Satu bulan telah berlalu sejak Gevan melamar Olin secara mendadak. Selain mendadak, Gevan juga melakukannya tanpa persiapan yang romantis. Sialnya lagi, Gevan tidak mau menerima jawaban lain selain iya. Tanpa bertanya, pria itu langsung memasang cincin yang sudah ia beli jauh-jauh hari ke jari Olin. Apakah Olin membantah? Tentu tidak. Jangankan membantah, untuk bernapas saja pada saat itu rasanya pun sulit. Gevan harus menepuk pipi Olin beberapa kali agar tersadar dan kembali bernapas dengan normal. Saat itu entah kenapa tidak ada perasaan lain selain senang. Rasa ragu Olin selama ini seolah menghilang entah ke mana. Mungkin karena Gevan yang terlihat begitu yakin melamarnya. Jika Gevan tidak ragu kenapa dia harus ragu? Sepertinya perubahan Gevan selama ini cukup menjadi bukti jika pria itu benar-benar bersungguh-sungguh dan berhenti bermain-main. "Gila, cerah banget wajah lo, Van?" tanya Anton yang baru bergabung. "Gimana nggak cerah, calon pengantin nih," celetuk Martin.
Di hari Jumat, Olin memutuskan untuk izin bekerja. Ini karena Ibu Gevan yang tiba-tiba datang ke kafe dan menculiknya. Sekarang Olin tahu dari mana sifat tak terbantahkan Gevan menurun, yaitu dari ibunya sendiri. Dengan bermodalkan orang dalam, Ibu Gevan berbicara dengan Tama dan berhasil mengajaknya pergi. Ada rasa sungkan di hati Olin karena seperti tidak profesional dalam bekerja. Memang benar adanya, tetapi itu ia lakukan juga karena keluarga Gevan. Tama sendiri juga tidak bisa menolak ataupun melarang. Ibu Gevan adalah anak tertua di keluarga besarnya. Tidak mungkin jika Tama membantah. Kalaupun iya, sudah dipastikan saat pulang ke rumah nanti ibunya akan menarik telinganya karena sudah bertingkah kurang ajar. "Gimana? Udah list nama-nama tamu undangan?" tanya Ibu Gevan. Saat ini mereka berada di salah satu restoran Jepang di dalam mall setelah lelah berkeliling mencari barang yang Ibu Gevan butuhkan. Rencananya wanita itu akan pergi ke Turki bersama teman-teman sosiali
Gevan mencuci tangannya setelah melakukan operasi besar yang cukup memakan banyak waktu. Delapan jam lamanya dia berada di ruang operasi dan bersyukur jika operasi hari ini berjalan dengan lancar. Lelah? Tentu saja, tetapi rasa lelahnya terbayar dengan hari yang berjalan tanpa kendala. "Mau langsung pulang, Dok?" tanya Saka, salah satu perawat yang membantu jalannya operasi tadi. Gevan melirik jam tangannya sebentar dan mengangguk. "Iya, jam praktek saya sudah selesai." "Nggak mau ikut makan-makan, Pak?" Dahi Gevan berkerut, "Ada acara apa?" "Dokter Bianca ulang tahun, jadi dia mau traktir anak-anak." Gevan tersenyum mendengar itu. Sudah lama dia tidak mendengar nama Bianca. "Gimana, Pak? Mau ikut? Nggak mungkin Dokter Gevan nggak diundang." "Kayaknya saya memang nggak diundang," ucapnya dengan terkekeh, "Tapi nggak masalah, lagi pula saya juga mau jemput tunangan saya." "Owalah, maaf ya, Pak. Kalau gitu saya duluan." Dengan gugup Saka mulai berlalu pergi. Geva
Sudah lama Gevan tidak merasakan perasaan ini. Seperti tersambar petir, adrenalinnya terpacu begitu cepat dengan tubuh yang terdiam kaku. Kalimat yang Andra ucapkan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Seolah dengan senang hati terus berputar secara berulang-ulang agar ia tersadar dengan perasaan bersalah. "Van?" panggil Andra yang melihat Gevan mendadak menjadi diam. "Kenapa lo kasih tau gue?" tanya Gevan pada akhirnya. Setelah terdiam beberapa saat dengan napas tertahan akhirnya Gevan kembali sadar. Keringat dingin langsung keluar dari tubuhnya tanpa bisa dicegah. Pagi yang sejuk tidak bisa membantunya untuk tenang sama sekali. Tangan Andra terulur menyentuh bahu Gevan. Detik itu juga Gevan terkejut dan menghindar. Seperti tersengat listrik, dia sedang dilanda kepanikan sekarang. Gerakan reflek yang ia lakukan itu membuat Andra menghela napas kasar. "Gue tau ini berat buat lo, Van." Gevan menggeleng cepat, "Itu semua nggak ada hubungannya sama gue." "Gue tau apa ya
Olin menatap kepergian Putri dengan tatapan penasaran. Awalnya ia pikir Putri datang karena ingin bertemu dengannya untuk membicarakan sesuatu, tetapi ternyata tidak. Wanita itu datang hanya untuk membeli kue stroberi dan satu gelas minuman frappe. Ada rasa heran saat melihat tingkah Putri yang seperti biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Meskipun tidak secara langsung, tetapi Olin yakin jika Putri tahu masalah yang ada di antara mereka. Namun melihat respon Putri yang biasa saja membuat Olin mau tidak mau ikut biasa saja. Tidak mungkin dia bersikap ketus pada seseorang yang merupakan pembeli kafe. "Dia Putri kan?" bisik Fika di belakang Olin. Olin hanya mengangguk dan kembali berkutat pada mesin kasir. "Bisa-bisanya dia ke sini seolah nggak ada apa-apa? Nggak tau malu," celetuk Fika lagi. "Udah lah, mungkin dia suka menu di kafe ini." Fika menatap Olin kesal, "Lo terlalu positive thinking. Males!" "Lah...," Olin menatap kepergian Fika dengan b
Perasaan resah dan gelisah tidak bisa Olin hindari. Setelah berbicara dengan Intan dan membuka semua fakta yang Gevan sembunyikan, semuanya langsung berubah. Pandangan Olin terhadap Gevan sedikit berubah. Sekarang dia semakin yakin jika perubahan pria itu ada kaitannya dengan Putri. Seolah menggunakan kaca mata kuda, Olin berusaha percaya dan menutup mata selama ini. Dia mencoba percaya akan perubahan Gevan ke arah yang lebih baik. Benar, Olin memang melihat perubahan itu. Namun setelah tahu jika Gevan sedang menyembunyikan fakta akan Putri, Olin menjadi ragu. Apa benar Gevan telah berubah? Untuk mengetahui itu semua hanya bisa dilakukan satu cara, yaitu berbicara empat mata dengan Gevan. Olin tidak bisa berpikir jernih jika itu berhubungan dengan Putri, seolah dia memiliki alarm penanda untuk tidak berurusan dengan wanita itu. Saat ini, Olin duduk di sofa apartemen dengan tatapan datar. Televisi yang menyala ia abaikan karena terlalu banyak hal negatif yang ia pikirkan. Seb
Gevan berdiam diri di dalam mobil dengan melamun. Meskipun lelah, tetapi dia tidak ingin tidur. Dia tengah menunggu kedatangan Olin saat ini. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, terutama mengenai pesan singkat yang Olin kirim dua jam yang lalu. Setelah membaca pesan yang sangat menyakitkan itu, Gevan langsung bergegas ke rumah Olin. Sudah mengetuk pintu berkali-kali pun tetap tidak ada jawaban. Gevan baru sadar jika Olin tidak ada di rumah saat melihat lampu teras yang tidak menyala. Gevan juga tidak melihat kendaraan Olin di mana pun. "Kamu di mana, Sayang?" gumam Gevan kembali membaca pesan yang Olin kirim. Pesan itu menjadi kabar buruk untuk Gevan. Untuk yang kesekian kalinya dia dibuat menangis karena Olin. Gevan sangat takut, ketakutannya selama ini menjadi kenyataan. Gevan tahu tidak selamanya dia bisa menyembunyikan masalah ini, tetapi dia tidak menyangka jika akan terbongkar secepat ini. Mata Gevan mulai terpejam. Seperti orang bodoh, dia akan tetap menunggu ke
Gevan keluar dari kantor Danu setelah berhasil meminta bantuan. Dia benar-benar mengikuti saran Anton dan Martin untuk berusaha mencari jawaban. Dia tidak boleh lemah hanya karena permasalahan yang belum tentu benar terjadi. Saat mendengar permintaan Gevan, Danu menunjukkan ekspresi yang sama. Dia akan dengan senang hati membantu Gevan. Biar bagaima pun semua terjadi di acara pernikahannya. Meskipun ini bukan salahnya, tetapi Danu merasa tetap harus bertanggung jawab karena menyatukan Gevan dan Putri di tempat yang sama. Gevan adalah sahabat yang sering membantunya di saat masa remajanya berjalan dengan tidak baik. *** Di hari libur, tidak ada waktu bersantai untuk Gevan. Sudah cukup dia memberikan waktu bagi Olin untuk sendiri. Sudah saatnya dia muncul untuk kembali membicarakan masalah mereka. Gevan tahu jika masalah utama pada hubungan mereka adalah dirinya. Oleh karena itu, Gevan berniat memperbaiki semuanya karena biar bagaimanapun hingga saat ini Gevan tidak mau berpis
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen