Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Lampu operasi yang berubah padam menjadi pertanda jika operasi telah selesai. Terlihat jelas gurat lelah di wajah seorang pria. Tentu saja, Gevan baru saja melakukan operasi yang berlangsung selama lima jam. Cukup lama karena dia menangani pasien dengan penyakit jantung. Setelah mengurus dan memeriksa beberapa hal, akhirnya Gevan bisa bebas. Dia berjalan menuju ruang istirahat dokter dengan langkah mantap. Dia berniat untuk tidur sebentar sebelum pulang. Sebenarnya hari ini bukan jadwal prakteknya, tapi Gevan harus menggantikan Anton yang tengah cuti bulan madu saat ini. Saat membuka pintu ruangan, Gevan menghela napas kasar. Dia menatap datar pada dua manusia yang tengah bermesraan di dalam ruangan saat ini. Seketika batinnya menjerit kesal melihat itu. "Kenapa harus di sini?" tanya Gevan jengah. Melihat keberadaan Gevan, Martin dan Eca hanya bisa tersenyum konyol. Mereka mulai saling menjauhkan diri. "Cuma di sini yang sepi, Van," balas Martin. Martin adalah sahabat
Di dalam sebuah kafe, terlihat seorang wanita tengah sibuk membersihkan sebuah piring. Dahinya berkerut dalam berusaha keras untuk menghilangkan noda kotor yang membuatnya kesal. Bahkan mesin pencuci piring pun tidak banyak membantu. "Aduh, bikin kerjaan banget," gumam Olin masih menggosok piringnya. Jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam dan membuatnya ingin segera pulang. Jika bukan karena jadwal piketnya untuk mengunci kafe, mungkin Olin sudah bersantai di atas tempat tidur saat ini. "Gue pecahin aja kali ya?" Olin menggeram kesal. "Belum selesai, Lin?" tanya Fika, temannya yang juga mendapatkan jadwal piket bersamanya malam ini. "Belum. Lo udah selesai ngepel?" "Udah. Aduh punggung gue." Fika mulai merenggangkan tubuhnya. "Ya udah lo tunggu di depan aja," ucap Olin, "Habis ini gue selesai." "Oke, gue tunggu di depan." Olin hanya bergumam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah lima menit berkutat, akhirnya piring yang menjadi musuhnya sedari tadi su
Gevan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Meskipun tubuhnya sudah terasa panas tapi bukan berarti dia akan membahayakan keselamatannya. Beruntung jalanan di jam dua pagi ini tampak sepi sehingga Gevan bisa membagi fokusnya dengan wanita di sampingnya. Saat di lampu merah, mata Gevan mulai terpejam menikmati sentuhan tangan wanita itu di tubuhnya. Napasnya berubah berat berusaha untuk menahan diri. Sebentar lagi mereka akan sampai di hotel. Lampu berubah menjadi hijau, dengan cepat Gevan mulai melajukan mobilnya. Namun jantung Gevan terasa lepas dari tempatnya saat melihat anak kecil yang berlari ke arah mobilnya. Beruntung dia bisa mengerem secara mendadak. "Sial!" umpat Gevan mulai keluar dari mobil. Dia bisa melihat anak itu terjatuh sambil menyentuh kakinya. Beruntung jalanan begitu sepi sehingga peristiwa ini tidak menimbulkan kemacetan. "Kamu nggak papa?" tanya Gevan khawatir. Rasa panas di tubuhnya mendadak hilang karena terkejut setelah menabrak seseorang.
Getaran pada sebuah ponsel membuat tidur Gevan terganggu. Dengan mata yang setengah terpejam, dia mulai mematikan alarm di ponselnya. Gevan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar bangun dari tidurnya. Dia baru sadar jika masih berada di rumah sakit saat ini. Perlahan dia bangkit untuk melihat kondisi Alif. Anak itu masih tertidur pulas. Beruntung wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. Ingatkan Gevan untuk membeli beberapa vitamin untuk Alif. Pandangannya mulai beralih pada wanita yang tertidur di samping ranjang. Gevan tersenyum miring saat melihat Olin yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala yang bersandar pada ranjang. Jujur saja Gevan sedikit kagum pada Olin yang begitu memperhatikan Alif. Tidak adanya hubungan darah di antara mereka tidak membuat Olin bersikap berbeda. Gevan bisa melihat jika wanita itu tulus menyayangi Alif. "Heh, bangun." Gevan menepuk pipi Olin pelan. Mereka harus segera pulan
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen