Memang tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain bertemu dengan kekasih hati, setidaknya itu yang dirasakan Gevan saat ini. Gevan selalu bertanya-tanya, kenapa dia bisa segila ini pada Olin? Kenapa dia bisa begitu lemah jika berhadapan dengan Olin? Kenapa pikirannya sangat kacau jika sedang bertengkar dengan Olin? Bukan hanya Gevan, tapi semua orang yang mengenal dirinya juga berkata demikian. Gevan Prakarsa sudah luluh dengan wanita yang bernama Olin. Dengan langkah lebar, Gevan berjalan cepat menuju apartemennya. Seketika dia bersyukur tidak pernah mengganti kata sandi apartemennya, ternyata Olin memanfaatkan itu dengan baik. Gevan tetaplah seorang pria, tentu dia memiliki pemikiran-pemikiran liar saat bersama Olin nanti. Entah itu terjadi atau tidak, yang terpenting saat ini adalah Gevan bisa melihat wajah Olin. Dengan rasa tidak sabar, Gevan mulai masuk ke dalam apartemennya. Matanya mengedar ke segala arah untuk mencari keberadaan Olin. Apartemen ini tidak begitu besa
Suara alarm yang berbunyi membuat tidur Olin mulai terganggu. Dia mengerang dan semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya rapat. Pergerakan kecil yang ia lakukan membuat pria yang tidur di sampingnya juga sedikit terganggu. Bukannya bangun, mereka berdua malah semakin nyaman dengan pelukan yang hangat. "Mas, alarm-nya matiin," gumam Olin membenamkan wajahnya di dada Gevan. Tanpa menjawab, tangan Gevan terulur mengambil ponsel di atas meja dan mematikannya dengan mata terpejam. "Udah pagi," ucap Gevan kembali memeluk Olin erat. "Hm, aku males kerja." Olin begitu manja karena semakin mengeratkan pelukannya. "Nikah aja mau?" "Ish!" Olin memukul dada Gevan pelan dan beranjak menjauh. "Pagi, Sayang." Gevan membuka matanya dan menatap Olin dengan senyuman yang cerah, secerah sinar matahari di luar sana. Melihat senyuk Gevan, mendadak wajah Olin berubah merah. Dia menarik selimut dan berusaha untuk menuyupi wajahnya. Dia malu saat Gevan melihatnya begitu lekat. D
Di dalam kamar inap sebuah rumah sakit, Putri duduk termenung di samping ranjang anaknya. Tangannya dengan erat menggenggam tangan Dina yang tengah tertidur. Hatinya sedikit tenang saat ini karena perlahan Dina mulai bisa menerima makanan. Meskipun tak banyak tapi setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. Hari ini Putri memutuskan untuk izin berkerja. Selain karena sulit untuk meninggalkan Dina, pikirannya juga tiba-tiba menjadi kacau. Apalagi setelah perbincangan singkatnya bersama Andra, mantan suaminya. Jujur, Putri terkejut dengan apa yang Andra katakan tadi. Dia memang nyaman berada di dekat Gevan, apalagi mereka juga sudah kenal dekat. Namun saat Andra berpikir jika dia memiliki perasaan khusus untuk Gevan, Putri mulai tersadar. Dari awal pertemuannya dengan Gevan dulu, rasa suka perlahan mulai muncul. Apalagi saat melihat Gevan yang begitu baik pada Dina, anaknya. Dina sendiri juga menyukai Gevan, bahkan Putri tidak pernah mendengar Dina bertanya dan membicarak
Dengan langkah tegas, Gevan mulai memasuki gedung VIP. Sesekali dia tersenyum ramah saat beberapa dokter dan perawat menyapanya. Meskipun sedang kesal, bukan berarti Gevan harus terus menunjukkan wajah kesalnya. Dia bukan orang seperti itu. Mungkin karena itu juga yang membuat banyak orang bersikap santai padanya, bahkan sampai membuat gosip yang membuat panas telinga. "Sore, Dokter Gevan. Kok di sini?" tanya Arif, petugas kebersihan yang tengah mengelap kaca bening di koridor rumah sakit. "Iya, mau ketemu seseorang." "Bu Putri ya?" Langkah Gevan terhenti mendengar itu. Seperti sebuah film, dia menoleh ke Arif dengan pelan. Dahinya berkerut kesal mendengar nama itu. Hilang sudah senyum ramah yang ia tunjukkan tadi. "Maksud kamu?" Arif terlihat terkejut dan panik, "Maaf, Dok. Saya pikir mau ketemu Bu Putri." "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu?" Gevan mulai mendekat. "Aduh, salah ngomong kayaknya." Arif bergumam dan memukul pelan bibirnya sendiri. "Kamu dapet omon
Masih dengan langkah tergesa, Gevan menarik Andra ke tempat parkir. Amarahnya benar-benar di puncak ubun-ubun saat ini. Belum selesai dengan masalah info hoax yang disebarkan, sekarang Andra kembali berulah dengan menemui Olin. Gevan hanya bisa berharap jika pria itu tidak banyak bicara pada wanitanya tadi. "Lepasin gue!" "Gue cariin di rumah sakit malah ada di sini, jelangkung lo?" Gevan mendorong Andra hingga menghantam mobilnya. Andra hanya tersenyum tipis melihat emosi Gevan. "Gue cuma beli kopi," katanya santai, "Dan juga mau liat pacar lo." "Sialan! Kurang sabar apa gue sama lo?" Gevan mulai menarik kerah kemeja Andra. Untuk saat ini dia tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya. Beberapa pelanggan kafe yang masih ada tentu menatap mereka dengan penasaran. Tak berani mendekat tapi Gevan bisa mendengar jika mereka berteriak berusaha untuk melerai mereka. Jujur saja ini bukan gaya Gevan. Dia adalah tipe orang yang tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang
Suara pintu yang tertutup rapat membuat dua orang yang duduk di sofa itu mulai menegang. Tama berjalan mendekat dan berdiri di depan Gevan dan Olin dengan tangan yang terlipat di dada. Kali ini wajahnya terlihat kaku karena masih marah dengan aksi Gevan dan Olin. "Maaf, Mas." Olin menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Melihat kekasihnya yang menunduk merasa bersalah, Gevan meraih tangan Olin dan menggenggamnya erat. Dia menatap Tama untuk memintanya bersikap santai. Gevan tidak suka melihat Olin terintimidasi seperti ini meskipun semua kekacauan ini juga salah mereka. "Siapa yang mau jelasin?" tanya Tama. Olin melepas tangan Gevan yang menggenggamnya dan menunjuk pria itu, "Tanya sama dia. Apa lagi yang mau disembunyiin," sindirnya. Gevan meringis mendengar itu. Wajar jika Olin marah. Ketenangannya terusik dengan kedatangan Andra yang tiba-tiba. Baru mengenal tetapi pria itu sudah mengibarkan bendera perang dengan mengungkit nama Putri di hadapan Olin. Tentu itu saja s
Dengan langkah pelan, Andra berjalan di koridor rumah sakit menuju kamar rawat inap anaknya. Wajahnya yang kusut tidak bisa lagi disembunyikan. Di tambah dengan luka di wajahnya yang tidak bisa ditutupi oleh apapun. Andra hanya menggunakan es batu untuk sedikit mengurangi rasa nyeri di wajahnya. Sebelum masuk ke dalam kamar, dia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. Perlahan dia membuka pintu dan melihat keadaan kamar yang sudah gelap. Bisa dipastikan jika Putri dan Dina sudah terlelap. Sebenarnya ini bukan waktunya dia untuk berjaga, tetapi Andra ingin datang untuk melihat dua wanita yang ia sayangi. Andra berdiri di samping ranjang dan menatap anaknya dengan lembut. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Dina dengan sayang. Perlahan senyum tipis mulai terukir di wajahnya. Melihat wajah Dina membuat perasaannya sedikit demi sedikit membaik. Andra bergerak mencium kening anaknya dan beralih pada Putri. Wanita itu tertidur di sofa dengan tubuh yang meringkuk. Melih
Di ruang tengah, Olin memejamkan matanya erat dan satu detik kemudian dia kembali membukanya. Dia mencoba untuk fokus melipat pakaian bersih di depannya. Saat kembali merasakan tarikan pelan pada lengannya, Olin kembali memejamkan mata sambil menarik napas dalam. Kesabarannya sedang diuji saat ini. Tentu saja oleh satu manusia yang akhir-akhir ini selalu menempel padanya. "Mas, lepasin dulu. Aku lagi beresin baju." Gevan berdecak mendengar ucapan Olin. Sedari tadi dia memang merebahkan diri di samping Olin sambil memeluk lengan wanita itu. Televisi yang menyala di hadapan mereka seolah tengah menonton aksi manjanya saat ini. "Ayo lah, Sayang." Gevan dengan manja memasukkan wajahnya di pinggang Olin. "Males ah, Mas. Lagian mendadak banget." "Johan ngabarinnya telat." Gevan mengerucutkan bibirnya. Olin menyelesaikan pakaian terakhir dan mulai menatap Gevan. Tangannya terulur untuk mengusap dahi pria itu. Tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Meskipun begitu, Oli