Di depan sebuah rumah yang sederhana, Gevan tampak merapikan kemejanya. Dia berdiri di samping mobil untuk menunggu Olin siap. Seperti janjinya semalam, Gevan berniat untuk mengantar kekasihnya bekerja. Mungkin Gevan akan sering melakukannya mulai saat ini, karena melihat wajah manis Olin adalah salah satu hal yang ia sukai. Perubahan yang ada di diri Gevan terihat begitu jelas dan terjadi begitu cepat. Hanya butuh waktu beberapa bulan dia sudah mantap dengan keputusannya. Gevan sudah memiliki tujuan hidup sekarang, yaitu membahagiakan Olin. Jika diminta untuk menikah detik ini juga, maka Gevan akan siap sedia. Toh dia sudah siap segalanya. Hanya saja semua keputusan kembali di tangan Olin. Gevan tidak ingin memaksa wanita itu yang bisa membuatnya lari. Menjadi kekasih Olin saja sudah membuat Gevan senang setengah mati. Dia bangga bisa memenangkan hati keras Olin dan memilikinya. Setidaknya Gevan memiliki posisi tertinggi di hati Olin saat ini, mengingat jika wanita itu adalah
Sambil bersiul, Gevan keluar dari rumah sakit menuju apotek yang berada di samping gedung rumah sakit. Di jam istirahatnya, Gevan ingin mengambil beberapa vitamin yang telah ia pesan untuk Olin. Melihat betapa keras dan padatnya wanita itu salam bekerja membuat Gevan khawatir. Jika bisa dia ingin sekali meminta Tama untuk memecat Olin. Namun dia tidak akan melakukannya, jika Olin tahu maka bisa habis sudah Gevan nanti. Seperti biasa, Gevan tidak akan melarang Olin bekerja selama wanita itu bisa membagi waktunya. Bahkan sekarang Olin terlihat lebih sibuk dari pada dirinya. "Ini, Dok." Gevan menerima kantung plastik itu dan memeriksanya. Setelah dirasa sudah lengkap dia mengangguk pelan, "Makasih ya." "Sama-sama." Saat akan berbalik, Gevan tidak sengaja menabrak tubuh seseorang yang mengantri di belakangnya. Gevan bergumam minta maaf dan mengambil obatnya yang terjatuh. "Aduh, maaf. Biar saya bantu." Mendengar suara itu, Gevan mengangkat wajahnya. Dia terkejut saat me
Sambil menggoyangkan kakinya, Olin menatap ke arah jalanan yang mulai sepi. Dia melirik jam tangannya dan kembali duduk dengan tenang. Sudah satu jam dia duduk di depan kafe yang sudah tutup, tetapi hingga saat ini belum terlihat tanda-tanda kedatangan dari seseorang yang ia tunggu. Seseorang sudah berjanji akan menjemputnya hari ini. "Apa ada operasi mendadak ya?" gumam Olin sambil menunduk. Jujur saja tubuhnya sangat lelah. Dia ingin segera pulang dan merebahkan diri. Tangannya juga masih terasa panas karena harus memisahkan cabai dari bijinya sebanyak satu ember tadi. Ada sedikit rasa menyesal di hatinya karena tidak membawa kendaraan hari ini. Merasa jenuh, akhirnya Olin kembali berusaha menghubungi Gevan. Jika tidak bisa menjemput, setidaknya pria itu harus memberi kabar. Olin memang orang yang sabar, tapi bukan berarti dia bisa menunggu tanpa kepastian seperti ini. "Kok nggak diangkat?" Lagi-lagi Olin menghela napas lelah. Cahaya dari lampu kendaraan yang mende
Hawa dingin terasa menusuk kulit Olin. Dia mengerang dan semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia kembali nyaman dengan posisinya dan berniat untuk melanjutkan tidurnya. Namun satu detik kemudian dia langsung tersadar. Dengan cepat Olin membuka matanya dan segera bangkit. Matanya mengedar ke segala arah dengan tatapan meneliti. Mulutnya terbuka saat mulai sadar di mana dirinya saat ini. "Kok gue di sini?" gumam Olin menutup mulutnya tidak percaya Dengan panik dia menyingkap selimut dan menghela napas lega. Pakaian masih terpasang sempurna di tubuhnya dan tidak ada yang terlepas satu pun. Olin memejamkan mata dan mengusap wajahnya kasar. Seketika rasa pening karena mendadak bangun mulai menyerangnya. Perlahan Olin bangkit dari kasur dan menggulung rambut panjangnya secara asal. Dia keluar dari kamar mencoba mencari keberadaan seseorang, seseorang yang ia yakini telah membawanya ke tempat ini. Sepertinya Olin benar-benar kelelahan sehingga tidak menyadari ke man
Gevan memasuki kedai kopi dengan langkah lemas. Pandangannya mengedar ke segala arah untuk mencari seseorang. Di ujung ruangan, terlihat dua orang pria yang duduk bersantai dengan berbincang. Raut wajah mereka tampak berbeda saat Gevan yang tampak menyedihkan. "Kusut banget muka lo, kenapa?" tanya Martin. Gevan menggeleng dan menunduk. Dia mengambil cangkir kopi milik Anton dan meminumnya cepat. Helaan napas kasar lolos begitu saja dari mulutnya. "Kenapa? Dijodohin lagi sama Tante Ajeng?" tanya Anton. "Ya kali dijodohin, Ton. Kan udah ada Olin, si dedek gemes." Martin terkekeh. "Bisa diem nggak?" Gevan menatap kedua temannya kesal. Martin menutup mulutnya dan mengangkat kedua tangannya menyerah. Jika sedang dalam suasana hati yang buruk lebih baik mereka menghindar dari Gevan. Pria itu hanya butuh ketenangan. "Tunggu...," ucap Martin tiba-tiba. "Gue tau kenapa muka lo lecek gitu. Berantem sama Olin kan?" "Hm." "Kenapa? Pasti lo bikin ulah. Olin nemu kondom di mob
Dengan santai, Gevan memasuki ruangan Tama tanpa mengetuk pintu. Dia berdiri di depan pintu dengan terkejut. Di depannya. Tama tampak berdebat dengan seorang wanita yang ia kenal sebagai teman Olin. Pikacu, itu panggilan Olin untuk Fika. "Ada apa, Van?" tanya Tama menghela napas kasar. Dia masih menahan tangan Fika untuk tidak pergi. "Gue mau ijin bawa Olin pergi." Tama mendengkus, "Sampe kapan lo mau monopoli karyawan gue?" Gevan berdecak, "Dia calon gue kalau lo lupa." "Terserah, tapi lo nggak bisa seenaknya. Harus bisa bedain mana urusan pribadi sama pekerjaan." Gevan tersenyum mengejek mendengar itu. Dia melipat kedua tangannya di dada dan bersandar pada pintu. "Terus lo itu apa? Urusan pribadi atau pekerjaan?" tanya Gevan melirik tangan Tama yang menggenggam erat lengan Fika. Dengan reflek Tama melepaskan cengkeramannya. Hal itu dimanfaatkan oleh Fika untuk segera pergi. Gevan berjalan masuk dan menutup pintu. Dia bisa melihat wajah kusut Tama. Dia tidak sakit
Terbiasa hidup sendiri selama bertahun-tahun membuat Olin sulit untuk membuka hati. Dia seperti tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya. Dia sudah merasa bisa untuk menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Namun semua itu berubah saat ia mulai bertemu dengan Fika, satu-satunya sahabat senasib yang berhasil menarik rasa simpati di hatinya. Hanya Fika seorang, selain itu tidak ada lagi manusia yang mendapatkan perhatian lebih darinya. Kemudian muncul Alif, anak kecil yang dulu hampir pernah ia tabrak di tengah malam. Melihat kondisi Alif yang menyedihkan membuat rasa simpati Olin kembali muncul. Manusia kedua yang mendapat perhatiannya adalah Alif. Seolah tidak berhenti di situ saja. Tuhan kembali mengirimkan seseorang yang bukan hanya menarik perhatian Olin, melainkan emosinya juga. Pria itu adalah Gevan, seorang dokter gila yang entah kenapa mendadak terobsesi padanya. Melihatnya yang pantang menyerah membuat Olin perlahan luluh. Bukan hanya simpati, melainkan juga jatuh hat
Mobil berhenti tepat di depan rumah Alif. Baik Gevan, Olin, dan Alif mulai turun dari mobil. Hari yang sudah malam membuat keadaan sekitar cukup sepi. Sedikit membantu Gevan yang sudah siap beradu amarah dengan Ibu Alif jika membuatnya kesal. "Kurang malem pulangnya," sindir Ibu Alif sambil membuka pintu. "Niatnya mau saya bawa pulang, Buk. Tapi Alif berbaik hati mau bantuin Ibuk bungkus kue," celetuk Olin. Seperti biasa, dia bersembunyi di balik punggung Gevan. "Ibuk, ini Caca dibeliin boneka sama Om Gevan." Dengan tersenyum Alif berusaha menengahi. "Iya, makasih," jawab wanita itu singkat. "Cuek banget, sini balikin!" Olin berniat kembali mengambil bonekanya, tidak serius tentu saja. Seperti dugaannya, dengan sigap Ibu Alif maju dan menatapnya tajam. "Bintitan kalau kamu ambil lagi bonekanya." "Lagian, nggak ikhlas banget bilang makasih." "Yang beliin kan cowok ini bukan kamu!" "Cowok ini calon suami saya, Buk!" Olin menatap Ibu Alif tajam. "Tetep aja bukan k