Suasana di ruangan keluarga terasa sedikit canggung saat ini.
Kruyuk.
Namun, suara perut Azel terdengar beberapa kali, membuat semua orang lepas kendali dan tertawa terbahak-bahak termasuk Rose yang baru saja tiba.
Azel hanya menunjukkan cengiran kuda untuk menutupi rasa malunya.
"Duh, putri bunda laper ya?" tanya Arumi basa-basi padahal sudah tahu jelas jawabannya lewat suara yang di hasilkan perut putrinya itu.
"Iya..." Azel nyengir lagi.
"Kalau begitu, kita makan dulu saja. Ngobrolnya dilanjut nanti setelah makan..." Kata Arumi lalu melihat Rose. "Rose pasti laper juga, kan?" ujarnya dengan senyum menyelidik.
Rose tidak mengelak. "Hehe... Bunda tau aja," jawab Rose dengan tawa sedikit sungkan.
"Kalau begitu." Satrio bangkit dari sofa. "Ayo! kita ke ruangan makan," ajaknya kepada istri dan anak-anaknya.
***
Rumah keluarga Satrio berdiri megah di atas tanah yang luasnya hampir 2 hektar setengah. Rumah yang punya 4 pilar penyangga di bagian depan itu menambah kemegahan kediaman keluarga Satrio Sudrajat. Rumah dengan dekorasi ala-ala Eropa, Arab, dan Jawa itu tidak hanya tampak megah dari luar. Barang-barang berkualitas tinggi mengisi bagian dalam, membuat siapa saja yang masuk akan langsung tercengang saat melihat kemewahan dan kemegahan itu.
Bagi Kepala keluarga Sudrajat itu, rumah adalah tempat kita kembali untuk beristirahat dan bersantai bersama keluarga. Karena itu, ia membangun istananya dengan megah agar saat ada acara tertentu semua keluarga bisa berkumpul di rumahnya. Dan juga selalu merasa nyaman dan betah saat di rumah mereka.
Semua orang kini sedang berkumpul di ruangan makan yang terletak tak jauh dari dapur yang sama-sama mewah itu. Kursi kayu jati ukir mengelilingi meja yang berbentuk panjang.
Bermacam-macam hidangan dengan aneka menu masakan sudah tertata rapi di tas meja. Semuanya telah di siapkan oleh beberapa pelayan bagian dapur.
Satrio sebagai kepala rumah, duduk di kursi paling ujung guna menunjukkan kepemimpinan-nya. Sedangkan Arumi duduk di sisi kanan suaminya. Azka dan Liona duduk bersandingan di sisi bagian kiri ayahnya.
Rose duduk di antara Arumi dan Azelia. Formasi duduk ini terjadi setelah Rose tinggal di rumah keluarga Satrio. Saat itu orang tua Rose wafat dalam kecelakaan pesawat dan ia di rawat oleh paman dan bibinya.
Satrio selesai memimpin do'a, dan setelahnya mereka semua menyantap makanan di piring masing-masing. Tidak ada suara selama mereka makan, bahkan suara dentingan antara sendok dan piring nyaris tak terdengar. Sedari dulu Satrio dan Arumi memang menerapkan ke anak-anaknya agar tak mengobrol atau berisik saat sedang makan. Bahkan bersuara saat mulut mengunyah itu di larang. Karena menurut mereka yang keturunan Jawa, itu saru dan gak ilok, tidak bagus dalam bahasa Indonesia-nya.
Setelah bermenit-menit. Akhirnya mereka semua selesai makan dan beralih ke ruang tv untuk mengobrol lebih santai. Azelia menceritakan beberapa pengalaman nya saat ikut casting dan beberapa kali di tolak karena fisiknya yang tak sesuai peran.
Rose juga menceritakan saat pertama kali datang ke Korea, ia sempat tercengang melihat kota Seoul yang begitu Daebak, katanya memberi perumpamaan. Satrio, Arumi, Azka dan Liona hanya diam saat mendengar kedua wanita itu bercerita, sesekali keempat orang itu juga tertawa saat mendengar bagian yang lucu dari cerita Azelia dan Rose.
Hari semakin sore. Azka dan Liona pamit untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Semuanya pergi ke halaman depan untuk mengantar Azka dan Liona.
"Jangan lupa kalau kalian punya hutang sama aku," kata Azka mengingatkan dua adiknya dari balik kemudi mobil mewahnya.
"Udah 2 tahun masih inget aja ih mas Azka," jawab Rose mencibir sedangkan Azelia sedang mengingat-ingat pasal hutang apa yang dibuatnya.
"Iya dong! pokoknya kalian harus siapin kado pernikahan buat aku dan Liona..." ujarnya paksa. "Harus yang mahal, ingat." Azka tersenyum puas melihat raut wajah adik-adiknya yang berubah masam. "Ya udah aku pulang dulu... Ayah, Bunda pamit ya, assalamualaikum." Azka dan Liona mengucapkan salam berbarengan. Setelahnya mobil Azka amblas menyusuri jalanan untuk kembali ke kediaman miliknya.
Azel dan Rose saling pandang setelah mobil Azka hilang di balik gerbang. "Emangnya dua tahun lalu, kita janji mau kasih kado?" tanya Azel buka suara lebih dulu.
"Seingatku..." Rose berpikir sejenak. "Kayaknya iya. Ingat pas kita lagi ada projek drama yang kamu jadi pemain pendukung. Pas itu Mas Azka ngabarin kalau dia mau nikah, minta kita pulang. Kamu bilang kalau kita nggak bisa pulang dan janji mau kasih kado super mewah." Rose meringis ngeri saat ingat kata-kata super mewah yang baru diucapkannya.
"Ah, masa sih?" Azel sebenarnya tidak benar-benar lupa akan hal itu. Ia hanya ingin mengkonfirmasi kebenarannya saja. Karena sejujurnya, ia hanya menyayangkan uangnya saja yang nantinya harus di pakai untuk membeli hadiah. Tapi mau tidak mau ia memang harus keluar uang banyak, karena dirinya sudah berjanji. Apa nggak bisa beli yang murah?
Hari beranjak malam. Azel sudah tidur dari siang, dan belum bangun juga. Ia memang tak ada niatan untuk bangkit dari ranjangnya, walaupun sekarang dirinya sudah terjaga karena suara pelayan yang mengetuk pintu kamarnya.
"Iya! Iya! Bentar lagi turun. Bilang aja sama Ayah Bunda untuk makan duluan," teriak Azel kesal karena pelayan itu terus mengetuk pintu kamarnya. Tapi jika tanpa perintah orang tuanya, mana berani mereka mengetuk pintunya.
Meski begitu, ia tak benar-benar akan turun untuk sekedar makan malam. Karena sebenarnya perutnya masih kenyang, dan yang ia inginkan saat ini hanyalah berbaring di kasurnya sampai besok pagi.
Beberapa menit kemudian. Pintu kamar Azel diketuk lagi dan seseorang masuk ke dalam kamarnya.
"Zel..."
Azel mendengar ada yang memanggilnya. Konstan ia membuka mata dengan berat, lalu duduk. Ia seperti melihat ada orang yang berdiri di depan ranjangnya, setelah mengucek matanya, ia baru bisa melihat dengan jelas siapa itu.
"Rose." Kata Azel. "Kenapa?" tanyanya.
"Enggak." jawab Rose. Lalu wanita berambut pirang sebahu itu berjalan mendekat dan ikut duduk di atas ranjang.
Azel terdiam, dengan ujung matanya, ia mengikuti gerakan Rose dari tempatnya berdiri, sampai sepupunya itu nyaman duduk di sebelahnya.
Kini dua wanita itu duduk bersandingan sambil bersandar ke head board, keduanya juga berbagi selimut untuk menutupi kaki mereka.
Merasa ada yang aneh, Azel segera buka suara, "Kenapa? ada apa?" tanya Azelia heran, karena tak biasanya Rose jadi pendiam begini. "Kamu ada masalah?" selidik Azel lagi.
"Kamu beneran mau nikah?"
Deg.
Jantung Azel seperti baru di bom nuklir. Setelah bangun dari mimpi, nyatanya Azel harus kembali di hadapkan dengan kenyataan yang begitu pahit. Pertanyaan Rose membuatnya kembali sadar akan pil pahit yang jejalkan orang tuanya secara paksa. Bahkan orang tuanya rela berbohong agar dirinya pulang. "Aku nggak tau," jawab Azel ragu.
"Aku harap kamu bisa pikirin ini baik-baik, Zel." Kata Rose dengan menatap Azel. Ia hanya tak ingin perjodohan yang di inginkan para orang tua akan menjerumuskan masa depan anaknya, dan lagi itu Azel. Dirinya tidak akan setuju kecuali Azel dan calonnya saling cinta.
"Aku belum bisa mikir panjang untuk saat ini. Tapi kalau Deren beneran baik dan ganteng seperti yang Bunda bilang, aku akan setuju untuk menikah," jawab Azel yakin dengan wajah tersenyum menatap balik Rose.
"Aku cuma mau kamu bahagia, Zel," ungkap Rose dan tanpa ia sadari ujung matanya sudah merembes air mata.
Azel terharu melihat Rose yang begitu peduli padanya. Azel bergerak mengambil tisu dari kotak yang ada di atas nakas. "Terima kasih, Sese! kamu yang terbaik dan paling ngertiin aku." Kata Azel sambil mengelap ujung mata Rose dengan tisu.
Di sela suara tangis Rose yang mulai memenuhi isi ruangan kamar. Azel dengan ragu berkata: "Semuanya tergantung besok malam."
Besok Malamnya, pukul 19:00 di restoran hotel bintang lima. Sebuah ruangan VVIP sudah di siapkan khusus untuk pertemuan antar dua keluarga itu.Hotel ini adalah salah satu hotel mewah milik keluarga Prasetyo Diningrat. Kedua belah pihak keluarga sudah berkumpul di sana untuk membahas pasal perjodohan putra-putri mereka, kecuali Deren."Bagaimana kalau kita makan dulu, mungkin sebentar lagi Deren akan datang," ujar Jane merasa tak enak hati. Jane adalah istri Prasetyo dan ibu kandung Deren, sudah pasti lah.Prasetyo menjentikkan jarinya dan pelayan segera datang membawa buku menu. Prasetyo dan Jane memesan makanan yang sama, yaitu steak tenderloin tak lupa juga meminta waiters itu membawakan wine.Sedangkan Satrio dan Arumi sama-sama memesan spageti carbonara."Kalau Azel, mau pesan apa sayang?" tanya Jane ramah."Baks
Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, keduanya telah bertemu secara tidak sengaja dari awal. Mendengar kelembutan bundanya, mulut Azel gatal ingin segera memberikan jawaban. "Udah, Bun. Kemarin waktu di bandara. Aku nggak sengaja naik mobil dia ... dan Ayah sama Bunda perlu tau, aku di turunkan di jalan tol, lalu dia ninggalin aku begitu aja. Aku harus jalan berkilo-kilo meter untuk keluar dari area itu. Apa Ayah dan Bunda masih berpikir jika dia laki-laki yang baik?" Azel mencoba memberikan penjelasan jujur, menilai ada kesempatan untuknya menjelekkan pria itu. Satrio dan Arumi terdiam. Tentu saja keduanya percaya dengan penuturan putri satu-satunya itu, mereka yang mendidiknya dari kecil untuk tidak berbohong. Tetapi Satrio berprinsip, jika janji tetaplah janji. Bahkan pepatah mengatakan jika janji adalah hutang. Suaminya Arumi itu takut jika s
Deren tersenyum dengan bangga mendengar desahan wanita yang sekarang berada di bawah tubuhnya. Ia adalah laki-laki normal dengan fisik kuat dan hasrat yang besar. Dan nyatanya ia mampu melakukan itu dengan baik, bahkan lebih. Deren marah saat bayangan persetubuhan antara mantan tunangannya, Lisa dengan pria lain tiba-tiba memenuhi otaknya. Karena marah, Deren pun mempercepat gerakan tubuhnya dengan geram. Ia terus menghujam wanita itu dengan kasar, dirinya tak peduli jika pelacur ini akan mati karena desakan-nya. "Amm-am pun ... Tu-an," wanita itu bicara dengan susah payah, memohon belas kasih dari laki-laki di atasnya. Permohonan wanita itu didengar oleh Deren. Tapi bukannya melambat, Deren justru merasa lebih bernafsu. Ia merasa akan segera mendapatkan pelepasan, Deren pun semakin mempercepat gerakannya dan tak lama terdengar erangan kenikmatan dari bibir sexy l
10 menit kemudian, mobil BMW 740Li itu sampai di kawasan perumahan elit di wilayah Kuningan. Sedan hitam itu melewati gerbang, memasuki halaman kediaman Prasetyo. Ben turun lebih dulu, membuka pintu penumpang. Deren keluar dari mobil, ia berjalan ke pintu masuk rumah. Namun tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, lalu berkata kepada laki-laki yang lebih muda 1 tahun darinya itu. "Ben, sepertinya saya akan lama di sini." "Iya, Bos." jawab Ben, ia sudah mengetahuinya. "Bukankah kau tidak suka menunggu?" Deren bertanya. "Benar." Ben mengangguk. Ben sudah lama mengikuti Deren, keduanya hampir mengenal satu sama lain. "Kalau begitu tolong ambil beberapa pekerjaan di apartemen saya," perintah Deren tanpa bisa dibantah. Ben menerima perintah bosnya
Setelah selesai bergelut dengan dua perempuan cantik di atas ranjang. Tubuh Deren yang berotot mengeluarkan banyak keringat, meski sebenarnya ialah orang yang dilayani. Dengan terhuyung, ia turun dari ranjang. Melangkah pelan-pelan dan tertatih, agar tidak jatuh saat berjalan untuk masuk ke dalam kamar mandi. Seperti malam-malam biasanya, ia akan berdiri agak lama di bawah guyuran air shower yang hangat. Meluapkan emosinya lalu meringankan kepalanya lagi. Malam adalah galaxy yang selalu membawa gairah kesenangan dan kesedihan secara bersamaan. Setengah jam kemudian. Pintu kamar mandi terbuka, Deren berjalan keluar dengan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Air menetes dari rambut basahnya yang ia sugar kebelakang. Deren berhenti agak jauh dari ranjang, berdiri di titik terakhir langkahnya. Mengetahui dua wanita yang sudah lunas di bayarnya itu belum pergi. Matanya yang
Tuhan sepertinya menjawab doa Azel semalam. Supaya diberikan jalan yang mudah, agar ia bisa menguak keburukan calon suaminya. Azel mendapat keberuntungan besar. Mendengar jika wanita muda itu akan dipekerjakan di apartemen milik Deren. Azel punya rencana untuk mengambil alih profesi itu. *** Azel dan Rose menginjak rem, tepat di depan pintu lift yang hampir tertutup. Dengan gesit Rose menekan tombol lift, agar pintu itu kembali terbuka. Berhasil. Keduanya pun tersenyum. Saat pintu lift terbuka lebar, wanita muda di dalam lift menatap keduanya yang berdiri bersandingan. Azel dan Rose mencetak senyum, membalas tatapan tanpa curiga dari wanita berkaos putih pas body itu. Dua sepupu itu masuk ke dalam lift. Ketiganya kini berbagi udara yang sama di satu ruangan yang akan bergerak ke atas. Setelah pintunya tertutup rapat. Azel dan Rose membiarkan wanita muda itu pergi lebih dulu. Kedua
Ana berada di dalam kebimbangan yang menyiksa untuk waktu yang cukup lama. Ia merasa nyeri di antara dua alisnya. Dalam hatinya, ia masih ragu jika dua wanita ini adalah orang baik. Apa lagi ia baru saja keluar dari cangkang keongnya. Dirinya takut jika mereka hanya akan menyeretnya dalam masalah. Bagi Ana, alasan kedua wanita ini juga sangat tidak jelas. Mengeluarkan uang sebesar itu untuk pekerjaannya yang bahkan belum kontrak --- sangat tidak masuk di akal. Mereka hanya orang kaya gila! Sampai saatnya pintu lift terbuka Ana belum juga menjawab. Langkah yang buru-buru, segera membawa tubuhnya keluar dari lift. Ana berjalan pergi tanpa menoleh dua wanita di dalam lift. Namun saat suara Rose terdengar untuk menasehatinya, Ana diam di tempatnya.
Sambil melotot, Deren dan jari telunjuknya yang putih menunjuk itik buruk yang sedang berdiri di hadapannya. "Siapa kamu?" tanyanya ulang, karena wanita itu belum juga menjawab. Wanita dengan kacamata bulat bening itu sedang menutup matanya saat ia menjawab Deren dengan gemetar. " Saya Ana," suaranya bergetar dan hampir tak terdengar. Tubuhnya berkeringat karena ketakutan ketika melihat sosok Deren tanpa busana. "Ana?" Deren mengerutkan alisnya. Sepertinya ia tidak pernah memesan seseorang dengan nama itu. Dari mana orang ini berasal dan bagaimana ia bisa masuk? Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu. Namun Deren sedang lelah untuk berdebat, jadi ia meminta wanita itu pergi. "Pergilah! Aku tidak mengenal mu," kata Deren selanjutnya, kemudian berlalu. Takut kehilangan pekerjaannya karena di usir. Azel segera menahan lengan padat Deren, membuat pria itu tersendat dalam perjalanan nya. Deren menoleh saat wanita itu berkata dengan gugup, "Saya tidak bisa pergi, s