Mobil Gevan berhenti di depan sebuah gedung yang cukup tinggi. Melihat Gevan yang mulai bersiap, Olin juga mulai mengambil tasnya. Dia melihat riasannya sebentar sebelum kembali memoles pewarna bibir pada bibirnya. "Temen-temen Mas Gevan di sini?" tanya Olin saat mereka keluar dari mobil. "Iya, di atas. Rooftop Lounge," ucap Gevan sambil mengulurkan tangannya pada Olin. Olin mengangguk paham. Dia merasa kurang pergaulan karena baru tahu jika ada lounge di atas gedung ini. Sepertinya dia terlalu sibuk bekerja sehingga tidak pernah memikirkan kesenangannya. Karena terlalu sering menolak ajakan teman-temannya untuk hangout, akhirnya Olin berakhir dikucilkan. Hanya ada Fika dan Alif yang mau menemaninya ke pasar malam untuk sekedar melepas penat. Memang setelah orang tuanya meninggal, kehidupan Olin tidak lagi sama seperti dulu. "Untung aku pakai dress," ucap Olin menerima uluran tangan Gevan dan masuk ke dalam gedung bersama. "Emang kenapa?" Gevan menekan tombol lift. "Ya
Mobil berhenti tepat di depan rumah Olin. Selama perjalanan pulang, hanya ada keheningan di antara mereka. Tentu itu bukan tanpa alasan. Saat nama Putri disebut oleh teman-temannya tadi, Gevan tahu jika perasaan Olin tidak sama lagi. Wanita itu mulai menunjukkan senyum palsu. Gevan sudah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, tetapi sepertinya kisah masa lalunya memang menjadi topik menarik malam ini. "Aku duluan ya, Mas. Hati-hati nyetirnya. Kabarin kalau udah sampe rumah," ucap Olin yang akan membuka pintu mobil. Dahinya berkerut saat mobil masih dikunci oleh Gevan. Saat akan membuka secara manual, Gevan mencegahnya. "Jangan turun dulu," ucap pria itu. "Kenapa, Mas?" Gevan menghela napas lelah dan meraih tangan Olin, "Aku minta maaf." Olin tersenyum masam. Dia tahu apa yang dimaksud pria itu. Perlahan Olin mulai ikut menggenggam tangan Gevan dan mengelusnya pelan. "Aku ngerti kok, nggak papa," balasnya tersenyum. Melihat senyum itu, bukannya lega, Gevan malah se
Sambil bersiul, Gevan memasuki rumahnya dengan santai. Dia melihat ke sekitar dan tidak menemukan keberadaan ibunya di manapun. Biasanya saat pulang kerja, Gevan selalu melihat ibunya di ruang tengah sambil membaca buku resep makanan. Di mana wanita itu? "Ma?" panggil Gevan. Sambil memainkan kunci mobil, Gevan melirik ke arah dapur. Tidak ada seorang pun di sana. "Mama?" panggil Gevan lagi. Kali ini dia menggunakan suara yang lebih keras. Gevan sudah menjelajahi semua ruangan di lantai satu dan tidak menemukan ada tanda-tanda kehidupan. Dengan langkah lebar dia mulai menaiki tangga menuju lantai atas. Gevan menghela napas lega saat melihat pintu kamarnya yang terbuka. Dia berjalan mendekat dan melihat ibunya yang tengah memasukkan pakaian bersih ke dalam lemari. Gevan masuk dan memeluk ibunya dari belakang. Tak lupa dia juga mencium kening wanita itu. Hal yang selalu ia lakukan saat berangkat dan pulang dari bekerja. "Tumben udah pulang? Biasanya malem," tanya Ibunya.
Suasana bandara cukup ramai kali ini. Apalagi akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bepergian setelah bekerja keras selama satu minggu. Hari ini Gevan akan pergi ke Bali untuk datang ke acara pernikahan Danu. Seharusnya dia senang, tetapi itu tidak terlihat dari wajahnya. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanya Gevan lagi pada Olin. Pria itu tampak ragu melangkah masuk. Lagi-lagi dia menyayangkan keputusan Olin yang tidak bisa menemaninya datang ke pernikahan Danu. Bukannya tidak mau, tetapi Olin harus bekerja. Kafe akan sibuk selama dua hari nanti karena sudah dipesan untuk sebuah acara penting. "Nggak jadi pergi deh." Gevan dengan lemas berbalik menjauh, tetapi Olin dengan cepat menahannya. "Kenapa sih? Udah sampe bandara juga." "Ya masa kamu nggak ikut, Yang? Males banget datang sendiri." Olin menghela napas dengan sabar. Sejak kemarin Gevan memang terlihat ragu untuk berangkat, tetapi aneh rasanya jika pria itu tidak jadi datang hanya karena dirinya yang tidak ikut.
Di acara resepsi pernikahan Danu, Gevan memilih untuk duduk menyendiri di area makanan. Tidak, dia tidak sedang menikmati makanan yang tersedia. Dia hanya ingin mengasingkan diri sambil memainkan ponselnya. Masih berusaha menghubungi Olin dan berharap jika wanita itu akan memberi kabar untuknya. Gevan menyadari jika apa yang ia lakukan sedikit berlebihan. Untuk pertama kalinya dia posesif pada perempuan selain ibunya, yaitu Olin. Satu hari tidak berkabar dengan kekasihnya sudah membuat Gevan pusing. Jangankan satu hari, pesan terakhir yang Olin kirim pada Gevan adalah pukul tiga sore. Namun di jam delapan malam ini dia sudah dibuat resah. Apa Olin baik-baik saja? Apa dia kelelahan? Atau apa ada pria yang menggodanya? Pikiran-pikiran negatif itu mulai berlarian di kepala Gevan. Alasan terakhir adalah alasan yang ia takutkan. Gevan takut jika Olin digoda oleh pria lain, pria yang jauh muda, tampan, dan yang pastinya tidak brengsek sepertinya. Gevan takut jika Olin akan berpindah
Penyesalan memang diciptakan bukan tanpa alasan. Gevan menyesal tidak menuruti kata hatinya sejak awal. Perasaannya sudah tidak enak saat akan berangkat ke Bali, tetapi dengan bodohnya dia tetap datang ke tempat ini. Tempat yang seharusnya menjadi tempat yang bahagia untuk sahabatnya tetapi malah menjadi tempat petaka untuknya. Suara keras Gevan terdengar menggelegar di seluruh ruangan. Tidak peduli jika teriakannya bisa membangunkan seseorang di sampingnya, Gevan terus mengumpat. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menjauh. Tangannya dengan reflek meremas rambutnya dan tanpa sadar berubah menjadi jambakan. Rasa sakit di kepalanya seolah menghilang digantikan dengan rasa panik. Ya panik, bagaimana Gevan tidak panik jika bangun di pagi hari dengan seorang wanita di atas kasurnya. Sialnya lagi wanita itu bukanlah kekasihnya, justru dia adalah musuh dari kebahagiaannnya, Putri. "Sialan! Bangun lo." Gevan kembali mengumpat dan berteriak pada Putri. Teriakannya mulai berhasil m
Olin berjalan ke meja makan dan meletakkan piring terakhir di sana. Dia menatap makanan di hadapannya dengan senang. Tidak, Olin tidak memasak kali ini. Dia memilih untuk memesan makanan untuk menyambut kedatangan Gevan. Olin mengelap tangannya dan melirik jam kecil di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, seharusnya Gevan sudah pulang dari bekerja. Memang setelah kembali dari Bali, pria itu langsung memutuskan untuk ke rumah sakit. Olin tidak berharap jika Gevan akan menemuinya terlebih dahulu, karena profesinya sebagai dokter menuntutnya untuk siap siaga jika ada panggilan mendadak. "Tinggal tunggu Mas Gevan dateng," ucapnya duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Tidak ada balasan pesan dari Gevan. Olin menghela napas kasar menyadari itu. Apa pria itu sedang sibuk? Tadi sore Olin sudah mengirimkan pesan untuk Gevan agar menemuinya di apartemen malam ini. Jujur, Olin sangat merindukannya. Hanya satu hari tidak bertemu tetapi rasanya seperti bertahun-tah
Di kegelapan malam, Gevan masih terjaga dengan mata yang terbuka sempurna. Seharusnya dengan banyaknya kegiatan yang ia lakukan akhir-akhir ini, istirahat adalah hal yang ia butuhkan. Namun anehnya matanya tidak bisa terpejam meskipun tubuhnya berkata sebaliknya. Sebuah gerakan di pelukannya menyadarkan lamunan Gevan. Dia menunduk dan melihat Olin yang bergerak memeluk pinggangnya. Wanita itu terlihat sangat nyenyak karena Gevan bisa mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama lelah, tetapi ada hal lain yang tidak bisa membuat Gevan tidur. Dia takut dan malu. Takut jika Olin mengetahui apa yang ia sembunyikan dan malu karena menjadi pria bajingan yang seharusnya tak pantas mendapatkan cinta dari Olin. Gevan sudah berusaha keras untuk berubah demi meningkatkan kualitas diri agar bisa bersanding dengan Olin, tetapi semuanya hancur hanya dalam waktu semalam. "Kok belum tidur?" tanya Olin tiba-tiba dengan suara serak. Lamunan Gevan buyar dan menunduk,