Di dalam sebuah kamar, terlihat seorang wanita tengah duduk bersandar di tempat tidur dengan melamun. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang mulai membuncit. Putri menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Matanya terpejam mencoba menenangkan hati dan pikirannya saat ini. Baru saja Putri kembali dari dokter untuk memeriksa kandungannya. Hasilnya tetap sama, kandungannya masih lemah. Dia juga sesekali merasakan nyeri pada perutnya. Meskipun kehamilannya datang secara tiba-tiba dan tidak diharapkan, bukan berarti Putri tidak peduli. Biar bagaimana pun bayi yang ada di perutnya adalah anaknya, darah dagingnya. "Masih mual?" tanya Andra memberikan sebuah piring berisi potongan buah. "Udah mendingan tapi masih pusing." "Udah aku bilang kamu nggak udah pikirin apa-apa. Fokus sama kehamilan kamu aja." Putri tersenyum kecut, "Gimana aku bisa tenang kalau Gevan nggak mau akui anak ini?" Andra menggenggam tangan Putri erat, "Kamu jangan khawatir. Aku udah janji bantu ka
Dengan bersiul, Gevan menuruni anak tangga dengan perasaan senang. Semalam adalah malam di mana dia bisa tertidur nyenyak setelah masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini. Bahkan wajahnya yang memar karena pukulan Andra tidak terasa sakit sama sekali. Gevan sangat bahagia karena pada akhirnya semua telah terjawab. Sekarang fokus Gevan hanya satu, yaitu menemui Olin dan menjelaskan semuanya. Mungkin ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana bisa Gevan begitu percaya diri dan tenang saat ini? Kenapa dia bisa yakin jika Andra tidak akan berulah lagi? Gevan merasa yakin bukan tanpa alasan. Ini semua karena Andra telah mengirimkan pesan singkat semalam yang mengatakan jika dia menyerah demi keselamatan anaknya. Meskipun terdengar ambigu, tetapi ucapan Andra bisa dipercaya dengan diperkuat bukti yang Danu kirim padanya tadi pagi. Sahabatnya itu berhasil mendapatkan rekaman CCTV di lorong kamar hotelnya. Seperti dugaannya, Putri masuk ke dalam kamarnya tepat pukul lima pagi dan
Andra menghela napas kasar dan meletakkan piring yang ia bawa ke atas meja. Melihat Putri yang masih menangis dengan diam membuat hati Andra sakit. Bahkan wanita itu tidak mau menyentuh makanannya sama sekali. Ini karena Andra yang telah menceritakan semuanya, tentang kegagalan rencana mereka, lebih tepatnya rencananya. "Seenggaknya kamu harus makan, Put." "Semua udah selesai kan, Ndra?" tanyanya dengan tatapan kosong. Andra meraih bahu Putri untuk menyadarkan wanita itu. "Semua udah selesai. Maaf kalau aku nggak bisa tepati janji aku untuk buat kamu bahagia. Aku nggak mau kamu keguguran hanya karena ikuti kemauan Gevan untuk tes DNA. Lagi pula, kita juga nggak mungkin bisa tes DNA, Put. Bayi itu bukan anak Gevan, tapi anak aku." Putri menunduk dan mengelus perutnya pelan. Air mata yang kembali menetes dengan cepat ia hapus. Egois jika Putri tidak mau kehilangan Gevan dan bayinya sekaligus. Namun sekeras apapun usahanya, Gevan tetap tidak akan mencintainya. Putri sangat me
Hawa dingin mulai mengganggu tidur Olin. Dengan mata yang terpejam dia bergerak mengeratkan selimut di tubuhnya. Setelah itu Olin akan kembali tidur. Dengan memeluk guling di sampingnya, Olin semakin nyaman untuk kembali terlelap. Tunggu... Guling? Mata Olim seketika terbuka. Dia menatap guling di hadapannya dengan aneh. Dia mulai melihat ke sekitar kamarnya dan tidak menemukan Gevan. Di mana suaminya? Olin berniat untuk bangun, tetapi gerakannya terhenti karena terkejut. Bagaimana dia tidak terkejut jika melihat sebuah kepala di sampingnya? Ternyata Gevan tengah duduk di atas lantai saat ini dan sibuk melakukan sesuatu. Olin kembali menjatuhkan kepalanya ke atas bantal dan mengusap wajahnya kasar. Dia melihat ke arah jendela dan mendengar suara rintik hujan. Ternyata hujan datang pagi ini. Tak heran hawa dingin begitu menusuk tubuhnya. Apalagi saat ini tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh Olin. Dengan polos, Olin mengintip ke dalam selimut. Dia menggigit j
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela