu-ragu untuk mengungkapkan rasa bersalahnya.
Mengetahui kesedihan bundanya, Azel sedikit bersalah karena telah menentang orang tuanya.
"Maaf." Kata keduanya bersamaan, tanpa sengaja.
Arumi mengangkat pandangan, melihat wajah putrinya yang tersenyum dengan lega. Merasa lucu, ibu dan anak itu menertawakan keselarasan mereka dalam berbicara.
Azel bergerak untuk duduk menempel pada bundanya. Ia melingkarkan tangan panjangnya di pinggang bundanya, tingkahnya mirip anak kucing.
Arumi mengelus pelan rambut merah gadisnya, tatapan penuh kasih sayang. "Maafkan Bunda karena tidak bisa membantu Azel." tuturnya dengan suara bergetar.
Azel yang sudah menjadikan pundak ibunya untuk bersandar, berkata 'Tidak apa-apa, selama Bunda tidak mendukung Ayah juga." ujarnya tanpa beban.
"Lalu bagaimana kamu akan menggali keburukan Deren?"
Azel mengangkat kepalanya dan melepaskan pinggang bundanya. "Soal itu? Rahasia!" Azel berdiri dan menunjukkan senyuman nakalnya. Ia lalu pamit untuk pergi ke kamarnya.
Arumi hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan suami dan putrinya.
Sampai di lantai dua di dalam kamarnya, Azel yang lelah segera menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Ia menutup kelopak matanya yang terasa berat, perlahan tangannya merentang bebas. Saat tangannya merasakan ada sesuatu benda lain di sisi lain ranjangnya, mata Azel melebar di penuhi pertanyaan,
Saat Azel duduk dan membuka selimutnya, Rose ada di sana. Alis Azel bertautan. "Ngpain? ... bikin orang kaget aja!"
Azel hanya mendapat seringai Rose yang tampak malu-malu sebagai jawaban. "Aku lagi bad mood, tolong keluar, aku mau tidur." pintanya dengan lesu.
Rose yang terbaring di balik selimut segera bangkit untuk duduk, dengan senyuman lebar di wajah, ia berkata penuh semangat. "Aku tahu, makanya aku di sini buat hibur kamu."
Azel menatap sepupunya, dan memutar bola matanya tanpa ekspresi.
Senyum Rose tidak hilang, dipenuhi semangat 45, ia berbicara "Aku punya ide bagus agar kamu bisa menggali keburukan calon suami kamu."
Azel yang lesu, seketika menampilkan wajah penuh binar. "Gimana caranya?"
"Ada! Tapi kita harus pindah rumah dulu." tutur Rose.
Azel mengangguk setuju, selama ia bisa mencari keburukan Deren dan membatalkan semuanya. Apapun itu, akan ia lakukan. Demi cinta sejatinya.
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s
Masih di ruang tv apartemen milik Deren. Tubuh Azel terbaring di sebuah sofa panjang, dan sekarang Deren sedang berada di atas tubuhnya. Menatapnya dengan penuh intrik. Pupil Azel membesar, bibirnya terkatup rapat, tak terasa bulu halus yang ada di belakang lehernya perlahan mulai naik. Dan tanpa dia sadari, ia telah menelan saliva-nya sendiri ketika mata elang Deren menyoroti wajahnya dengan penuh minat. Sebagai wanita yang sudah dewasa, ia tau apa yang pria itu niatkan padanya. Deren meletakkan dua tangannya di sisi kanan dan kiri wajah Azel seperti pagar beton. Sehingga gadis itu tidak bisa menolehkan kepalanya. Bahkan saat pria itu mendekati wajahnya, ia hanya bisa menatap lurus ke atas meski sebenarnya gadis berkacamata itu muak dengan pemandangan itu. Ia mencoba melirik ke segala arah, kemana saja, untuk menghindari tatapan lurus dari sorot mata Deren. Namun saat ia tak melihat, tiba-tiba Azel mendapatkan serangan fajar. Yaitu sebuah kecupan lembut dari Deren, spontan matanya
Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dua wanita berjalan sejajar ke arah pintu keluar sambil menarik koper. Keduanya kompak mengenakan topi baseball dan juga masker berwarna hitam. "Apa kamu yakin informasi tentang kepulanganku, tidak akan bocor, Sese?" tanya Azel pada Rose sambil menarik ke bawah ujung topinya untuk menutupi wajahnya. Ia tidak ingin orang lain mengenalinya, karena kepulangannya ke Indonesia sengaja dirahasiakan, mengingat dirinya sangat terkenal. "Tidak! aku jamin." Rose sangat yakin. Ia adalah sepupu, manager dan sekaligus asistennya Azel. Azel sudah tinggal di Korea Selatan selama 7 tahun untuk mengemban ilmu di K'ART dan merintis karir. Selama itu, ia baru sekali mendapat kunjungan dari orang tuanya yaitu di hari dia diwisuda. Walau begitu, ia tidak merasa sedih karena itu keinginannya. Sekarang ia bisa pulang, itu semua karena ayahnya sedang sakit.