Di acara resepsi pernikahan Danu, Gevan memilih untuk duduk menyendiri di area makanan. Tidak, dia tidak sedang menikmati makanan yang tersedia. Dia hanya ingin mengasingkan diri sambil memainkan ponselnya. Masih berusaha menghubungi Olin dan berharap jika wanita itu akan memberi kabar untuknya. Gevan menyadari jika apa yang ia lakukan sedikit berlebihan. Untuk pertama kalinya dia posesif pada perempuan selain ibunya, yaitu Olin. Satu hari tidak berkabar dengan kekasihnya sudah membuat Gevan pusing. Jangankan satu hari, pesan terakhir yang Olin kirim pada Gevan adalah pukul tiga sore. Namun di jam delapan malam ini dia sudah dibuat resah. Apa Olin baik-baik saja? Apa dia kelelahan? Atau apa ada pria yang menggodanya? Pikiran-pikiran negatif itu mulai berlarian di kepala Gevan. Alasan terakhir adalah alasan yang ia takutkan. Gevan takut jika Olin digoda oleh pria lain, pria yang jauh muda, tampan, dan yang pastinya tidak brengsek sepertinya. Gevan takut jika Olin akan berpindah
Penyesalan memang diciptakan bukan tanpa alasan. Gevan menyesal tidak menuruti kata hatinya sejak awal. Perasaannya sudah tidak enak saat akan berangkat ke Bali, tetapi dengan bodohnya dia tetap datang ke tempat ini. Tempat yang seharusnya menjadi tempat yang bahagia untuk sahabatnya tetapi malah menjadi tempat petaka untuknya. Suara keras Gevan terdengar menggelegar di seluruh ruangan. Tidak peduli jika teriakannya bisa membangunkan seseorang di sampingnya, Gevan terus mengumpat. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menjauh. Tangannya dengan reflek meremas rambutnya dan tanpa sadar berubah menjadi jambakan. Rasa sakit di kepalanya seolah menghilang digantikan dengan rasa panik. Ya panik, bagaimana Gevan tidak panik jika bangun di pagi hari dengan seorang wanita di atas kasurnya. Sialnya lagi wanita itu bukanlah kekasihnya, justru dia adalah musuh dari kebahagiaannnya, Putri. "Sialan! Bangun lo." Gevan kembali mengumpat dan berteriak pada Putri. Teriakannya mulai berhasil m
Olin berjalan ke meja makan dan meletakkan piring terakhir di sana. Dia menatap makanan di hadapannya dengan senang. Tidak, Olin tidak memasak kali ini. Dia memilih untuk memesan makanan untuk menyambut kedatangan Gevan. Olin mengelap tangannya dan melirik jam kecil di atas meja. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, seharusnya Gevan sudah pulang dari bekerja. Memang setelah kembali dari Bali, pria itu langsung memutuskan untuk ke rumah sakit. Olin tidak berharap jika Gevan akan menemuinya terlebih dahulu, karena profesinya sebagai dokter menuntutnya untuk siap siaga jika ada panggilan mendadak. "Tinggal tunggu Mas Gevan dateng," ucapnya duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya. Tidak ada balasan pesan dari Gevan. Olin menghela napas kasar menyadari itu. Apa pria itu sedang sibuk? Tadi sore Olin sudah mengirimkan pesan untuk Gevan agar menemuinya di apartemen malam ini. Jujur, Olin sangat merindukannya. Hanya satu hari tidak bertemu tetapi rasanya seperti bertahun-tah
Di kegelapan malam, Gevan masih terjaga dengan mata yang terbuka sempurna. Seharusnya dengan banyaknya kegiatan yang ia lakukan akhir-akhir ini, istirahat adalah hal yang ia butuhkan. Namun anehnya matanya tidak bisa terpejam meskipun tubuhnya berkata sebaliknya. Sebuah gerakan di pelukannya menyadarkan lamunan Gevan. Dia menunduk dan melihat Olin yang bergerak memeluk pinggangnya. Wanita itu terlihat sangat nyenyak karena Gevan bisa mendengar dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama lelah, tetapi ada hal lain yang tidak bisa membuat Gevan tidur. Dia takut dan malu. Takut jika Olin mengetahui apa yang ia sembunyikan dan malu karena menjadi pria bajingan yang seharusnya tak pantas mendapatkan cinta dari Olin. Gevan sudah berusaha keras untuk berubah demi meningkatkan kualitas diri agar bisa bersanding dengan Olin, tetapi semuanya hancur hanya dalam waktu semalam. "Kok belum tidur?" tanya Olin tiba-tiba dengan suara serak. Lamunan Gevan buyar dan menunduk,
Di dalam mobil, Andra memilih untuk menunduk dan memainkan ponselnya dengan bosan. Dia hanya membuka kunci ponsel dan menguncinya lagi, terus seperti itu. Sesekali dia melirik ke dalam kafe untuk melihat seseorang. Beruntung dinding kafe terbuat dari kaca sehingga Andra masih bisa melihat Gevan dan Putri di sana. Entah kenapa saat melihat itu, Andra mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke arah Gevan dan Putri. Suara potret dari kamera mulai terdengar beberapa kali. Andra tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan gambar itu, tetapi yang pasti dia akan menyimpannya. Saat masih fokus melihat gambar yang ia ambil, Andra terkejut saat pintu mobil sisi penumpang terbuka. Tiba-tiba Putri masuk dan duduk dengan diam. Andra menatapnya dengan bingung. "Sudah selesai? Kok cepet?" tanyanya bingung. Mendengar itu, tangis Putri kembali pecah. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk, berusaha menyembunyikan tangisannya dari Andra. "Kamu kenapa?" tanya Andra panik. Dia
Duduk santai di belakang kafe sudah menjadi kebiasaan Olin saat beristirahat. Dengan beralaskan koran, dia duduk bersila dengan kotak makan di pangkuannya. Lagi-lagi Olin tersenyum saat menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya. Matanya terpejam menikmati tasa lezat pada makanan itu. Sebetulnya bukan tentang rasa makanan yang membuatnya tersenyum, melainkan siapa yang memberikan bekal makanan itu padanya. Tadi pagi, saat kafe belum buka dan Olin bertugas merapikan meja, Ibu Gevan datang dengan bekal makanan di tangannya. Hal itu membuat Olin terkejut sekaligus terharu. Wanita itu repot-repot memasak di pagi hari demi membawakannya bekal. "Iya iya.. yang dibawain bekal sama calon mertua bawaannya senyum mulu," ucap Fika yang baru saja datang dengan satu piring di tangannya. Sepertinya dia juga akan makan siang. "Siapa?" tanya Okta yang ternyata mengekor di belakang Fika. Saat ini mereka duduk bertiga bersama Ayang tentu saja, kucing kesayangan Olin. "Ibunya Mas Gevan." O
Di tengah malam, Olin duduk di meja riasnya sambil memainkan ponsel. Lagi-lagi bibirnya tersenyum saat berbalas pesan dengan Ibu Gevan. Sepertinya ucapan Fika tadi siang sedikit membuka hatinya tentang pernikahan. Meskipun sering mengelak, tak bisa dipungkiri jika Olin mulai suka dengan topik pernikahan. Apalagi saat Ibu Gevan menunjukkan hal-hal mengenai pernikahan yang membuatnya gemas. "Bagusan warna putih nggak sih?" tanya Olin pada dirinya sendiri. Saat ini dia dibingungkan dengan warna kebaya yang dipilih oleh Ibu Gevan. Entah kenapa, selera Olin dan Ibu Gevan banyak memiliki kesamaan. Mereka lebih tertarik dengan pernikahan dengan adat daripada modern. Berbeda dengan Gevan yang ingin mudahnya saja. Namun tetap, pria itu memilih untuk menurut apa kata para wanita. Gevan tidak akan membantah jika itu bisa membahagiakan dua wanita yang berharga di dalam hidupnya. Saat masih asik berbalas pesan, ponsel Olin berdering. Dahinya berkerut melihat nama Gevan di sana. Tanpa menunggu, O
Satu bulan telah berlalu sejak Gevan melamar Olin secara mendadak. Selain mendadak, Gevan juga melakukannya tanpa persiapan yang romantis. Sialnya lagi, Gevan tidak mau menerima jawaban lain selain iya. Tanpa bertanya, pria itu langsung memasang cincin yang sudah ia beli jauh-jauh hari ke jari Olin. Apakah Olin membantah? Tentu tidak. Jangankan membantah, untuk bernapas saja pada saat itu rasanya pun sulit. Gevan harus menepuk pipi Olin beberapa kali agar tersadar dan kembali bernapas dengan normal. Saat itu entah kenapa tidak ada perasaan lain selain senang. Rasa ragu Olin selama ini seolah menghilang entah ke mana. Mungkin karena Gevan yang terlihat begitu yakin melamarnya. Jika Gevan tidak ragu kenapa dia harus ragu? Sepertinya perubahan Gevan selama ini cukup menjadi bukti jika pria itu benar-benar bersungguh-sungguh dan berhenti bermain-main. "Gila, cerah banget wajah lo, Van?" tanya Anton yang baru bergabung. "Gimana nggak cerah, calon pengantin nih," celetuk Martin.
Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee
Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda
Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias
Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,
Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol
Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama
Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.
Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen