Suasana bandara cukup ramai kali ini. Apalagi akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bepergian setelah bekerja keras selama satu minggu. Hari ini Gevan akan pergi ke Bali untuk datang ke acara pernikahan Danu. Seharusnya dia senang, tetapi itu tidak terlihat dari wajahnya. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanya Gevan lagi pada Olin. Pria itu tampak ragu melangkah masuk. Lagi-lagi dia menyayangkan keputusan Olin yang tidak bisa menemaninya datang ke pernikahan Danu. Bukannya tidak mau, tetapi Olin harus bekerja. Kafe akan sibuk selama dua hari nanti karena sudah dipesan untuk sebuah acara penting. "Nggak jadi pergi deh." Gevan dengan lemas berbalik menjauh, tetapi Olin dengan cepat menahannya. "Kenapa sih? Udah sampe bandara juga." "Ya masa kamu nggak ikut, Yang? Males banget datang sendiri." Olin menghela napas dengan sabar. Sejak kemarin Gevan memang terlihat ragu untuk berangkat, tetapi aneh rasanya jika pria itu tidak jadi datang hanya karena dirinya yang tidak ikut.
Di acara resepsi pernikahan Danu, Gevan memilih untuk duduk menyendiri di area makanan. Tidak, dia tidak sedang menikmati makanan yang tersedia. Dia hanya ingin mengasingkan diri sambil memainkan ponselnya. Masih berusaha menghubungi Olin dan berharap jika wanita itu akan memberi kabar untuknya. Gevan menyadari jika apa yang ia lakukan sedikit berlebihan. Untuk pertama kalinya dia posesif pada perempuan selain ibunya, yaitu Olin. Satu hari tidak berkabar dengan kekasihnya sudah membuat Gevan pusing. Jangankan satu hari, pesan terakhir yang Olin kirim pada Gevan adalah pukul tiga sore. Namun di jam delapan malam ini dia sudah dibuat resah. Apa Olin baik-baik saja? Apa dia kelelahan? Atau apa ada pria yang menggodanya? Pikiran-pikiran negatif itu mulai berlarian di kepala Gevan. Alasan terakhir adalah alasan yang ia takutkan. Gevan takut jika Olin digoda oleh pria lain, pria yang jauh muda, tampan, dan yang pastinya tidak brengsek sepertinya. Gevan takut jika Olin akan berpindah
Penyesalan memang diciptakan bukan tanpa alasan. Gevan menyesal tidak menuruti kata hatinya sejak awal. Perasaannya sudah tidak enak saat akan berangkat ke Bali, tetapi dengan bodohnya dia tetap datang ke tempat ini. Tempat yang seharusnya menjadi tempat yang bahagia untuk sahabatnya tetapi malah menjadi tempat petaka untuknya. Suara keras Gevan terdengar menggelegar di seluruh ruangan. Tidak peduli jika teriakannya bisa membangunkan seseorang di sampingnya, Gevan terus mengumpat. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menjauh. Tangannya dengan reflek meremas rambutnya dan tanpa sadar berubah menjadi jambakan. Rasa sakit di kepalanya seolah menghilang digantikan dengan rasa panik. Ya panik, bagaimana Gevan tidak panik jika bangun di pagi hari dengan seorang wanita di atas kasurnya. Sialnya lagi wanita itu bukanlah kekasihnya, justru dia adalah musuh dari kebahagiaannnya, Putri. "Sialan! Bangun lo." Gevan kembali mengumpat dan berteriak pada Putri. Teriakannya mulai berhasil m
Olin berjalan ke meja makan dan meletakkan piring terakhir di sana. Dia menatap makanan di hadapannya dengan senang. Tidak, Olin tidak memasak kali ini. Dia memilih untuk memesan makanan untuk menyambut kedatangan Gevan. Olin mengelap tangannya dan melirik jam kecil di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, seharusnya Gevan sudah pulang dari bekerja. Memang setelah kembali dari Bali, pria itu langsung memutuskan untuk ke rumah sakit. Olin tidak berharap jika Gevan akan menemuinya terlebih dahulu, karena profesinya sebagai dokter menuntutnya untuk siap siaga jika ada panggilan mendadak. "Tinggal tunggu Mas Gevan dateng," ucapnya duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Tidak ada balasan pesan dari Gevan. Olin menghela napas kasar menyadari itu. Apa pria itu sedang sibuk? Tadi sore Olin sudah mengirimkan pesan untuk Gevan agar menemuinya di apartemen malam ini. Jujur, Olin sangat merindukannya. Hanya satu hari tidak bertemu tetapi rasanya seperti bertahun-tah
Di kegelapan malam, Gevan masih terjaga dengan mata yang terbuka sempurna. Seharusnya dengan banyaknya kegiatan yang ia lakukan akhir-akhir ini, istirahat adalah hal yang ia butuhkan. Namun anehnya matanya tidak bisa terpejam meskipun tubuhnya berkata sebaliknya. Sebuah gerakan di pelukannya menyadarkan lamunan Gevan. Dia menunduk dan melihat Olin yang bergerak memeluk pinggangnya. Wanita itu terlihat sangat nyenyak karena Gevan bisa mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama lelah, tetapi ada hal lain yang tidak bisa membuat Gevan tidur. Dia takut dan malu. Takut jika Olin mengetahui apa yang ia sembunyikan dan malu karena menjadi pria bajingan yang seharusnya tak pantas mendapatkan cinta dari Olin. Gevan sudah berusaha keras untuk berubah demi meningkatkan kualitas diri agar bisa bersanding dengan Olin, tetapi semuanya hancur hanya dalam waktu semalam. "Kok belum tidur?" tanya Olin tiba-tiba dengan suara serak. Lamunan Gevan buyar dan menunduk,
Di dalam mobil, Andra memilih untuk menunduk dan memainkan ponselnya dengan bosan. Dia hanya membuka kunci ponsel dan menguncinya lagi, terus seperti itu. Sesekali dia melirik ke dalam kafe untuk melihat seseorang. Beruntung dinding kafe terbuat dari kaca sehingga Andra masih bisa melihat Gevan dan Putri di sana. Entah kenapa saat melihat itu, Andra mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke arah Gevan dan Putri. Suara potret dari kamera mulai terdengar beberapa kali. Andra tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan gambar itu, tetapi yang pasti dia akan menyimpannya. Saat masih fokus melihat gambar yang ia ambil, Andra terkejut saat pintu mobil sisi penumpang terbuka. Tiba-tiba Putri masuk dan duduk dengan diam. Andra menatapnya dengan bingung. "Sudah selesai? Kok cepet?" tanyanya bingung. Mendengar itu, tangis Putri kembali pecah. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk, berusaha menyembunyikan tangisannya dari Andra. "Kamu kenapa?" tanya Andra panik. Dia
Duduk santai di belakang kafe sudah menjadi kebiasaan Olin saat beristirahat. Dengan beralaskan koran, dia duduk bersila dengan kotak makan di pangkuannya. Lagi-lagi Olin tersenyum saat menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya. Matanya terpejam menikmati tasa lezat pada makanan itu. Sebetulnya bukan tentang rasa makanan yang membuatnya tersenyum, melainkan siapa yang memberikan bekal makanan itu padanya. Tadi pagi, saat kafe belum buka dan Olin bertugas merapikan meja, Ibu Gevan datang dengan bekal makanan di tangannya. Hal itu membuat Olin terkejut sekaligus terharu. Wanita itu repot-repot memasak di pagi hari demi membawakannya bekal. "Iya iya.. yang dibawain bekal sama calon mertua bawaannya senyum mulu," ucap Fika yang baru saja datang dengan satu piring di tangannya. Sepertinya dia juga akan makan siang. "Siapa?" tanya Okta yang ternyata mengekor di belakang Fika. Saat ini mereka duduk bertiga bersama Ayang tentu saja, kucing kesayangan Olin. "Ibunya Mas Gevan." O
Di tengah malam, Olin duduk di meja riasnya sambil memainkan ponsel. Lagi-lagi bibirnya tersenyum saat berbalas pesan dengan Ibu Gevan. Sepertinya ucapan Fika tadi siang sedikit membuka hatinya tentang pernikahan. Meskipun sering mengelak, tak bisa dipungkiri jika Olin mulai suka dengan topik pernikahan. Apalagi saat Ibu Gevan menunjukkan hal-hal mengenai pernikahan yang membuatnya gemas. "Bagusan warna putih nggak sih?" tanya Olin pada dirinya sendiri. Saat ini dia dibingungkan dengan warna kebaya yang dipilih oleh Ibu Gevan. Entah kenapa, selera Olin dan Ibu Gevan banyak memiliki kesamaan. Mereka lebih tertarik dengan pernikahan dengan adat daripada modern. Berbeda dengan Gevan yang ingin mudahnya saja. Namun tetap, pria itu memilih untuk menurut apa kata para wanita. Gevan tidak akan membantah jika itu bisa membahagiakan dua wanita yang berharga di dalam hidupnya. Saat masih asik berbalas pesan, ponsel Olin berdering. Dahinya berkerut melihat nama Gevan di sana. Tanpa menunggu, O