Di kegelapan malam, Gevan masih terjaga dengan mata yang terbuka sempurna. Seharusnya dengan banyaknya kegiatan yang ia lakukan akhir-akhir ini, istirahat adalah hal yang ia butuhkan. Namun anehnya matanya tidak bisa terpejam meskipun tubuhnya berkata sebaliknya. Sebuah gerakan di pelukannya menyadarkan lamunan Gevan. Dia menunduk dan melihat Olin yang bergerak memeluk pinggangnya. Wanita itu terlihat sangat nyenyak karena Gevan bisa mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama lelah, tetapi ada hal lain yang tidak bisa membuat Gevan tidur. Dia takut dan malu. Takut jika Olin mengetahui apa yang ia sembunyikan dan malu karena menjadi pria bajingan yang seharusnya tak pantas mendapatkan cinta dari Olin. Gevan sudah berusaha keras untuk berubah demi meningkatkan kualitas diri agar bisa bersanding dengan Olin, tetapi semuanya hancur hanya dalam waktu semalam. "Kok belum tidur?" tanya Olin tiba-tiba dengan suara serak. Lamunan Gevan buyar dan menunduk,
Di dalam mobil, Andra memilih untuk menunduk dan memainkan ponselnya dengan bosan. Dia hanya membuka kunci ponsel dan menguncinya lagi, terus seperti itu. Sesekali dia melirik ke dalam kafe untuk melihat seseorang. Beruntung dinding kafe terbuat dari kaca sehingga Andra masih bisa melihat Gevan dan Putri di sana. Entah kenapa saat melihat itu, Andra mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke arah Gevan dan Putri. Suara potret dari kamera mulai terdengar beberapa kali. Andra tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan gambar itu, tetapi yang pasti dia akan menyimpannya. Saat masih fokus melihat gambar yang ia ambil, Andra terkejut saat pintu mobil sisi penumpang terbuka. Tiba-tiba Putri masuk dan duduk dengan diam. Andra menatapnya dengan bingung. "Sudah selesai? Kok cepet?" tanyanya bingung. Mendengar itu, tangis Putri kembali pecah. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk, berusaha menyembunyikan tangisannya dari Andra. "Kamu kenapa?" tanya Andra panik. Dia
Duduk santai di belakang kafe sudah menjadi kebiasaan Olin saat beristirahat. Dengan beralaskan koran, dia duduk bersila dengan kotak makan di pangkuannya. Lagi-lagi Olin tersenyum saat menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya. Matanya terpejam menikmati tasa lezat pada makanan itu. Sebetulnya bukan tentang rasa makanan yang membuatnya tersenyum, melainkan siapa yang memberikan bekal makanan itu padanya. Tadi pagi, saat kafe belum buka dan Olin bertugas merapikan meja, Ibu Gevan datang dengan bekal makanan di tangannya. Hal itu membuat Olin terkejut sekaligus terharu. Wanita itu repot-repot memasak di pagi hari demi membawakannya bekal. "Iya iya.. yang dibawain bekal sama calon mertua bawaannya senyum mulu," ucap Fika yang baru saja datang dengan satu piring di tangannya. Sepertinya dia juga akan makan siang. "Siapa?" tanya Okta yang ternyata mengekor di belakang Fika. Saat ini mereka duduk bertiga bersama Ayang tentu saja, kucing kesayangan Olin. "Ibunya Mas Gevan." O
Di tengah malam, Olin duduk di meja riasnya sambil memainkan ponsel. Lagi-lagi bibirnya tersenyum saat berbalas pesan dengan Ibu Gevan. Sepertinya ucapan Fika tadi siang sedikit membuka hatinya tentang pernikahan. Meskipun sering mengelak, tak bisa dipungkiri jika Olin mulai suka dengan topik pernikahan. Apalagi saat Ibu Gevan menunjukkan hal-hal mengenai pernikahan yang membuatnya gemas. "Bagusan warna putih nggak sih?" tanya Olin pada dirinya sendiri. Saat ini dia dibingungkan dengan warna kebaya yang dipilih oleh Ibu Gevan. Entah kenapa, selera Olin dan Ibu Gevan banyak memiliki kesamaan. Mereka lebih tertarik dengan pernikahan dengan adat daripada modern. Berbeda dengan Gevan yang ingin mudahnya saja. Namun tetap, pria itu memilih untuk menurut apa kata para wanita. Gevan tidak akan membantah jika itu bisa membahagiakan dua wanita yang berharga di dalam hidupnya. Saat masih asik berbalas pesan, ponsel Olin berdering. Dahinya berkerut melihat nama Gevan di sana. Tanpa menunggu, O
Satu bulan telah berlalu sejak Gevan melamar Olin secara mendadak. Selain mendadak, Gevan juga melakukannya tanpa persiapan yang romantis. Sialnya lagi, Gevan tidak mau menerima jawaban lain selain iya. Tanpa bertanya, pria itu langsung memasang cincin yang sudah ia beli jauh-jauh hari ke jari Olin. Apakah Olin membantah? Tentu tidak. Jangankan membantah, untuk bernapas saja pada saat itu rasanya pun sulit. Gevan harus menepuk pipi Olin beberapa kali agar tersadar dan kembali bernapas dengan normal. Saat itu entah kenapa tidak ada perasaan lain selain senang. Rasa ragu Olin selama ini seolah menghilang entah ke mana. Mungkin karena Gevan yang terlihat begitu yakin melamarnya. Jika Gevan tidak ragu kenapa dia harus ragu? Sepertinya perubahan Gevan selama ini cukup menjadi bukti jika pria itu benar-benar bersungguh-sungguh dan berhenti bermain-main. "Gila, cerah banget wajah lo, Van?" tanya Anton yang baru bergabung. "Gimana nggak cerah, calon pengantin nih," celetuk Martin.
Di hari Jumat, Olin memutuskan untuk izin bekerja. Ini karena Ibu Gevan yang tiba-tiba datang ke kafe dan menculiknya. Sekarang Olin tahu dari mana sifat tak terbantahkan Gevan menurun, yaitu dari ibunya sendiri. Dengan bermodalkan orang dalam, Ibu Gevan berbicara dengan Tama dan berhasil mengajaknya pergi. Ada rasa sungkan di hati Olin karena seperti tidak profesional dalam bekerja. Memang benar adanya, tetapi itu ia lakukan juga karena keluarga Gevan. Tama sendiri juga tidak bisa menolak ataupun melarang. Ibu Gevan adalah anak tertua di keluarga besarnya. Tidak mungkin jika Tama membantah. Kalaupun iya, sudah dipastikan saat pulang ke rumah nanti ibunya akan menarik telinganya karena sudah bertingkah kurang ajar. "Gimana? Udah list nama-nama tamu undangan?" tanya Ibu Gevan. Saat ini mereka berada di salah satu restoran Jepang di dalam mall setelah lelah berkeliling mencari barang yang Ibu Gevan butuhkan. Rencananya wanita itu akan pergi ke Turki bersama teman-teman sosiali
Gevan mencuci tangannya setelah melakukan operasi besar yang cukup memakan banyak waktu. Delapan jam lamanya dia berada di ruang operasi dan bersyukur jika operasi hari ini berjalan dengan lancar. Lelah? Tentu saja, tetapi rasa lelahnya terbayar dengan hari yang berjalan tanpa kendala. "Mau langsung pulang, Dok?" tanya Saka, salah satu perawat yang membantu jalannya operasi tadi. Gevan melirik jam tangannya sebentar dan mengangguk. "Iya, jam praktek saya sudah selesai." "Nggak mau ikut makan-makan, Pak?" Dahi Gevan berkerut, "Ada acara apa?" "Dokter Bianca ulang tahun, jadi dia mau traktir anak-anak." Gevan tersenyum mendengar itu. Sudah lama dia tidak mendengar nama Bianca. "Gimana, Pak? Mau ikut? Nggak mungkin Dokter Gevan nggak diundang." "Kayaknya saya memang nggak diundang," ucapnya dengan terkekeh, "Tapi nggak masalah, lagi pula saya juga mau jemput tunangan saya." "Owalah, maaf ya, Pak. Kalau gitu saya duluan." Dengan gugup Saka mulai berlalu pergi. Geva
Sudah lama Gevan tidak merasakan perasaan ini. Seperti tersambar petir, adrenalinnya terpacu begitu cepat dengan tubuh yang terdiam kaku. Kalimat yang Andra ucapkan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Seolah dengan senang hati terus berputar secara berulang-ulang agar ia tersadar dengan perasaan bersalah. "Van?" panggil Andra yang melihat Gevan mendadak menjadi diam. "Kenapa lo kasih tau gue?" tanya Gevan pada akhirnya. Setelah terdiam beberapa saat dengan napas tertahan akhirnya Gevan kembali sadar. Keringat dingin langsung keluar dari tubuhnya tanpa bisa dicegah. Pagi yang sejuk tidak bisa membantunya untuk tenang sama sekali. Tangan Andra terulur menyentuh bahu Gevan. Detik itu juga Gevan terkejut dan menghindar. Seperti tersengat listrik, dia sedang dilanda kepanikan sekarang. Gerakan reflek yang ia lakukan itu membuat Andra menghela napas kasar. "Gue tau ini berat buat lo, Van." Gevan menggeleng cepat, "Itu semua nggak ada hubungannya sama gue." "Gue tau apa ya