Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu.
"Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stroberi satu kotak," ucap Gevan langsung saat di depan kasir. Saat akan membayar barangnya, terdengar panggilan dari belakang tubuhnya. Gevan mengenal suara itu. "Om Gevan?" panggil suara itu. "Kamu ngapain di sini?" Gevan terkejut dan seketika langsung panik. "Beli gula, Om. Om Gevan sendiri ngapain di sini malem-malem?" tanya Olin sambil memperlihatkan barang yang ia bawa. Ya, dia adalah Olin. "Pakai kantong plastik, Kak?" tanya penjaga kasir tiba-tiba. Gevan mengumpat dan melempar barang yang ia beli hingga jatuh ke bawah meja kasir. Meskipun berusaha untuk menutupi, tapi Olin sudah melihatnya sekilas tadi. "Om Gevan beli apa itu?" tanya Olin dengan mata yang menyipit. "Nggak beli apa-apa. Saya mau beli kinder joy kok." Gevan mengambil beberapa permen dan cokelat yang berada di depan kasir. Olin mengangguk pelan dan tersenyum dalam diam. Dia tahu betul apa yang Gevan lakukan. Olin tidak sepolos itu untuk mengetahui barang apa yang pria itu beli. Dengan jelas benda itu terpajang di meja kasir. "Kamu cuma beli gula?" tanya Gevan. "Iya, Om." Olin menggangguk mantap. "Sekalian aja kalau gitu." Gevan mengambil gula dari tangan Olin dan meletakkannya di meja kasir. "Dibayarin, Om?" tanya Olin dengan mata yang berbinar. "Hm." "Saya tambah minyak goreng boleh?" Olin terkekeh mendengar ucapannya sendiri. "Ambil sana. Cepet.” Mendengar itu dengan cepat Olin berlari ke arah di mana minyak goreng berada. Selagi Olin pergi, Gevan dengan segera meminta kasir untuk mengambil barang yang ia lempar tadi. Dengan sangat cepat, Gevan memasukkannya ke dalam kantong celana. Tak lama Olin kembali dengan satu minyak goreng di pelukannya. "Cuma itu? Nggak ada yang lain?" Olin mengangguk yakin. Dia menatap belanjaannya dengan senang. Beruntung dia bertemu Gevan malam ini sehingga dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk kebutuhan dapurnya. "Kamu pulang naik apa?" tanya Gevan saat mereka sudah berada di luar supermarket. "Jalan kaki, Om." "Jalan?" Olin mengangguk dan menunjuk ke arah seberang jalan, "Iya, kontrakan saya masuk ke gang itu." "Biar saya anter." Olin dengan cepat menggeleng, "Nggak usah, Om. Makasih ya." "Udah malem, Lin." "Masih jam 11 kok," ucap Olin santai. "Oke kalau gitu,” jawab Gevan ragu. "Hati-hati ya." Olin mengangguk dan mulai berlalu pergi. Dia berdiri di trotoar untuk menunggu lampu merah berubah warna menjadi merah. Saat masih menunggu, Olin dikejutkan dengan dua orang pria yang berada di seberang jalan. Dari gerak-geriknya, kedua pria itu terlihat tengah mencari seseorang. "Mampus gue!" umpat Olin yang mulai berlari menghindar. Langkah kakinya membawanya kembali ke supermarket. Saat ini, mobil Gevan adalah tujuannya. "Om Gevan! Tungguin!" Dengan tergesa Olin masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang. Beruntung Gevan belum melajukan mobilnya. "Kamu kenapa?" tanya Gevan terkejut sekaligus bingung. Bagaimana dia harus bersikap sekarang? Hancur sudah nama baik yang Gevan bangun selama ini. Keberadaan wanita asing yang baru ia kenal tadi tentu membuat Olin akan berpikir yang tidak-tidak. "Om, ayo cepet pergi!" Olin terlihat sangat panik. "Kenapa, Lin? Ada apa?" "Udah, ayo cepet!" Olin menepuk bahu Gevan keras. Melihat Olin yang ketakutan, Gevan langsung melajukan mobilnya. Wanita itu mulai menghela napas lega di belakang sana. "Sebenernya ada apa?" tanya Gevan masih fokus menyetir. Olin menunduk dan memainkan tangannya gelisah. Dia bingung harus berkata jujur atau tidak saat ini. "Kenapa, Lin? Kalau kamu nggak bilang, saya turunin langsung di sini." Dengan cepat Olin menahan lengan Gevan, "Saya dikejar rentenir." "Rentenir?" Gevan kembali terkejut. "Kamu punya hutang?" "Bukan utang saya, tapi Bapak saya." Olin mengerucutkan bibirnya kesal. "Kenapa mereka kejar kamu? Bapak kamu di mana sekarang?" "Di kuburan," jawab Olin ketus. Jujur saja dia kembali kesal saat teringat dengan hutang-hutang ayahnya sebelum meninggal. "Maaf.” Gevan berdeham pelan, “Sekarang kita ke mana?" Olin menggaruk lehernya bingung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Saat ini rumahnya tidak lagi aman karena dikepung oleh para rentenir. "Kita mau ke hotel kan?" Tiba-tiba wanita di samping Gevan berbicara. Gevan mengumpat dalam hati dan menatap wanita itu tajam. Olin yang sadar mulai berdeham. "Berhenti di sini aja, Om. Saya turun di sini." Gevan menghentikan mobilnya di samping halte. Dia menoleh dan menatap Olin lekat. Terlihat jelas raut ketakutan dan kebingungan di wajahnya. "Kamu mau ke mana, hm?" Tanpa menjawab, Olin hanya menggeleng. Melihat respon yang diberikan, Gevan menghela napas kasar. Dengan cepat dia mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. Gevan memberikan uang itu pada wanita di sampingnya. "Kamu bisa turun di sini kan?" "Oke," jawab wanita itu dan bergegas turun dari mobil. Tidak ada protes karena dia juga tidak merasa dirugikan. "Maaf, Om. Gara-gara saya Om Gevan nggak jadi jajan," gumam Olin menunduk. Gevan tersedak ludahnya sendiri. Bagaimana bisa Olin mengatakannya secara jelas padahal Gevan berusaha untuk menyembunyikannya sedari tadi? Rasa percaya diri Gevan sudah benar-benar menipis saat ini dan itu semua karena Olin. "Untuk malam ini kamu tidur di apartemen saya aja." "Apartemen?" Olin terkejut dan memeluk tubuhnya sendiri. Gevan berdecak, "Jangan mikir aneh-aneh. Apartemen saya kosong dan ka—" "Kosong?!" Olin mulai histeris. "Diem." Gevan menggeram gemas. "Maksud saya apartemen saya kosong, jadi kamu bisa tidur di sana malam ini. Kalau saya ya pulang ke rumah saya sendiri." "Oh...," Olin mengangguk paham. Perlahan cengiran konyol mulai muncul di wajahnya. "Makasih ya, Om." *** Olin masuk ke dalam apartemen Gevan dengan langkah pelan. Meskipun sedikit ragu, tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Olin sangat bersyukur dengan bantuan Gevan. "Kenapa Om Gevan nggak tidur di sini?" "Apartemen ini saya sewain dulu. Baru kosong dua minggu yang lalu." Olin mengangguk mengerti. Dia berbalik dan menahap Gevan lekat. Perlahan dia melambaikan tangannya pada pria itu. "Apa?" tanya Gevan bingung. "Selamat malam, Om. Saya udah ngantuk, sampai jumpa besok." Olin masih melambaikan tangannya. Gevan menggelengkan kepalanya pelan. Olin benar-benar wanita yang konyol menurutnya. "Kamu punya nomer saya kan? Telepon aja kalau ada apa-apa." "Oke, Om." "Saya pulang dulu," pamit Gevan sambil mengacak pelan rambut Olin. "Hati-hati." Gevan mengangguk dan mulai keluar dari apartemennya. Kepalanya menggeleng saat tersadar dengan apa yang ia lakukan. Lagi-lagi Gevan membantu Olin. Kenapa dia selalu bersedia melakukan ini? *** TBCSuara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan
Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?
Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te
Di kafe yang cukup ramai itu, terlihat semua pegawai tampak bekerja dengan keras. Entah kenapa sore ini pengunjung menjadi berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan tidak ada waktu bagi Olin untuk bersandar sebentar. Kakinya dengan aktif berjalan ke sana ke mari untuk mencatat dan mengantar pesanan. Meskipun lelah, tapi Olin juga senang. Jika kafe ramai maka sudah dipastikan Tama akan memberikan bonus di akhir bulan. Meskipun Tama adalah tipe atasan yang acuh tak acuh tapi dia selalu peduli dengan para pegawainya. Olin adalah contohnya, tak jarang Tama memberikan gaji di awal bulan untuk Olin untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dulu. Oleh karena itu Olin membalasnya dengan cara bekerja dengan keras dan serius. Suara lonceng pintu kafe yang berbunyi menandakan jika ada pengunjung yang datang. "Selamat datang," ucap Olin yang kebetulan berdiri di dekat pintu masuk. Senyum Olin luntur saat melihat siapa yang datang. Perlahan dia menghela napas pelan dan kembali tersenyum mas
Tepat pukul 11 malam, Olin masih duduk di ruang tamu kontrakannya dengan kaki yang bergoyang gelisah. Sudah tiga jam dia duduk di sana menanti kedatangan seseorang. Sesekali dia melirik jendela di belakangnya saat mendengar suara kendaraan. Namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Benar, Olin memang sedang menunggu Gevan. Berkali-kali dia mencoba untuk mengelak, tapi kenyataannya dia memang menunggu kedatangan pria itu. Olin membenci dirinya sendiri tapi dia juga tidak bisa menahannya. Apa yang ia lakukan saat ini murni karena dorongan hati. "Apa Om Gevan lupa ya?" gumam Olin kembali menggerakkan kakinya gelisah. "Apa udah tidur di rumah? Atau jangan-jangan lagi di hotel sama cewek lain?" Olin dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Om Gevan sendiri yang bilang kalau mau tobat." Olin kembali melirik jendela, "Tapi kan tobatnya kalau gue mau dinikahin?" Perasaan gelisah itu membuat Olin mengacak rambutnya frustrasi. Dia ingin sekali bersikap tak a