Di dalam sebuah kafe, terlihat seorang wanita tengah sibuk membersihkan sebuah piring. Dahinya berkerut dalam berusaha keras untuk menghilangkan noda kotor yang membuatnya kesal. Bahkan mesin pencuci piring pun tidak banyak membantu.
"Aduh, bikin kerjaan banget," gumam Olin masih menggosok piringnya. Jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam dan membuatnya ingin segera pulang. Jika bukan karena jadwal piketnya untuk mengunci kafe, mungkin Olin sudah bersantai di atas tempat tidur saat ini. "Gue pecahin aja kali ya?" Olin menggeram kesal. "Belum selesai, Lin?" tanya Fika, temannya yang juga mendapatkan jadwal piket bersamanya malam ini. "Belum. Lo udah selesai ngepel?" "Udah. Aduh punggung gue." Fika mulai merenggangkan tubuhnya. "Ya udah lo tunggu di depan aja," ucap Olin, "Habis ini gue selesai." "Oke, gue tunggu di depan." Olin hanya bergumam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah lima menit berkutat, akhirnya piring yang menjadi musuhnya sedari tadi sudah bersih. Dia tersenyum senang dan mulai membilasnya. Melihat pekerjaannya di dapur telah selesai, Olin bertepuk tangan puas. Dengan cepat dia melepas sarung tangannya dan bergegas menghampiri Fika yang menunggunya. Di luar, Olin tidak melihat siapapun. Keadaan kafe yang sudah gelap membuatnya sedikit bergidik. Dia mencari keberadaan Fika di setiap kursi tapi tidak menemukannya. Baru saja akan memanggil, tiba-tiba Olin dikejutkan dengan suara pintu kafe yang terbuka. Matanya menyipit saat melihat seorang pria berjalan masuk. Tidak mungkin pelanggan bukan? Dia ingat jika sudah memasang tanda tutup di pintu kafe. Di kegelapan malam, Olin mulai bersikap waspada. Dia tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Hanya bayangan tubuh tinggi dan tegap yang bisa ia lihat. Perlahan Olin mulai meraih sapu yang berada di belakangnya. Dia masih diam sampai pria itu berjalan melewatinya. Tanpa basa-basi, Olin langsung melayangkan sapunya ke arah pria asing itu. "Dasar maling?! Mampus lo penyet!" "Aduh!" Pria itu memberontak dan berusaha meraih sapu yang digunakan untuk memukulinya itu. "Lo maling kan? Ngaku nggak lo?!" "Saya bukan maling!" Olin berhenti memukul saat melihat wajah pria di hadapannya. Jika sudah dekat seperti ini dia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Olin seketika meringis, sepertinya wajah pria di hadapannya itu terlalu tampan untuk menjadi seorang pencuri. "Ma—maaf, tapi kafe sudah tutup," ucap Olin takut. "Lain kali tanya dulu, untung kepala saya aman." Pria itu tampak kesal dan membuang sapu dari tangan Olin. "Lagian masuk nggak ngucap salam dulu. Masih untung saya kira Om itu maling, bukan setan," ucap Olin. Pria itu menatap Olin tidak percaya. Jika kepalanya tidak pusing, dia siap untuk beradu argumen sampai pagi. "Saya mau ketemu Tama." Olin mengangkat wajahnya cepat, "Mas Tama?" "Iya, dia belum pulang kan?" Olin dengan cepat mengangguk, "Mas Tama ada di ruangannya, Om. Tapi—" Tanpa menunggu jawaban Olin, pria itu langsung berbalik pergi. Dengan kesal dia mulai berjalan ke ruangan Tama. Olin berniat mencegahnya. Dia tidak bisa membiarkan orang asing memasuki ruangan atasannya. Itu tidak sopan. "Maaf, Om. Tapi Om nggak boleh masuk. Kalau mau ketemu biar saya yang panggilin Mas Tama." "Nggak perlu, saya bisa sendiri." "Nggak boleh!" Olin merentangkan kedua tangannya. "Kamu nggak perlu khawatir. Saya bukan maling dan bukan setan juga. Saya sepupunya Tama." Kedua tangan Olin mendadak bergerak turun mendengar itu. Perlahan dia menggeser tubuhnya dan membiarkan pria itu berlalu ke ruangan Tama. Setelah menjauh, Olin menggigit bibirnya takut. "Mampus gue, kakau dia ngadu ke Mas Tama gimana? Gue harus balik sekarang." *** Sambil mengelus lengannya, Gevan berjalan menuju sebuah ruangan. Namun langkahnya terhenti saat pelayan yang memukulinya tadi menghadangnya. Gevan mulai kesal melihat itu. "Kamu nggak perlu khawatir. Saya bukan maling dan bukan setan juga. Saya sepupunya Tama." Melihat wanita di depannya yang mendadak diam, Gevan mulai teringat akan sesuatu. Jika sedang tenang seperti ini dia bisa melihat wajah lugu wanita itu dengan jelas. Benar, pantas saja Gevan merasa tidak asing dengan wanita itu, karena dia pernah melihatnya di sekitar lampu merah tadi. Ternyata wanita permen itu bekerja di kafe sepupunya. Gevan melanjutkan langkahnya ke ruangan Tama. Tanpa mengetuk pintu, dia langsung membukanya. Helaan napas kasar keluar begitu saja dari mulutnya. Gevan berdecak saat melihat Tama tengah mencium seorang wanita di meja kerjanya. Jika dilihat dari seragamnya, sepertinya wanita itu bekerja di kafe ini. "Gevan?" Tama tersadar dan melepas wanita di pelukannya saat ini. Dia menatap sepupunya itu dengan cengiran konyol. "Kalau lo sibuk gue bisa balik sekarang." Dengan cepat Tama menggeleng. Kemudian dia beralih pada wanita di sampingnya yang menunduk malu, "Kamu pulang dulu, Fik. Minta Olin tinggalin kuncinya di meja." "Iya, Mas." Dengan cepat Fika keluar dari ruangan meninggalkan Gevan dan Tama sendiri. Gevan menatap Tama kesal. Sebenarnya dia lebih kesal pada dirinya sendiri yang sudah melihat dua pasangan yang bercumbu hari ini. Kenapa hanya dirinya yang tampak menyedihkan di malam minggu ini? "Jadi kenapa lo ke sini?" "Temenin gue," ucap Gevan. "Ke mana?" "Club." Dahi Tama berkerut mendengar itu. Perlahan dia terkekeh saat menyadari sesuatu. "Habis kencan sama siapa lagi lo?" Gevan menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa, "Jessica." Sekarang Tama tahu apa yang membuat Gevan menemuinya di malam hari seperti ini. Jika sudah mengajaknya ke club malam, sudah dipastikan jika Gevan baru saja melakukan kencan buta yang tidak menyenangkan. Kencan yang tidak membuatnya tertarik dan hanya membuat kepalanya semakin pusing. "Nggak tertarik?" tanya Tama. "Nggak sama sekali." Gevan menggelengkan kepalanya mantap. "Lo aneh, Van. Apa jangan-jangan lo homo?" Gevan menatap Tama tajam, "Ikut nggak?" "Dari pada lo jajan mulu mending pilih satu, Van. Gue yakin pilihan Tante Ajeng juga pada cakep-cakep." Tama mengabaikan ucapan Gevan. Gevan mendengkus mendengar saran Tama. Dia juga ingin seperti itu tapi ini masalah hati. Jika dengan wanita pilihan ibunya, Gevan tidak bisa bermain-main karena itu menyangkut nama baik keluarganya. "Ikut nggak? Kalau nggak mau gue berangkat sendiri." Gevan mulai berdiri. Tama terkekeh melihat wajah frustrasi Gevan, "Oke, gue siap-siap dulu." "Pacar lo nggak marah kalau lo pergi ke sana?" "Siapa pacar gue?" tanya Tama bingung. "Yang tadi?" "Oh, Fika?" Tama terkekeh, "Bukan pacar gue kok." Gevan menggeleng tidak percaya, "Baru aja lo kasih saran gue buat nggak jajan, tapi lo sendiri juga tukang celup. Sama pegawai sendiri lagi." Tama tertawa mendengarnya. Mereka mulai keluar dari ruangan bersamaan. Melihat keadaan kafe yang rapi dan sepi, sepertinya kedua pegawainya itu sudah pulang. "Karyawan lo yang satunya tadi siapa namanya?" tanya Gevan mulai masuk ke dalam mobil. "Yang mana? Fika? Olin?" "Olin?" Gevan memastikan. "Kenapa sama Olin? Jangan macem-macem, dia cewek baik-baik." Gevan terdiam mendengar itu. Dia tahu jika wanita itu adalah wanita yang baik. Apa yang ia lihat di lampu merah tadi membuatnya yakin. Namun Gevan sedikit kesal saat wanita itu menuduhnya sebagai pencuri. "Hampir aja kepala gue benjol gara-gara dikira maling." "Bagus, dong. Berarti karyawan gue waspada." Tama terkekeh. "Ceroboh yang ada." *** TBCGevan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Meskipun tubuhnya sudah terasa panas tapi bukan berarti dia akan membahayakan keselamatannya. Beruntung jalanan di jam dua pagi ini tampak sepi sehingga Gevan bisa membagi fokusnya dengan wanita di sampingnya. Saat di lampu merah, mata Gevan mulai terpejam menikmati sentuhan tangan wanita itu di tubuhnya. Napasnya berubah berat berusaha untuk menahan diri. Sebentar lagi mereka akan sampai di hotel. Lampu berubah menjadi hijau, dengan cepat Gevan mulai melajukan mobilnya. Namun jantung Gevan terasa lepas dari tempatnya saat melihat anak kecil yang berlari ke arah mobilnya. Beruntung dia bisa mengerem secara mendadak. "Sial!" umpat Gevan mulai keluar dari mobil. Dia bisa melihat anak itu terjatuh sambil menyentuh kakinya. Beruntung jalanan begitu sepi sehingga peristiwa ini tidak menimbulkan kemacetan. "Kamu nggak papa?" tanya Gevan khawatir. Rasa panas di tubuhnya mendadak hilang karena terkejut setelah menabrak seseorang.
Getaran pada sebuah ponsel membuat tidur Gevan terganggu. Dengan mata yang setengah terpejam, dia mulai mematikan alarm di ponselnya. Gevan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar bangun dari tidurnya. Dia baru sadar jika masih berada di rumah sakit saat ini. Perlahan dia bangkit untuk melihat kondisi Alif. Anak itu masih tertidur pulas. Beruntung wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. Ingatkan Gevan untuk membeli beberapa vitamin untuk Alif. Pandangannya mulai beralih pada wanita yang tertidur di samping ranjang. Gevan tersenyum miring saat melihat Olin yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala yang bersandar pada ranjang. Jujur saja Gevan sedikit kagum pada Olin yang begitu memperhatikan Alif. Tidak adanya hubungan darah di antara mereka tidak membuat Olin bersikap berbeda. Gevan bisa melihat jika wanita itu tulus menyayangi Alif. "Heh, bangun." Gevan menepuk pipi Olin pelan. Mereka harus segera pulan
Di sebuah kamar, tampak seorang pria yang terlihat pasrah dengan apa yang ia alami. Tanpa membantah Gevan membiarkan ibunya menyemprotkan parfum di tubuhnya. Jika tidak mengingat jika wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya, sudah dipastikan jika Gevan akan melarikan diri. "Ma, cukup." Gevan mengambil botol parfum dari tangan ibunya. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kencan sama Tasya malam ini harus berhasil." "Habis sama Tasya sama siapa lagi?" tanya Gevan sarkasme. "Ada Anggun." "Ma!" Gevan menatap ibunya tidak percaya, "Mama nggak capek?" Dengan kesal wanita itu menarik telinga Gevan, "Seharusnya Mama yang tanya. Kamu nggak capek sendiri terus? Kamu nggak iri liat temen-temen kamu udah pada gendong anak?" "Ya kan jalan hidup orang beda-beda, Ma. Nggak bisa disamain." "Masih bantah Mama kamu? Kamu itu udah umur 39, Gevan!" "Kan belum 40." "Gevan!" Gevan berdecak, "Iya, tapi aku bisa cari sendiri. Mama nggak perlu jodoh-jodohin. Terbukti kalau semu
Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu. "Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stro
Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan
Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?