Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi.
"Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tanya, kamu itu siapa?" "Sa—saya Olin, Tante." "Siapanya Gevan?" "Om Gevan?" tanya Olin bingung, "Saya...," Dia menggaruk lehernya sambil berpikir. Olin tidak tahu harus menjawab apa. Jika dikatakan teman pun mereka bukanlah teman. Lagipula Gevan sudah terlalu tua untuk menjadi temannya. "Di mana Gevan?" Wanita paruh baya itu berdecak dan mulai masuk ke dalam apartemen. "Maaf, kalau boleh saya tau Tante siapa ya?" Wanita itu berbalik dan menatap Olin tajam, "Saya ibunya Gevan." Mata Olin membulat mendengar itu. Dengan cepat dia berjalan mendekat dan mencium tangan Ibu Gevan dengan sopan. "Maaf, Tante. Saya nggak tau." Olin meringis. "Di mana anak saya?" Ibu Gevan mulai masuk semakin dalam dan memeriksa semua kamar. “Gevan keluar kamu!" teriaknya. Olin berlari kecil mengikuti, "Om Gevan nggak ada di sini, Tante." "Jujur sama saya. Di mana dia sembunyi? Dasar anak nakal!" Olin meringis dan mulai mengambil ponselnya. Dia mengetikkan pesan untuk Gevan untuk segera datang membantunya. Jujur saja Olin sedikit takut dengan wanita di hadapannya itu. "Sekarang kamu bilang sama saya, dibayar berapa kamu sama dia?" Kali ini Ibu Gevan mulai menatap Olin sepenuhnya. "Maksudnya, Tan?" Olin tampak bingung. "Nggak usah pura-pura nggak tau. Saya tau kalau kamu salah satu dari sekian banyaknya wanita yang jadi temen main Gevan kalau malem. Iya kan?" Dengan reflek Olin memeluk tubuhnya sendiri. Dia bergerak mundur dan menggeleng cepat. "Tante salah paham. Saya bukan temen main kuda-kudaannya Om Gevan." "Kamu pikir saya percaya?" "Ya harus percaya dong, Tan. Kan saya memang bukan cewek kayak begitu." Olin mulai memelas. "Udah lah, sekarang kamu bilang di mana anak saya sekarang?" Saat akan menjawab, Olin mendengar suara pintu apartemen yang dibuka. "Olin, ini saya bawain sarapan." Suara Gevan membuat tubuh Olin menegang. "Kamu bohong sama saya? Gevan keluar buat beli sarapan kan?" Olin dengan cepat menggeleng, "Bukan gitu, Tante." "Olin, kamu di man—na?" Gevan menghentikan langkahnya saat melihat Olin bersama ibunya. "Om Gevan nggak baca chat saya?" bisik Olin pelan. Gevan dengan lemah menggeleng. Dia masih menatap ibunya terkejut, "Mama ngapain di sini?" "Dasar anak nakal!" Ibu Gevan melempar tasnya pada Gevan. Perlahan air mata mulai turun di pipinya. "Loh, Tante jangan nangis." Olin mulai panik. "Mama udah capek-capek kenalin kamu ke temen-temen anak Mama, tapi kamu malah suka main perempuan kayak gini. Sakit hati Mama, Van." Sepertinya tangis Ibu Gevan bukanlah sandiwara kali ini. Dia benar-benar kecewa dengan Gevan yang tak pernah mendengarkannya dan bertingkah seperti pria yang tidak bertanggung jawab. "Pak, bantuin jawab!" ucap Olin mengenggol lengan Gevan. "Ma.. aku minta maaf." Gevan menarik ibunya untuk masuk ke dalam pelukannya. "Sekarang jelasin ke Mama. Siapa dia?" Olin mundur satu langkah saat Ibu Gevan menunjuknya. Dia meringis menyadari tatapan tajam wanita itu. "Dia cewek panggilan kan?" Lanjutnya. "Bukan, Ma." Gevan dengan cepat dan tegas menggeleng. "Terus kenapa dia ada di sini? Di apartemen kamu?!” Gevan meringis dan mulai menarik Olin mendekat. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya. "Olin pacar aku, Ma,” ucapnya tiba-tiba. Kali ini bukan hanya Ibu Gevan yang terkejut, melainkan Olin juga. Matanya membulat menatap Gevan tidak percaya. Dia ingin menjauh tapi dengan cepat pria itu menahan pinggangnya. "Kamu bilang apa tadi?" Ibu Gevan mulai menghapus air matanya. "Kenalin, dia Olin. Pacar aku." "Tapi Om—" Olin menelan ucapannya kembali saat Gevan meremas pinggangnya cukup erat. Seolah memberi tanda untuk tetap diam. "Jadi dia bukan cewek panggilan?" Ibu Gevan kembali memastikan. "Bukan, Ma. Dia pacar aku, jadi Mama nggak perlu mikir yang aneh-aneh tentang Olin. Iya kan, Sayang?" Gevan menatap Olin lekat, berharap jika wanita itu tahu akan sinyal bantuan yang ia butuhkan. "I—iya, Tante." Ibu Gevan menghela napas lega. Dia berjalan mendekat dan menyentuh lengan Olin. "Maaf ya. Tante agak pusing liat kelakuan Gevan akhir-akhir ini jadinya mikir yang enggak-enggak." Olin tersenyum tipis, "Nggak papa kok, Tante. Om Gevan emang pantes dicurigain." "Om?" "Mas," jawab Gevan cepat, "Olin suka bercanda, Ma. Dia panggil aku Mas kok." "Kamu umur berapa, Sayang?" tanya Ibu Gevan mulai melunak. Bagaimana dia tidak senang jika mendengar anaknya sudah memiliki kekasih? "Mau 26 tahun, Tante." Ibu Gevan tersenyum senang, "Pas!" "Apanya yang pas?" tanya Gevan waspada. "Kapan kalian nikah? Mama udah punya kenalan wedding organizer dari temen-temen Mama." Olin tesedak ludahnya sendiri mendengar itu. Dia masih terkejut dengan kebohongan yang Gevan ucapkan, lalu sekarang Olin kembali dibuat terkejut dengan topik pernikahan ini. "Itu masih jauh, Ma. Aku sama Olin mau nikmatin waktu dulu." "Kamu itu udah tua!" Ibu Gevan memukul kepala anaknya kesal. "Tapi hubungan aku sama Olin itu masih baru, Ma." "Baru berapa lama?" "Baru 2 bulan," ucap Gevan asal. "Udah cukup buat pendekatan. Nggak baik ditunda-tunda, apalagi pas Mama tau kalau kalian... tidur bareng." "Kita nggak tidur bareng, Tante." Olin menggeleng tegas. "Halah, nggak usah bohong. Gevan nggak pulang ke rumah semalem, udah pasti dia tidur di sini kan?" Olin menatap Gevan penuh pertanyaan. Seingatnya pria itu berkata jika akan pulang ke rumah semalam. "Aku tidur di apartemen Tama, Ma,” jawab Gevab jengah. Gevan mengatakan kejujuran. Dia memilih untuk mengungsi di tempat Tama dari pada bertemu dengan ibunya dan mendapatkan pertanyaan yang sama setiap harinya. "Kamu pikir Mama percaya kamu di tempat Tama? Udah, Mama nggak mau tau, pokoknya kalian harus cepet nikah." Ibu Gevan beralih pada Olin, "Kapan Tante bisa ketemu sama orang tua kamu, Lin?" tanyanya lembut. "Anu.. itu, Tan. Orang tua saya sudah meninggal." Gevan dan ibunya terkejut mendengar itu. "Maaf, Tante nggak tau, Lin." Olin tersenyum dan menggeleng, "Nggak papa kok, Tante." "Ya udah, berarti persiapan bisa lebih cepat. Kalian bisa nikah lebih dalam waktu dekat." Ibu Gevan menepuk tangannya senang. "Ma...," Gevan ingin menyerah saja rasanya. "Nggak usah protes!" ucap Ibu Gevan tegas, "Kamu ada jadwal jaga kan habis ini? Kalau gitu lagsung siap-siap dan berangkat. Mama mau pulang dan belanja bahan makanan. Nanti malem Mama mau kalian berdua makan malam di rumah." "Oke, sekarang Mama pulang dulu." Gevan dengan cepat membawa ibunya untuk keluar dari apartemen. "Inget, Van. Cepetan cari tanggal. Mama udah nggak sabar pingin gendong cucu." "Iya, nanti aku bikinin 10," ucap Gevan asal dan mendorong Ibunya untuk masuk ke dalam lift, "Hati-hati," ucapnya sambil mencium kening ibunya. Gevan menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. Setelah Ibunya pergi, dia berbalik untuk kembali ke apartemen. Langkahnya terhenti saat melihat Olin yang tengah bersandar di pintu apartemen dengan tangan yang terlipat di dada. Tatapannya tampak mengerikkan berharap akan ada penjelasan yang keluar dari bibir Gevan mengenai kejadian tadi. "Jadi dramanya bakal ada berapa episode, Om?" tanya Olin. "Maaf." *** TBCSambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?
Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te
Di kafe yang cukup ramai itu, terlihat semua pegawai tampak bekerja dengan keras. Entah kenapa sore ini pengunjung menjadi berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan tidak ada waktu bagi Olin untuk bersandar sebentar. Kakinya dengan aktif berjalan ke sana ke mari untuk mencatat dan mengantar pesanan. Meskipun lelah, tapi Olin juga senang. Jika kafe ramai maka sudah dipastikan Tama akan memberikan bonus di akhir bulan. Meskipun Tama adalah tipe atasan yang acuh tak acuh tapi dia selalu peduli dengan para pegawainya. Olin adalah contohnya, tak jarang Tama memberikan gaji di awal bulan untuk Olin untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dulu. Oleh karena itu Olin membalasnya dengan cara bekerja dengan keras dan serius. Suara lonceng pintu kafe yang berbunyi menandakan jika ada pengunjung yang datang. "Selamat datang," ucap Olin yang kebetulan berdiri di dekat pintu masuk. Senyum Olin luntur saat melihat siapa yang datang. Perlahan dia menghela napas pelan dan kembali tersenyum mas
Tepat pukul 11 malam, Olin masih duduk di ruang tamu kontrakannya dengan kaki yang bergoyang gelisah. Sudah tiga jam dia duduk di sana menanti kedatangan seseorang. Sesekali dia melirik jendela di belakangnya saat mendengar suara kendaraan. Namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Benar, Olin memang sedang menunggu Gevan. Berkali-kali dia mencoba untuk mengelak, tapi kenyataannya dia memang menunggu kedatangan pria itu. Olin membenci dirinya sendiri tapi dia juga tidak bisa menahannya. Apa yang ia lakukan saat ini murni karena dorongan hati. "Apa Om Gevan lupa ya?" gumam Olin kembali menggerakkan kakinya gelisah. "Apa udah tidur di rumah? Atau jangan-jangan lagi di hotel sama cewek lain?" Olin dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Om Gevan sendiri yang bilang kalau mau tobat." Olin kembali melirik jendela, "Tapi kan tobatnya kalau gue mau dinikahin?" Perasaan gelisah itu membuat Olin mengacak rambutnya frustrasi. Dia ingin sekali bersikap tak a
Di sebuah supermarket yang cukup besar, Gevan mendorong troli belanjanya sambil memainkan ponsel. Di depannya Olin tampak berjalan santai sambil melihat ke sekelilingnya. Beruntung jadwal Gevan masih dua jam lagi, sehingga dia bisa menemani Olin untuk mengisi kebutuhan dapurnya terlebih dahulu. Hitung-hitung dia ingin berterima kasih pada wanita itu karena sudah membuat tidurnya nyenyak semalam. Gevan masih fokus pada ponselnya karena menerima pesan menggelikan dari ibunya. Pasti wanita itu mencarinya semalam karena tidak pulang ke rumah. Hal itu sedikit mengganggu Gevan yang sudah dewasa, akan tetapi dia kembali teringat jika ibunya hanya memiliki dirinya di dunia ini. Tentu wanita itu sangat khawatir. "Kamu di mana, Van? Jangan sampe Mama obrak-abrik semua hotel buat cari kamu. Kalau udah ketemu, Mama bakal potong titit kamu!" Lagi-lagi Gevan tertawa membaca pesan ibunya. Kadang wanita itu berkata dan bertingkah sesuka hati. "Lagi sama Ayang, Ma. Jangan khawatir." Ge