Di sebuah kamar, tampak seorang pria yang terlihat pasrah dengan apa yang ia alami. Tanpa membantah Gevan membiarkan ibunya menyemprotkan parfum di tubuhnya. Jika tidak mengingat jika wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya, sudah dipastikan jika Gevan akan melarikan diri.
"Ma, cukup." Gevan mengambil botol parfum dari tangan ibunya. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kencan sama Tasya malam ini harus berhasil." "Habis sama Tasya sama siapa lagi?" tanya Gevan sarkasme. "Ada Anggun." "Ma!" Gevan menatap ibunya tidak percaya, "Mama nggak capek?" Dengan kesal wanita itu menarik telinga Gevan, "Seharusnya Mama yang tanya. Kamu nggak capek sendiri terus? Kamu nggak iri liat temen-temen kamu udah pada gendong anak?" "Ya kan jalan hidup orang beda-beda, Ma. Nggak bisa disamain." "Masih bantah Mama kamu? Kamu itu udah umur 39, Gevan!" "Kan belum 40." "Gevan!" Gevan berdecak, "Iya, tapi aku bisa cari sendiri. Mama nggak perlu jodoh-jodohin. Terbukti kalau semuanya nggak ada yang berhasil kan?" Ibu Gevan menggelengkan kepalanya dan mulai berjalan menjauh. Dia tampak lelah beradu argumen dengan anaknya. Dia sudah berumur dan yang ia inginkan hanya melihat anaknya menikah. Dia iri melihat teman-temannya yang selalu bermain dengan cucunya. "Kamu tau kenapa Mama selalu jodohin kamu sama anak temen Mama? Itu karena kamu nggak pernah kenalin pacar kamu, Gevan. Andai kamu punya pacar, pasti Mama nggak bakal jodohin kamu. Pasti Mama langsung kawinin kalian berdua." "Emang kucing pake dikawinin," gumam Gevan pelan. "Mama pingin cucu!" teriak Ibu Gevan tiba-tiba. "Iya-iya... nanti malem aku bikinin cucu." "Gevan!" Gevan meringis saat ibunya kembali membahas tentang pernikahan. Tanpa menjawab dengan cepat dia meraih jam tangan dan juga dompetnya. Setelah itu Gevan menghampiri ibunya dan mencium keningnya cepat. "Aku berangkat dulu." Jika sudah membicarakan masalah cucu, maka perdebatan tidak akan selesai. Gevan tidak mau terus mendengar omelan ibunya mengenai hal yang sama setiap harinya. *** Di belakang sebuah bangunan kafe, terihat seorang wanita yang tengah duduk bersila sambil membuka bungkus permen. Sesekali tangannya mengelus kepala anak kucing yang berada di sampingnya. Di tengah ramainya pengunjung kafe, Olin harus bisa mencuri waktu untuk istirahat makan siang. Terbukti jika dia baru makan siang di saat sore hari seperti ini. "Dimakan ya, Yang?" ucap Olin memberikan kepala ikan sisa makannya pada kucing liar yang selalu berada di belakang kafe. Pintu belakang kafe terbuka dan muncul Fika dan Alan. Alan adalah seorang koki di kafe tempat ia bekerja. "Lo kasih makan apa si kuyang?" tanya Alan. "Enak aja kuyang. Yayang nih, panggil Yayang!" ucap Olin tidak terima. "Dih, malu udah gede manggil kucing Yayang, cari pacar sana," ledek Fika. "Heh, Pikacu! Gue masih belum kenyang ya, jangan sampe lo ikutan gue makan." "Mana bisa Olin cari pacar, Pik? Orang dunianya nggak jauh-jauh dari kerja, si Yayang, sama si Alif." Alan mulai menyulut rokoknya. Beruntung keadaan kafe sudah mulai tenang sehingga mereka bisa bergantian untuk beristirahat di belakang kafe, markas mereka. "Eh, si Alif apa kabar? Kok gue jarang liat dia di lampu merah," tanya Fika mengambil satu permen dari kantong celana Olin. Olin menghela napas kasar mendengar pertanyaan Fika. Dia sendiri juga tidak tahu di mana keberadaan Alif dan bagaimana keadaannya. Olin hanya bisa berdoa jika Alif baik-baik saja. Dia takut jika anak itu kembali disiksa oleh ibunya. "Terakhir gue ketemu Alif minggu lalu pas anterin dia pulang dari rumah sakit. Setelah itu nggak pernah ketemu lagi." "Kasian Alif. Pasti dia disuruh pindah tempat jualan sama si Medusa biar lo nggak ganggu dia lagi," ucap Alan. "Andai gue punya nomernya Kak Seto, udah gue aduin dari dulu." Alan dan Fika hanya bisa menggeleng melihat tingkah Olin. Di tengah keterbatasan ekonomi yang wanita itu alami, Olin tidak pernah lupa dengan orang-orang di sekitarnya. Dia terlalu baik sehingga lupa dengan kebahagiaannya sendiri. Seperti kata Alan, dunia Olin hanya fokus pada tiga hal, yaitu mencari uang, memberi makan si Yayang, dan menjaga Alif. Untuk Alif, dia adalah anak kecil yang berhasil menarik simpati Olin. Dia sudah menganggap Alif seperti adiknya sendiri. *** Di sebuah kafe yang cukup ramai itu, Olin dengan cekatan berjalan ke sana-ke mari untuk mencatat dan mengantarkan pesanan. Malam ini banyak pengunjung kafe yang datang. Meskipun malam-malam sebelumnya juga ramai, tapi malam ini ada banyak pasangan anak muda yang tengah berkencan. "Makanannya, Kak. Spageti Aglio Olio," ucap Olin dengan senyuman manis. "Mbak, jangan ganjen dong sama pacar saya." Senyum Olin langsung luntur mendengar itu. Dia menatap remaja di hadapannya dengan bingung. Dia hanya bersikap ramah, bukan menggoda. "Maaf ya, Kak." Olin memilih untuk meminta maaf dan kembali tersenyum. Dia tidak ingin memperkeruh suasana. "Tuh kan! Mbaknya senyum lagi. Sengaja ya godain cowok saya?" Olin kembali dibuat bingung. Apa dia melakukan kesalahan? "Yang, kamu apa-apaan sih? Mbaknya nggak salah kok kamu omelin?" ucap laki-laki yang Olin yakini sebagai kekasih gadis yang memarahinya. "Oh, kamu belain dia?! Emang ya kamu itu nggak ngerasa salah. Bukannya minta maaf malah caper ke Mbak ini!" Olin memeluk nampannya erat. Dia tersenyum canggung pada pengunjung yang kini mulai menatap mereka. Jika tidak ingat dengan tata krama, sudah sedari tadi dia melayangkan nampan di tangannya. "Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Saya permisi dulu." "Eh jangan pergi!" Gadis remaja itu menarik tangan Olin dan beralih pada kekasihnya, "Sekarang aku tanya sama kamu, aku sama Mbak ini cantikan mana?" Olin menggelengkan kepalanya tidak percaya. Sepertinya gadis di depannya itu sudah gila, atau mengalami depresi? Jika sedang bertengkar dengan kekasihnya kenapa harus Olin yang mendapat getahnya? "Kak, saya mau kerja lagi." Olin masih berusaha sabar. "Nggak boleh!" "Kak!" Kali ini Olin habis kesabaran. Dia menatap tajam pada gadis di depannya itu. Dengan kesal Olin meletakkan nampannya dan mulai menggulung lengan seragamnya, "Kalau ada masalah sama pacarnya jangan bawa-bawa saya dong!" "Heh! Kok Mbak jadi kurang ajar sama saya? Nggak sopan banget!" "Ya maunya Kakak ini apa? Dikasih senyum salah, diomelin juga salah." "Saya mau bicara sama manager kafe ini!" ucap gadis yang masih tidak merasa bersalah itu. "Nggak ada manager! Manager lagi pengajian!" balas Olin tajam. "Pembeli itu raja, harus dituruti! Cepet panggilin managernya." "Lo itu bukan raja tapi kuyang!" Habis sudah kesabaran Olin. Dia sudah cukup lelah hari ini tapi ada manusia gila yang membuat emosinya meledak. "Lo!" "Ada apa ini?" tanya seorang pria yang tiba-tiba datang. "Ini, Mas. Bocil satu ini cari gara-gara," adu Olin pada Tama. Perlahan Tama menatap gadis remaja itu dengan senyuman. Sebagai pemilik kafe tentu dia harus bersikap ramah. "Loh, Mas ngapain senyum-senyum ke pacar saya? Mau godain pacar saya ya?" ucap laki-laki yang sedari tadi diam. Seketika senyum Tama luntur. Begitu juga Olin, dia semakin emosi melihat pasangan gila di depannya. "Keluar kalian!" ucap Olin tegas. "Jangan kurang ajar ya, Mbak!" "Keluar!" Olin menarik dua orang itu keluar dari kafe, "Selesain masalah kalian dulu baru makan!" Olin kembali masuk sambil merapikan pakaiannya yang kusut. Tanpa disangka para pelanggan yang sedari tadi menikmati drama yang terjadi langsung bertepuk tangan untuknya. "Keren banget, Mbak!" ucap seseorang sambil mengacungkan kedua jempolnya, "Emang harus diusir. Dari tadi pasangan itu berantem mulu bikin ganggu." Olin tersenyum sambil memperlihatkan wajah bangganya. Dari kejauhan, terlihat seorang pria terkekeh melihat tingkah Olin sedari tadi. Dia merasa geli dengan aksi Olin yang menarik perhatiannya. "Van, kamu denger nggak aku ngomong apa?" ucap Tasya menyadarkan Gevan. "Ya? Kamu ngomong apa tadi?" Gevan kembali menatap wanita di hadapannya. "Nggak, nggak jadi." Gevan hanya mengangguk dan kembali melihat Olin yang berjalan ke dapur sambil melambaikan tangannya seperti model. Lagi-lagi Gevan terkekeh geli. "Lucu," gumamnya pelan. *** TBCSeperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu. "Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stro
Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan
Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?
Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te
Di kafe yang cukup ramai itu, terlihat semua pegawai tampak bekerja dengan keras. Entah kenapa sore ini pengunjung menjadi berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan tidak ada waktu bagi Olin untuk bersandar sebentar. Kakinya dengan aktif berjalan ke sana ke mari untuk mencatat dan mengantar pesanan. Meskipun lelah, tapi Olin juga senang. Jika kafe ramai maka sudah dipastikan Tama akan memberikan bonus di akhir bulan. Meskipun Tama adalah tipe atasan yang acuh tak acuh tapi dia selalu peduli dengan para pegawainya. Olin adalah contohnya, tak jarang Tama memberikan gaji di awal bulan untuk Olin untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dulu. Oleh karena itu Olin membalasnya dengan cara bekerja dengan keras dan serius. Suara lonceng pintu kafe yang berbunyi menandakan jika ada pengunjung yang datang. "Selamat datang," ucap Olin yang kebetulan berdiri di dekat pintu masuk. Senyum Olin luntur saat melihat siapa yang datang. Perlahan dia menghela napas pelan dan kembali tersenyum mas