Menjelang sore, Olin terbangun dari tidurnya. Kali ini tidurnya benar-benar pulas dan membuat badannya menjadi sedikit lebih ringan. Rasa berat di kepalanya juga perlahan mulai menghilang. Mungkin karena efek obat yang diberikan Gevan cukup berpengaruh pada tubuhnya. Olin mengikat rambutnya asal dan berjalan keluar kamar. Dari jauh dia bisa mendengar suara televisi yang menyala. Dia berjalan ke arah suara dan melihat Gevan yang tengah tertidur dengan lengan yang menutupi wajahnya. Olin tersenyum tipis melihat itu. Perlahan dia mendekat dan mematikan televisi. Setelah itu dia duduk di samping sofa agar bisa melihat wajah Gevan dengan leluasa. Olin menopang wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan senyum tipis mulai muncul di wajahnya. Tangannya terulur untuk menyentuh dagu Gevan. Hanya sebentar karena setelah itu Olin terkejut karena Gevan yang mendadak bangun. Olin mundur dan secara tidak sengaja punggungnya menghantam meja. "Aduh!" ringisnya. Gevan terkejut dan bangun dar
Ada hal yang mengganggu Olin saat ini. Bukan tentang Gevan, melainkan dirinya sendiri. Dia benci saat sadar jika ada sesuatu yang mengusik hatinya. Olin ingin mengelak, tetapi sekain keras dia mencoba maka semakin jelas jika rasa itu memang ada. Dia cemburu. Setelah acara makan siang yang berubah menjadi ajang reuni itu, akhirnya Gevan dan Olin pulang. Kali ini bukan apartemen tujuan Gevan, melainkan rumahnya sendiri. Dia mengabaikan permintaan Olin yang ingin pulang ke rumahnya sendiri. Gevan tidak akan mengizinkannya sampai kesehatan wanita itu benar-benar pulih. "Kenapa, hm?" tanya Gevan mengelus kepala Olin sebentar dan kembali fokus pada jalanan. "Saya mau pulang." "Kita pulang kok...," Gevan melirik Olin dengan jahil, "Ke rumah saya." Olin mendengkus dan semakin beringsut menjauh hingga menyentuh pintu mobil. Dia menatap jendela dengan hati yang dongkol. Dia masih kesal dengan Gevan dan pria itu menambah kekesalannya dengan tidak menuruti keinginannya. Demi
Memasuki ruang istirahat para dokter, Gevan mulai melepaskan snelli-nya. Jam kerjanya baru saja berakhir dan dia berniat untuk bersantai sebentar sebelum pulang. Gevan memilih untuk duduk di sofa sambil merenggangkan punggungnya. Dia baru saja selesai mengoperasi pasien sekama empat jam. Oleh karena itu dia butuh kopi untuk merilekskan diri. "Mau saya buatin kopi, Dok?" tanya Eca, kekasih Martin yang baru saja masuk. Gevan membuka matanya dan mengangguk pelan, "Boleh." Kepala Gevan mengedar ke segala arah, "Di mana Martin? Jam praktek udah selesai kan?" Eca menunjuk ujung ruangan dengan dagunya. Di sana Gevan melihat Martin yang tengah berbaring di sofa sambil mengangkat tangan kanannya. "Gue di sini," lanjut Martin sambil membuka snelli yang sedari tadi menutupi wajahnya agar bisa tidur dengan nyaman. "Dokter Gevan langsung pulang?" tanya Eca meletakkan satu cangkir kopi. Kemudian dia menghampiri Martin dan juga memberikan kopi yang ia buat. "Kenapa?" "Anak-ana
Di ruang tamu, Olin duduk dengan gelisah. Sesekali dia melirik jendela untuk melihat keadaan luar rumah. Suasana yang hening seolah mendukung ketegangan di hatinya. Olin ingin mengutuk dirinya sendiri yang terlalu gegabah. Sekarang dia menyesali keputusannya sendiri. Karena ingin membuktikan ucapan Fika, Olin nekat meminta gajinya di muka pada Tama. Pria itu terlihat ingin menolak jika tanpa tujuan yang jelas. Namun saat Olin mengatakan akan membayar hutang pada Gevan, Tama mengizinkannya. Benar bukan? Tama itu bos yang baik tapi tidak bisa menjadi pasangan yang baik. "Aduh, bego lo, Lin. Udah bener Om Gevan nggak dateng hari ini. Kenapa malah cari mati mancing-mancing dia?" Olin menggigit jarinya. Suara deru mobil terdengar. Olin langsung melihat jendela dan melihat mobil Gevan sudah berada di depan rumahnya. "Aduh, gimana ini? Apa pura-pura pingsan aja ya?" Olin mulai panik. "Olin!" Ketukan pintu mulai terdengar. Olin semakin panik mendengar nada suara Gevan yang k
Olin menunduk mendengarkan omelan yang Gevan berikan padanya. Wajah pria itu terlihat merah karena rasa kesal yang ia rasakan saat ini. Tangannya tidak berhenti mengelus sesuatu yang membuatnya meringis sedari tadi. Sepertinya Olin harus diberi arahan agar tidak langsung mengultimatum dirinya. "Maaf," ucap Olin untuk yang kesekian kalinya. "Seharusnya kamu hati-hati! Ini juga buat masa depan kamu." Gevan mendengkus kesal. "Ya lagian Om Gevan tadi mau ngapain? Kan saya reflek tendang Om Gevan." "Emang saya mau ngapain? Kadang otak kamu yang harus dibersihin." Olin menatap Gevan kesal. Dia berpikir seperti itu hanya saat berada di dekat Gevan. Pria itu selalu membawa aura negatif yang harus Olin waspadai sewaktu-waktu. Seperti tadi misalnya, tanpa aba-aba pria itu mendekat membuat Olin terkejut dan bergerak mundur. Namun Gevan tetap maju sehingga Olin tidak memiliki pilihan lain selain menendang benda berharga milik Gevan. Alhasil rencanya berhasil, Gevan menjauh dan merin
Memang tidak ada yang lebih menjengkelkan dari bertemu masa lalu di saat hidup baru yang menyenangkan telah muncul. Itu yang Gevan rasakan saat ini. Sejak makan malam tak terduga bersama Putri dan anaknya, akhirnya di sinilah mereka, berada di dalam mobil di mana Gevan dan Olin akan mengantarkan Putri dan anaknya, Dina pulang ke rumah. Sejak makan malam berlangsung, Gevan tidak bisa berhenti untuk menatap Olin. Dia khawatir jika wanita itu akan marah karena sebelumnya dengan jelas Olin menunjukkan jika dia cemburu pada Putri. Namun anehnya Gevan tidak melihat ada kilatan marah dari tatapan Olin. Bahkan dia terlihat santai bercanda bersama Dina. Sedikit mengabaikannya yang akhirnya terpaksa harus berbincang dengan Putri. Tidak ada percakapan di dalam mobil. Putri sendiri sibuk mengelus kepala Dina yang tegah tertidur. Sedangkan Olin memilih untuk bermain ponsel di sampingnya. Karena tidak menyukai keheningan yang ada, Gevan memutuskan untuk menarik tangan Olin. Wanita itu tam
Di depan sebuah rumah yang sederhana, Gevan tampak merapikan kemejanya. Dia berdiri di samping mobil untuk menunggu Olin siap. Seperti janjinya semalam, Gevan berniat untuk mengantar kekasihnya bekerja. Mungkin Gevan akan sering melakukannya mulai saat ini, karena melihat wajah manis Olin adalah salah satu hal yang ia sukai. Perubahan yang ada di diri Gevan terihat begitu jelas dan terjadi begitu cepat. Hanya butuh waktu beberapa bulan dia sudah mantap dengan keputusannya. Gevan sudah memiliki tujuan hidup sekarang, yaitu membahagiakan Olin. Jika diminta untuk menikah detik ini juga, maka Gevan akan siap sedia. Toh dia sudah siap segalanya. Hanya saja semua keputusan kembali di tangan Olin. Gevan tidak ingin memaksa wanita itu yang bisa membuatnya lari. Menjadi kekasih Olin saja sudah membuat Gevan senang setengah mati. Dia bangga bisa memenangkan hati keras Olin dan memilikinya. Setidaknya Gevan memiliki posisi tertinggi di hati Olin saat ini, mengingat jika wanita itu adalah
Sambil bersiul, Gevan keluar dari rumah sakit menuju apotek yang berada di samping gedung rumah sakit. Di jam istirahatnya, Gevan ingin mengambil beberapa vitamin yang telah ia pesan untuk Olin. Melihat betapa keras dan padatnya wanita itu salam bekerja membuat Gevan khawatir. Jika bisa dia ingin sekali meminta Tama untuk memecat Olin. Namun dia tidak akan melakukannya, jika Olin tahu maka bisa habis sudah Gevan nanti. Seperti biasa, Gevan tidak akan melarang Olin bekerja selama wanita itu bisa membagi waktunya. Bahkan sekarang Olin terlihat lebih sibuk dari pada dirinya. "Ini, Dok." Gevan menerima kantung plastik itu dan memeriksanya. Setelah dirasa sudah lengkap dia mengangguk pelan, "Makasih ya." "Sama-sama." Saat akan berbalik, Gevan tidak sengaja menabrak tubuh seseorang yang mengantri di belakangnya. Gevan bergumam minta maaf dan mengambil obatnya yang terjatuh. "Aduh, maaf. Biar saya bantu." Mendengar suara itu, Gevan mengangkat wajahnya. Dia terkejut saat me
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen