Tepat pukul 11 malam, Olin masih duduk di ruang tamu kontrakannya dengan kaki yang bergoyang gelisah. Sudah tiga jam dia duduk di sana menanti kedatangan seseorang. Sesekali dia melirik jendela di belakangnya saat mendengar suara kendaraan. Namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Benar, Olin memang sedang menunggu Gevan. Berkali-kali dia mencoba untuk mengelak, tapi kenyataannya dia memang menunggu kedatangan pria itu. Olin membenci dirinya sendiri tapi dia juga tidak bisa menahannya. Apa yang ia lakukan saat ini murni karena dorongan hati. "Apa Om Gevan lupa ya?" gumam Olin kembali menggerakkan kakinya gelisah. "Apa udah tidur di rumah? Atau jangan-jangan lagi di hotel sama cewek lain?" Olin dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Om Gevan sendiri yang bilang kalau mau tobat." Olin kembali melirik jendela, "Tapi kan tobatnya kalau gue mau dinikahin?" Perasaan gelisah itu membuat Olin mengacak rambutnya frustrasi. Dia ingin sekali bersikap tak a
Di sebuah supermarket yang cukup besar, Gevan mendorong troli belanjanya sambil memainkan ponsel. Di depannya Olin tampak berjalan santai sambil melihat ke sekelilingnya. Beruntung jadwal Gevan masih dua jam lagi, sehingga dia bisa menemani Olin untuk mengisi kebutuhan dapurnya terlebih dahulu. Hitung-hitung dia ingin berterima kasih pada wanita itu karena sudah membuat tidurnya nyenyak semalam. Gevan masih fokus pada ponselnya karena menerima pesan menggelikan dari ibunya. Pasti wanita itu mencarinya semalam karena tidak pulang ke rumah. Hal itu sedikit mengganggu Gevan yang sudah dewasa, akan tetapi dia kembali teringat jika ibunya hanya memiliki dirinya di dunia ini. Tentu wanita itu sangat khawatir. "Kamu di mana, Van? Jangan sampe Mama obrak-abrik semua hotel buat cari kamu. Kalau udah ketemu, Mama bakal potong titit kamu!" Lagi-lagi Gevan tertawa membaca pesan ibunya. Kadang wanita itu berkata dan bertingkah sesuka hati. "Lagi sama Ayang, Ma. Jangan khawatir." Ge
Menikati hari liburnya, Olin memilih untuk berjalan-jalan. Dia tidak bisa jika terus berada di rumah tanpa melakukan apapun. Oleh karena itu dia memutuskan untuk pergi dengan menggunakan motornya. Dia hanya sendiri karena Gevan harus kembali ke rumah sakit setelah mengantarnya berbelanja. Sedikit demi sedikit Olin tahu betapa sibuknya pria itu. Saat di lampu merah, mata Olin mengedar ke segala arah. Dia menyipit agar bisa melihat dengan jelas dan juga untuk menghalau sinar matahari. Dia sedang mencari seseorang saat ini, seorang anak yang sudah lama tidak ia temui. Alif, bagaimana kabar anak itu? "Apa beneran Alif pindah lapak ya? Gara-gara si gerandong pasti ini," rutuk Olin. Meskipun tidak bertemu dengan Alif tapi dia tetap berusaha mencarinya. Olin berkeliling di setiap lampu merah sekitar kafe. Olin yakin jika Alif tidak akan pindah terlalu jauh karena anak itu berjalan kaki dari rumahnya. "Kak, korannya, Kak?" Olin menoleh saat mendengar suara yang tak asing.
Sambil memainkan kunci mobil, Gevan berjalan santai menuju tempat parkir. Dia melirik jam tangannya sebentar dan tersenyum. Dia tidak sabar untuk bertemu kekasih hatinya. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah dan sekarang Gevan ingin bertemu lagi. "Gevan!" suara panggilan itu menghentikannya yang akan membuka pintu mobil. "Apa?" tanya Gevan pada Martin yang berlari ke arahnya. "Lo mau ke mana?" "Pulang." Martin berdecak, "Nongkrong lah bentar. Ayo." Dengan cepat Gevan menggeleng, "Nggak dulu hari ini." "Lo udah jarang kumpul sekarang." Mata Martin mulai menyipit, "Lo mau ketemu Olin ya?" Gevan menyeringai dan mengangguk senang, "Iya." "Jadi hubungan lo sama dia beneran serius?" "Gue nggak pernah main-main kalau udah komitmen, Tin." "Gue paham. Selamat berusaha kalau gitu. Titip salam sama Dedek Olin ya?" goda Martin. "Cuihh, nggak sudi." Saat akan kembali masuk ke dalam mobil, Martin kembali mencegahnya. "Apa lagi?" tanya Gevan jengah. "Gue
Suasana pagi yang seharusnya berjalan dengan baik dan menyenangkan mendadak berubah menjadi suram. Gevan menelan sarapannya dengan tidak napsu. Di tangannya terdapat sebuah undangan pernikahan yang masih ia lihat dengan tatapan aneh. Dia masih merasa asing dengan undangan pernikahan mengingat jika dia belum pernah memilikinya hingga saat ini. "Kenapa harus aku?" tanya Gevan untuk yang kesekian kalinya. Dia beralih pada ibunya yang tengah memotong buah melon menjadi potongan yang kecil. Wanita itu tampak santai, mengabaikan ekspresi kesal Gevan yang tidak ia tutupi. "Karena Mama nggak bisa." Gevan mendengkus mendengarnya. Jawaban yang sama lagi-lagi keluar. "Emang Mama kenapa nggak bisa? Om Burhan kan temen Mama, kenapa jadi aku yang dateng?" "Ih, Mama cape tau dateng terus ke nikahan Burhan. Udah tiga kali loh ini. Sekarang kamu aja yang wakilin Mama." Ibu Gevan tampak merengut kesal, "Awas aja kalau kamu nikah nanti amplop dari Burhan nggak tebel!" Gevan terbat
Suka karena terbiasa, mungkin itu yang Gevan alami saat ini. Pada awalnya dia memang memilih Olin untuk menjadi calon istrinya karena melihat bagaimana sederhana, polos, dan mandirinya wanita itu. Gevan memang menyukai wanita yang mandiri dan bebas, dalam kata lain mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, Gevan menemukan sisi lain dari diri Olin, yaitu kecantikannya. Umumnya orang akan jatuh cinta terlebih dahulu pada fisik, akan tetapi Gevan kebalikannya. Itu yang membuat Olin selalu menarik di matanya. Seperti saat ini, dengan mengenakan dress selutut berwarna peach, Olin keluar dari rumah dengan langkah anggun. Rambut yang selalu diikat kali ini teruai bebas dengan sedikit gelombang di bagian bawah. "Dia dandan," gumam Gevan senang dari dalam mobil. Dia tersenyum saat Olin benar-benar sudah masuk ke dalam mobil. Gevan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Senyumnya semakin lebar saat sadar jika Olin menghindari tatapannya. "Olin," pangg
Banyak orang yang bertanya-tanya mengenai kehidupan asmara Olin. Tidak ada yang percaya jika dia tidak pernah dekat dengan pria manapun. Entah karena memang tidak ada yang mau atau berpikir jika Olin sudah memiliki kekasih. Namun saat Gevan datang, semua orang mulai berpikir jika Olin memang sudah memiliki kekasih. Hanya saja wanita itu merahasiakannya mengingat jika Gevan adalah sepupu Tama, atasannya di kafe. Tidak mungkin jika wanita seperti Olin tidak memiliki pujaan hati. Dia terlalu cantik dan manis untuk sendiri. Bahkan banyak pria yang kurang percaya diri saat mendekatinya. "Hp kamu bunyi terus, Lin," ucap Okta membuyarkan lamunan Olin. Olin tersadar dan berhenti mengelap meja. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Melihat nama Gevan, dia berdecak dan mengabaikannya. "Ngapain telepon? Kirain udah lupa ingatan," cibir Olin kembali mengelap meja dengan kasar. Olin memang kesal dengan Gevan. Entah ke mana perginya pria itu karena sudah satu
Olin masih terdiam dengan pandangan tidak percaya. Dia pikir Gevan hanya bercanda, tapi ternyata pria itu benar-benar serius dengan ucapannya. "Om, mending saya balik kerja deh." "Loh, kenapa?" "Ya masa ke apartemen beneran?" Olin berdecak dengan kesal. Bayangan akan kasur empuknya di rumah sudah membuatnya ingin segera tidur dan beristirahat. Namun semua itu sirna karena Gaven yang benar-benar menculiknya ke apartemen. "Ayo, turun!" "Nggak mau ih." "Kamu takut?" Gevan menyeringai. Olin menggenggam erat sabuk pengaman, "Ya gimana nggak takut? Om Gevan kan mesum!" Gevan berdecak mendengar itu, "Sudah saya bilang jangan takut sama saya. Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Orang kamu sakit gini masa saya apa-apain. Mana tega?" "Om!" "Bercanda, Sayang." Gevan tersenyum manis, "Ayo, turun!" ucapnya lagi yang langsung keluar dari mobil. Mau tidak mau Olin menurut. Tubuhnya benar-benar lemas dan butuh untuk istirahat. Jangan pernah berpikir jika dia adalah
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen