Di belakang kafe, Olin memilih untuk duduk bersila dengan Ayang, kucing kesayangannya yang berada di pangkuannya. Dengan melamun, tangannya aktif membelai kepala Ayang. Pikiran Olin benar-benar kacau hari ini. Apa lagi jika bukan memikirkan Gevan yang kembali merusak kepercayaannya? Getaran pada sakunya membuat lamunan Olin buyar. Dia mengambil ponselnya dan melihat nama yang terus menghubunginya sejak tadi. Gevan selalu menelepon dan mengirimkan pesan singkat, akan tetapi Olin enggan membalas. Entah kenapa dia masih belum menerima fakta jika masa lalu Gevan benar-benar membuatnya berpikir yang tidak-tidak, terutama tentang Putri. Gevan memang pemain wanita. Sudah banyak wanita yang terperangkap dalam jeratan pesonanya tetapi ada dua wanita yang sulit ia dapatkan, yaitu dirinya dan Putri. Fakta itu yang membuat Olin sangat gelisah. Pintu belakang kafe terbuka membuat lamunan Olin lagi-lagi buyar. Dia menoleh dan menemukan Fika yang akan membuang sampah. "Loh, gue pikir lo ud
Memang tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain bertemu dengan kekasih hati, setidaknya itu yang dirasakan Gevan saat ini. Gevan selalu bertanya-tanya, kenapa dia bisa segila ini pada Olin? Kenapa dia bisa begitu lemah jika berhadapan dengan Olin? Kenapa pikirannya sangat kacau jika sedang bertengkar dengan Olin? Bukan hanya Gevan, tapi semua orang yang mengenal dirinya juga berkata demikian. Gevan Prakarsa sudah luluh dengan wanita yang bernama Olin. Dengan langkah lebar, Gevan berjalan cepat menuju apartemennya. Seketika dia bersyukur tidak pernah mengganti kata sandi apartemennya, ternyata Olin memanfaatkan itu dengan baik. Gevan tetaplah seorang pria, tentu dia memiliki pemikiran-pemikiran liar saat bersama Olin nanti. Entah itu terjadi atau tidak, yang terpenting saat ini adalah Gevan bisa melihat wajah Olin. Dengan rasa tidak sabar, Gevan mulai masuk ke dalam apartemennya. Matanya mengedar ke segala arah untuk mencari keberadaan Olin. Apartemen ini tidak begitu besa
Suara alarm yang berbunyi membuat tidur Olin mulai terganggu. Dia mengerang dan semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya rapat. Pergerakan kecil yang ia lakukan membuat pria yang tidur di sampingnya juga sedikit terganggu. Bukannya bangun, mereka berdua malah semakin nyaman dengan pelukan yang hangat. "Mas, alarm-nya matiin," gumam Olin membenamkan wajahnya di dada Gevan. Tanpa menjawab, tangan Gevan terulur mengambil ponsel di atas meja dan mematikannya dengan mata terpejam. "Udah pagi," ucap Gevan kembali memeluk Olin erat. "Hm, aku males kerja." Olin begitu manja karena semakin mengeratkan pelukannya. "Nikah aja mau?" "Ish!" Olin memukul dada Gevan pelan dan beranjak menjauh. "Pagi, Sayang." Gevan membuka matanya dan menatap Olin dengan senyuman yang cerah, secerah sinar matahari di luar sana. Melihat senyuk Gevan, mendadak wajah Olin berubah merah. Dia menarik selimut dan berusaha untuk menuyupi wajahnya. Dia malu saat Gevan melihatnya begitu lekat. D
Di dalam kamar inap sebuah rumah sakit, Putri duduk termenung di samping ranjang anaknya. Tangannya dengan erat menggenggam tangan Dina yang tengah tertidur. Hatinya sedikit tenang saat ini karena perlahan Dina mulai bisa menerima makanan. Meskipun tak banyak tapi setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Hari ini Putri memutuskan untuk izin berkerja. Selain karena sulit untuk meninggalkan Dina, pikirannya juga tiba-tiba menjadi kacau. Apalagi setelah perbincangan singkatnya bersama Andra, mantan suaminya. Jujur, Putri terkejut dengan apa yang Andra katakan tadi. Dia memang nyaman berada di dekat Gevan, apalagi mereka juga sudah kenal dekat. Namun saat Andra berpikir jika dia memiliki perasaan khusus untuk Gevan, Putri mulai tersadar. Dari awal pertemuannya dengan Gevan dulu, rasa suka perlahan mulai muncul. Apalagi saat melihat Gevan yang begitu baik pada Dina, anaknya. Dina sendiri juga menyukai Gevan, bahkan Putri tidak pernah mendengar Dina bertanya dan membicarak
Dengan langkah tegas, Gevan mulai memasuki gedung VIP. Sesekali dia tersenyum ramah saat beberapa dokter dan perawat menyapanya. Meskipun sedang kesal, bukan berarti Gevan harus terus menunjukkan wajah kesalnya. Dia bukan orang seperti itu. Mungkin karena itu juga yang membuat banyak orang bersikap santai padanya, bahkan sampai membuat gosip yang membuat panas telinga. "Sore, Dokter Gevan. Kok di sini?" tanya Arif, petugas kebersihan yang tengah mengelap kaca bening di koridor rumah sakit. "Iya, mau ketemu seseorang." "Bu Putri ya?" Langkah Gevan terhenti mendengar itu. Seperti sebuah film, dia menoleh ke Arif dengan pelan. Dahinya berkerut kesal mendengar nama itu. Hilang sudah senyum ramah yang ia tunjukkan tadi. "Maksud kamu?" Arif terlihat terkejut dan panik, "Maaf, Dok. Saya pikir mau ketemu Bu Putri." "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?" Gevan mulai mendekat. "Aduh, salah ngomong kayaknya." Arif bergumam dan memukul pelan bibirnya sendiri. "Kamu dapet omon
Masih dengan langkah tergesa, Gevan menarik Andra ke tempat parkir. Amarahnya benar-benar di puncak ubun-ubun saat ini. Belum selesai dengan masalah info hoax yang disebarkan, sekarang Andra kembali berulah dengan menemui Olin. Gevan hanya bisa berharap jika pria itu tidak banyak bicara pada wanitanya tadi. "Lepasin gue!" "Gue cariin di rumah sakit malah ada di sini, jelangkung lo?" Gevan mendorong Andra hingga menghantam mobilnya. Andra hanya tersenyum tipis melihat emosi Gevan. "Gue cuma beli kopi," katanya santai, "Dan juga mau liat pacar lo." "Sialan! Kurang sabar apa gue sama lo?" Gevan mulai menarik kerah kemeja Andra. Untuk saat ini dia tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya. Beberapa pelanggan kafe yang masih ada tentu menatap mereka dengan penasaran. Tak berani mendekat tapi Gevan bisa mendengar jika mereka berteriak berusaha untuk melerai mereka. Jujur saja ini bukan gaya Gevan. Dia adalah tipe orang yang tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang
Suara pintu yang tertutup rapat membuat dua orang yang duduk di sofa itu mulai menegang. Tama berjalan mendekat dan berdiri di depan Gevan dan Olin dengan tangan yang terlipat di dada. Kali ini wajahnya terlihat kaku karena masih marah dengan aksi Gevan dan Olin. "Maaf, Mas." Olin menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Melihat kekasihnya yang menunduk merasa bersalah, Gevan meraih tangan Olin dan menggenggamnya erat. Dia menatap Tama untuk memintanya bersikap santai. Gevan tidak suka melihat Olin terintimidasi seperti ini meskipun semua kekacauan ini juga salah mereka. "Siapa yang mau jelasin?" tanya Tama. Olin melepas tangan Gevan yang menggenggamnya dan menunjuk pria itu, "Tanya sama dia. Apa lagi yang mau disembunyiin," sindirnya. Gevan meringis mendengar itu. Wajar jika Olin marah. Ketenangannya terusik dengan kedatangan Andra yang tiba-tiba. Baru mengenal tetapi pria itu sudah mengibarkan bendera perang dengan mengungkit nama Putri di hadapan Olin. Tentu itu saja s
Dengan langkah pelan, Andra berjalan di koridor rumah sakit menuju kamar rawat inap anaknya. Wajahnya yang kusut tidak bisa lagi disembunyikan. Di tambah dengan luka di wajahnya yang tidak bisa ditutupi oleh apapun. Andra hanya menggunakan es batu untuk sedikit mengurangi rasa nyeri di wajahnya. Sebelum masuk ke dalam kamar, dia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Perlahan dia membuka pintu dan melihat keadaan kamar yang sudah gelap. Bisa dipastikan jika Putri dan Dina sudah terlelap. Sebenarnya ini bukan waktunya dia untuk berjaga, tetapi Andra ingin datang untuk melihat dua wanita yang ia sayangi. Andra berdiri di samping ranjang dan menatap anaknya dengan lembut. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Dina dengan sayang. Perlahan senyum tipis mulai terukir di wajahnya. Melihat wajah Dina membuat perasaannya sedikit demi sedikit membaik. Andra bergerak mencium kening anaknya dan beralih pada Putri. Wanita itu tertidur di sofa dengan tubuh yang meringkuk. Melih
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen