Dengan langkah tegas, Gevan mulai memasuki gedung VIP. Sesekali dia tersenyum ramah saat beberapa dokter dan perawat menyapanya. Meskipun sedang kesal, bukan berarti Gevan harus terus menunjukkan wajah kesalnya. Dia bukan orang seperti itu. Mungkin karena itu juga yang membuat banyak orang bersikap santai padanya, bahkan sampai membuat gosip yang membuat panas telinga. "Sore, Dokter Gevan. Kok di sini?" tanya Arif, petugas kebersihan yang tengah mengelap kaca bening di koridor rumah sakit. "Iya, mau ketemu seseorang." "Bu Putri ya?" Langkah Gevan terhenti mendengar itu. Seperti sebuah film, dia menoleh ke Arif dengan pelan. Dahinya berkerut kesal mendengar nama itu. Hilang sudah senyum ramah yang ia tunjukkan tadi. "Maksud kamu?" Arif terlihat terkejut dan panik, "Maaf, Dok. Saya pikir mau ketemu Bu Putri." "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?" Gevan mulai mendekat. "Aduh, salah ngomong kayaknya." Arif bergumam dan memukul pelan bibirnya sendiri. "Kamu dapet omon
Masih dengan langkah tergesa, Gevan menarik Andra ke tempat parkir. Amarahnya benar-benar di puncak ubun-ubun saat ini. Belum selesai dengan masalah info hoax yang disebarkan, sekarang Andra kembali berulah dengan menemui Olin. Gevan hanya bisa berharap jika pria itu tidak banyak bicara pada wanitanya tadi. "Lepasin gue!" "Gue cariin di rumah sakit malah ada di sini, jelangkung lo?" Gevan mendorong Andra hingga menghantam mobilnya. Andra hanya tersenyum tipis melihat emosi Gevan. "Gue cuma beli kopi," katanya santai, "Dan juga mau liat pacar lo." "Sialan! Kurang sabar apa gue sama lo?" Gevan mulai menarik kerah kemeja Andra. Untuk saat ini dia tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya. Beberapa pelanggan kafe yang masih ada tentu menatap mereka dengan penasaran. Tak berani mendekat tapi Gevan bisa mendengar jika mereka berteriak berusaha untuk melerai mereka. Jujur saja ini bukan gaya Gevan. Dia adalah tipe orang yang tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang
Suara pintu yang tertutup rapat membuat dua orang yang duduk di sofa itu mulai menegang. Tama berjalan mendekat dan berdiri di depan Gevan dan Olin dengan tangan yang terlipat di dada. Kali ini wajahnya terlihat kaku karena masih marah dengan aksi Gevan dan Olin. "Maaf, Mas." Olin menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Melihat kekasihnya yang menunduk merasa bersalah, Gevan meraih tangan Olin dan menggenggamnya erat. Dia menatap Tama untuk memintanya bersikap santai. Gevan tidak suka melihat Olin terintimidasi seperti ini meskipun semua kekacauan ini juga salah mereka. "Siapa yang mau jelasin?" tanya Tama. Olin melepas tangan Gevan yang menggenggamnya dan menunjuk pria itu, "Tanya sama dia. Apa lagi yang mau disembunyiin," sindirnya. Gevan meringis mendengar itu. Wajar jika Olin marah. Ketenangannya terusik dengan kedatangan Andra yang tiba-tiba. Baru mengenal tetapi pria itu sudah mengibarkan bendera perang dengan mengungkit nama Putri di hadapan Olin. Tentu itu saja s
Dengan langkah pelan, Andra berjalan di koridor rumah sakit menuju kamar rawat inap anaknya. Wajahnya yang kusut tidak bisa lagi disembunyikan. Di tambah dengan luka di wajahnya yang tidak bisa ditutupi oleh apapun. Andra hanya menggunakan es batu untuk sedikit mengurangi rasa nyeri di wajahnya. Sebelum masuk ke dalam kamar, dia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Perlahan dia membuka pintu dan melihat keadaan kamar yang sudah gelap. Bisa dipastikan jika Putri dan Dina sudah terlelap. Sebenarnya ini bukan waktunya dia untuk berjaga, tetapi Andra ingin datang untuk melihat dua wanita yang ia sayangi. Andra berdiri di samping ranjang dan menatap anaknya dengan lembut. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Dina dengan sayang. Perlahan senyum tipis mulai terukir di wajahnya. Melihat wajah Dina membuat perasaannya sedikit demi sedikit membaik. Andra bergerak mencium kening anaknya dan beralih pada Putri. Wanita itu tertidur di sofa dengan tubuh yang meringkuk. Melih
Di ruang tengah, Olin memejamkan matanya erat dan satu detik kemudian dia kembali membukanya. Dia mencoba untuk fokus melipat pakaian bersih di depannya. Saat kembali merasakan tarikan pelan pada lengannya, Olin kembali memejamkan mata sambil menarik napas dalam. Kesabarannya sedang diuji saat ini. Tentu saja oleh satu manusia yang akhir-akhir ini selalu menempel padanya. "Mas, lepasin dulu. Aku lagi beresin baju." Gevan berdecak mendengar ucapan Olin. Sedari tadi dia memang merebahkan diri di samping Olin sambil memeluk lengan wanita itu. Televisi yang menyala di hadapan mereka seolah tengah menonton aksi manjanya saat ini. "Ayo lah, Sayang." Gevan dengan manja memasukkan wajahnya di pinggang Olin. "Males ah, Mas. Lagian mendadak banget." "Johan ngabarinnya telat." Gevan mengerucutkan bibirnya. Olin menyelesaikan pakaian terakhir dan mulai menatap Gevan. Tangannya terulur untuk mengusap dahi pria itu. Tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Meskipun begitu, Oli
Mobil Gevan berhenti di depan sebuah gedung yang cukup tinggi. Melihat Gevan yang mulai bersiap, Olin juga mulai mengambil tasnya. Dia melihat riasannya sebentar sebelum kembali memoles pewarna bibir pada bibirnya. "Temen-temen Mas Gevan di sini?" tanya Olin saat mereka keluar dari mobil. "Iya, di atas. Rooftop Lounge," ucap Gevan sambil mengulurkan tangannya pada Olin. Olin mengangguk paham. Dia merasa kurang pergaulan karena baru tahu jika ada lounge di atas gedung ini. Sepertinya dia terlalu sibuk bekerja sehingga tidak pernah memikirkan kesenangannya. Karena terlalu sering menolak ajakan teman-temannya untuk hangout, akhirnya Olin berakhir dikucilkan. Hanya ada Fika dan Alif yang mau menemaninya ke pasar malam untuk sekedar melepas penat. Memang setelah orang tuanya meninggal, kehidupan Olin tidak lagi sama seperti dulu. "Untung aku pakai dress," ucap Olin menerima uluran tangan Gevan dan masuk ke dalam gedung bersama. "Emang kenapa?" Gevan menekan tombol lift. "Ya
Mobil berhenti tepat di depan rumah Olin. Selama perjalanan pulang, hanya ada keheningan di antara mereka. Tentu itu bukan tanpa alasan. Saat nama Putri disebut oleh teman-temannya tadi, Gevan tahu jika perasaan Olin tidak sama lagi. Wanita itu mulai menunjukkan senyum palsu. Gevan sudah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, tetapi sepertinya kisah masa lalunya memang menjadi topik menarik malam ini. "Aku duluan ya, Mas. Hati-hati nyetirnya. Kabarin kalau udah sampe rumah," ucap Olin yang akan membuka pintu mobil. Dahinya berkerut saat mobil masih dikunci oleh Gevan. Saat akan membuka secara manual, Gevan mencegahnya. "Jangan turun dulu," ucap pria itu. "Kenapa, Mas?" Gevan menghela napas lelah dan meraih tangan Olin, "Aku minta maaf." Olin tersenyum masam. Dia tahu apa yang dimaksud pria itu. Perlahan Olin mulai ikut menggenggam tangan Gevan dan mengelusnya pelan. "Aku ngerti kok, nggak papa," balasnya tersenyum. Melihat senyum itu, bukannya lega, Gevan malah se
Sambil bersiul, Gevan memasuki rumahnya dengan santai. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan keberadaan ibunya di manapun. Biasanya saat pulang kerja, Gevan selalu melihat ibunya di ruang tengah sambil membaca buku resep makanan. Di mana wanita itu? "Ma?" panggil Gevan. Sambil memainkan kunci mobil, Gevan melirik ke arah dapur. Tidak ada seorang pun di sana. "Mama?" panggil Gevan lagi. Kali ini dia menggunakan suara yang lebih keras. Gevan sudah menjelajahi semua ruangan di lantai satu dan tidak menemukan ada tanda-tanda kehidupan. Dengan langkah lebar dia mulai menaiki tangga menuju lantai atas. Gevan menghela napas lega saat melihat pintu kamarnya yang terbuka. Dia berjalan mendekat dan melihat ibunya yang tengah memasukkan pakaian bersih ke dalam lemari. Gevan masuk dan memeluk ibunya dari belakang. Tak lupa dia juga mencium kening wanita itu. Hal yang selalu ia lakukan saat berangkat dan pulang dari bekerja. "Tumben udah pulang? Biasanya malem," tanya Ibunya.