Terbiasa hidup sendiri selama bertahun-tahun membuat Olin sulit untuk membuka hati. Dia seperti tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya. Dia sudah merasa bisa untuk menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Namun semua itu berubah saat ia mulai bertemu dengan Fika, satu-satunya sahabat senasib yang berhasil menarik rasa simpati di hatinya. Hanya Fika seorang, selain itu tidak ada lagi manusia yang mendapatkan perhatian lebih darinya. Kemudian muncul Alif, anak kecil yang dulu hampir pernah ia tabrak di tengah malam. Melihat kondisi Alif yang menyedihkan membuat rasa simpati Olin kembali muncul. Manusia kedua yang mendapat perhatiannya adalah Alif. Seolah tidak berhenti di situ saja. Tuhan kembali mengirimkan seseorang yang bukan hanya menarik perhatian Olin, melainkan emosinya juga. Pria itu adalah Gevan, seorang dokter gila yang entah kenapa mendadak terobsesi padanya. Melihatnya yang pantang menyerah membuat Olin perlahan luluh. Bukan hanya simpati, melainkan juga jatuh hat
Mobil berhenti tepat di depan rumah Alif. Baik Gevan, Olin, dan Alif mulai turun dari mobil. Hari yang sudah malam membuat keadaan sekitar cukup sepi. Sedikit membantu Gevan yang sudah siap beradu amarah dengan Ibu Alif jika membuatnya kesal. "Kurang malem pulangnya," sindir Ibu Alif sambil membuka pintu. "Niatnya mau saya bawa pulang, Buk. Tapi Alif berbaik hati mau bantuin Ibuk bungkus kue," celetuk Olin. Seperti biasa, dia bersembunyi di balik punggung Gevan. "Ibuk, ini Caca dibeliin boneka sama Om Gevan." Dengan tersenyum Alif berusaha menengahi. "Iya, makasih," jawab wanita itu singkat. "Cuek banget, sini balikin!" Olin berniat kembali mengambil bonekanya, tidak serius tentu saja. Seperti dugaannya, dengan sigap Ibu Alif maju dan menatapnya tajam. "Bintitan kalau kamu ambil lagi bonekanya." "Lagian, nggak ikhlas banget bilang makasih." "Yang beliin kan cowok ini bukan kamu!" "Cowok ini calon suami saya, Buk!" Olin menatap Ibu Alif tajam. "Tetep aja bukan k
Suara pisau yang beradu dengan papan kayu dari dapur terdengar hingga luar. Di dalam sana, tampak Olin tengah memasak bersama Tante Ajeng, Ibu Gevan. Sekarang Olin tahu dari mana kebiasaan Gevan yang suka membawanya kabur. Ternyata itu dari Ibunya. Secara tiba-tiba wanita paruh baya itu muncul di kafe dan menculiknya. Tentu saja dengan the power of orang dalam, akhirnya Olin bisa lolos meskipun Tama tampak pasrah saat mengizinkannya pergi. "Ini wortelnya kamu potong kecil-kecil ya, Lin." "Iya, Tante." "Kapan kamu panggil saya Mama, Lin?" Pertanyaan itu membuat gerakan tangan Olin terhenti. Dia berdeham pelan dan melirik Tante Ajeng dengan senyuman konyol. "Enaknya kapan ya, Tan?" "Ya, sekarang dong. Itung-itung latihan. Kan kamu calon mantu Mama." Olin menggaruk lehernya dengan meringis. Lagi-lagi anak dan ibu memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menginginkan pernikahan. "Gevan udah ajak kamu nikah kan?" Lagi-lagi pertanyaan berat yang diucapkan dengan santai itu m
Dengan langkah lemas, Gevan berjalan kembali ke kantin rumah sakit. Napas yang tersengal karena lelah berlari tidak membuatnya terganggu. Dia terlambat, Olin sudah pergi. Gevan melihat punggung wanita itu keluar dari area rumah sakit dengan mengendarai motornya. Gevan menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Lagi-lagi dia kembali membuat hubungannya dengan Olin kembali merenggang. Kenapa hal ini sering terjadi? Kenapa di saat dia yakin dan serius dengan suatu hubungan, banyak permasalahan yang muncul. Jika tidak ada jadwal operasi, mungkin Gevan bisa langsung menyusul Olin detik itu juga. Namun dia tidak bisa melakukannya sekarang. Gevan harus tetap fokus agar pekerjaannya berjalan dengan lancar. Dari jauh, Gevan bisa melihat Anton dan Putri yang tengah berbincang di salah satu meja. Melihat Anton membuka tas bekal yang Olin berikan tadi membuat Gevan dengan cepat berlari mendekat. Belum sempat makanan itu masuk ke mulut Anton, Gevan harus mengamankannya terlebih dahulu
Di belakang kafe, Olin memilih untuk duduk bersila dengan Ayang, kucing kesayangannya yang berada di pangkuannya. Dengan melamun, tangannya aktif membelai kepala Ayang. Pikiran Olin benar-benar kacau hari ini. Apa lagi jika bukan memikirkan Gevan yang kembali merusak kepercayaannya? Getaran pada sakunya membuat lamunan Olin buyar. Dia mengambil ponselnya dan melihat nama yang terus menghubunginya sejak tadi. Gevan selalu menelepon dan mengirimkan pesan singkat, akan tetapi Olin enggan membalas. Entah kenapa dia masih belum menerima fakta jika masa lalu Gevan benar-benar membuatnya berpikir yang tidak-tidak, terutama tentang Putri. Gevan memang pemain wanita. Sudah banyak wanita yang terperangkap dalam jeratan pesonanya tetapi ada dua wanita yang sulit ia dapatkan, yaitu dirinya dan Putri. Fakta itu yang membuat Olin sangat gelisah. Pintu belakang kafe terbuka membuat lamunan Olin lagi-lagi buyar. Dia menoleh dan menemukan Fika yang akan membuang sampah. "Loh, gue pikir lo ud
Memang tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain bertemu dengan kekasih hati, setidaknya itu yang dirasakan Gevan saat ini. Gevan selalu bertanya-tanya, kenapa dia bisa segila ini pada Olin? Kenapa dia bisa begitu lemah jika berhadapan dengan Olin? Kenapa pikirannya sangat kacau jika sedang bertengkar dengan Olin? Bukan hanya Gevan, tapi semua orang yang mengenal dirinya juga berkata demikian. Gevan Prakarsa sudah luluh dengan wanita yang bernama Olin. Dengan langkah lebar, Gevan berjalan cepat menuju apartemennya. Seketika dia bersyukur tidak pernah mengganti kata sandi apartemennya, ternyata Olin memanfaatkan itu dengan baik. Gevan tetaplah seorang pria, tentu dia memiliki pemikiran-pemikiran liar saat bersama Olin nanti. Entah itu terjadi atau tidak, yang terpenting saat ini adalah Gevan bisa melihat wajah Olin. Dengan rasa tidak sabar, Gevan mulai masuk ke dalam apartemennya. Matanya mengedar ke segala arah untuk mencari keberadaan Olin. Apartemen ini tidak begitu besa
Suara alarm yang berbunyi membuat tidur Olin mulai terganggu. Dia mengerang dan semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya rapat. Pergerakan kecil yang ia lakukan membuat pria yang tidur di sampingnya juga sedikit terganggu. Bukannya bangun, mereka berdua malah semakin nyaman dengan pelukan yang hangat. "Mas, alarm-nya matiin," gumam Olin membenamkan wajahnya di dada Gevan. Tanpa menjawab, tangan Gevan terulur mengambil ponsel di atas meja dan mematikannya dengan mata terpejam. "Udah pagi," ucap Gevan kembali memeluk Olin erat. "Hm, aku males kerja." Olin begitu manja karena semakin mengeratkan pelukannya. "Nikah aja mau?" "Ish!" Olin memukul dada Gevan pelan dan beranjak menjauh. "Pagi, Sayang." Gevan membuka matanya dan menatap Olin dengan senyuman yang cerah, secerah sinar matahari di luar sana. Melihat senyuk Gevan, mendadak wajah Olin berubah merah. Dia menarik selimut dan berusaha untuk menuyupi wajahnya. Dia malu saat Gevan melihatnya begitu lekat. D
Di dalam kamar inap sebuah rumah sakit, Putri duduk termenung di samping ranjang anaknya. Tangannya dengan erat menggenggam tangan Dina yang tengah tertidur. Hatinya sedikit tenang saat ini karena perlahan Dina mulai bisa menerima makanan. Meskipun tak banyak tapi setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Hari ini Putri memutuskan untuk izin berkerja. Selain karena sulit untuk meninggalkan Dina, pikirannya juga tiba-tiba menjadi kacau. Apalagi setelah perbincangan singkatnya bersama Andra, mantan suaminya. Jujur, Putri terkejut dengan apa yang Andra katakan tadi. Dia memang nyaman berada di dekat Gevan, apalagi mereka juga sudah kenal dekat. Namun saat Andra berpikir jika dia memiliki perasaan khusus untuk Gevan, Putri mulai tersadar. Dari awal pertemuannya dengan Gevan dulu, rasa suka perlahan mulai muncul. Apalagi saat melihat Gevan yang begitu baik pada Dina, anaknya. Dina sendiri juga menyukai Gevan, bahkan Putri tidak pernah mendengar Dina bertanya dan membicarak