Olin masih terdiam dengan pandangan tidak percaya. Dia pikir Gevan hanya bercanda, tapi ternyata pria itu benar-benar serius dengan ucapannya. "Om, mending saya balik kerja deh." "Loh, kenapa?" "Ya masa ke apartemen beneran?" Olin berdecak dengan kesal. Bayangan akan kasur empuknya di rumah sudah membuatnya ingin segera tidur dan beristirahat. Namun semua itu sirna karena Gaven yang benar-benar menculiknya ke apartemen. "Ayo, turun!" "Nggak mau ih." "Kamu takut?" Gevan menyeringai. Olin menggenggam erat sabuk pengaman, "Ya gimana nggak takut? Om Gevan kan mesum!" Gevan berdecak mendengar itu, "Sudah saya bilang jangan takut sama saya. Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Orang kamu sakit gini masa saya apa-apain. Mana tega?" "Om!" "Bercanda, Sayang." Gevan tersenyum manis, "Ayo, turun!" ucapnya lagi yang langsung keluar dari mobil. Mau tidak mau Olin menurut. Tubuhnya benar-benar lemas dan butuh untuk istirahat. Jangan pernah berpikir jika dia adalah
Menjelang sore, Olin terbangun dari tidurnya. Kali ini tidurnya benar-benar pulas dan membuat badannya menjadi sedikit lebih ringan. Rasa berat di kepalanya juga perlahan mulai menghilang. Mungkin karena efek obat yang diberikan Gevan cukup berpengaruh pada tubuhnya. Olin mengikat rambutnya asal dan berjalan keluar kamar. Dari jauh dia bisa mendengar suara televisi yang menyala. Dia berjalan ke arah suara dan melihat Gevan yang tengah tertidur dengan lengan yang menutupi wajahnya. Olin tersenyum tipis melihat itu. Perlahan dia mendekat dan mematikan televisi. Setelah itu dia duduk di samping sofa agar bisa melihat wajah Gevan dengan leluasa. Olin menopang wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan senyum tipis mulai muncul di wajahnya. Tangannya terulur untuk menyentuh dagu Gevan. Hanya sebentar karena setelah itu Olin terkejut karena Gevan yang mendadak bangun. Olin mundur dan secara tidak sengaja punggungnya menghantam meja. "Aduh!" ringisnya. Gevan terkejut dan bangun dar
Ada hal yang mengganggu Olin saat ini. Bukan tentang Gevan, melainkan dirinya sendiri. Dia benci saat sadar jika ada sesuatu yang mengusik hatinya. Olin ingin mengelak, tetapi sekain keras dia mencoba maka semakin jelas jika rasa itu memang ada. Dia cemburu. Setelah acara makan siang yang berubah menjadi ajang reuni itu, akhirnya Gevan dan Olin pulang. Kali ini bukan apartemen tujuan Gevan, melainkan rumahnya sendiri. Dia mengabaikan permintaan Olin yang ingin pulang ke rumahnya sendiri. Gevan tidak akan mengizinkannya sampai kesehatan wanita itu benar-benar pulih. "Kenapa, hm?" tanya Gevan mengelus kepala Olin sebentar dan kembali fokus pada jalanan. "Saya mau pulang." "Kita pulang kok...," Gevan melirik Olin dengan jahil, "Ke rumah saya." Olin mendengkus dan semakin beringsut menjauh hingga menyentuh pintu mobil. Dia menatap jendela dengan hati yang dongkol. Dia masih kesal dengan Gevan dan pria itu menambah kekesalannya dengan tidak menuruti keinginannya. Demi
Memasuki ruang istirahat para dokter, Gevan mulai melepaskan snelli-nya. Jam kerjanya baru saja berakhir dan dia berniat untuk bersantai sebentar sebelum pulang. Gevan memilih untuk duduk di sofa sambil merenggangkan punggungnya. Dia baru saja selesai mengoperasi pasien sekama empat jam. Oleh karena itu dia butuh kopi untuk merilekskan diri. "Mau saya buatin kopi, Dok?" tanya Eca, kekasih Martin yang baru saja masuk. Gevan membuka matanya dan mengangguk pelan, "Boleh." Kepala Gevan mengedar ke segala arah, "Di mana Martin? Jam praktek udah selesai kan?" Eca menunjuk ujung ruangan dengan dagunya. Di sana Gevan melihat Martin yang tengah berbaring di sofa sambil mengangkat tangan kanannya. "Gue di sini," lanjut Martin sambil membuka snelli yang sedari tadi menutupi wajahnya agar bisa tidur dengan nyaman. "Dokter Gevan langsung pulang?" tanya Eca meletakkan satu cangkir kopi. Kemudian dia menghampiri Martin dan juga memberikan kopi yang ia buat. "Kenapa?" "Anak-ana
Di ruang tamu, Olin duduk dengan gelisah. Sesekali dia melirik jendela untuk melihat keadaan luar rumah. Suasana yang hening seolah mendukung ketegangan di hatinya. Olin ingin mengutuk dirinya sendiri yang terlalu gegabah. Sekarang dia menyesali keputusannya sendiri. Karena ingin membuktikan ucapan Fika, Olin nekat meminta gajinya di muka pada Tama. Pria itu terlihat ingin menolak jika tanpa tujuan yang jelas. Namun saat Olin mengatakan akan membayar hutang pada Gevan, Tama mengizinkannya. Benar bukan? Tama itu bos yang baik tapi tidak bisa menjadi pasangan yang baik. "Aduh, bego lo, Lin. Udah bener Om Gevan nggak dateng hari ini. Kenapa malah cari mati mancing-mancing dia?" Olin menggigit jarinya. Suara deru mobil terdengar. Olin langsung melihat jendela dan melihat mobil Gevan sudah berada di depan rumahnya. "Aduh, gimana ini? Apa pura-pura pingsan aja ya?" Olin mulai panik. "Olin!" Ketukan pintu mulai terdengar. Olin semakin panik mendengar nada suara Gevan yang k
Olin menunduk mendengarkan omelan yang Gevan berikan padanya. Wajah pria itu terlihat merah karena rasa kesal yang ia rasakan saat ini. Tangannya tidak berhenti mengelus sesuatu yang membuatnya meringis sedari tadi. Sepertinya Olin harus diberi arahan agar tidak langsung mengultimatum dirinya. "Maaf," ucap Olin untuk yang kesekian kalinya. "Seharusnya kamu hati-hati! Ini juga buat masa depan kamu." Gevan mendengkus kesal. "Ya lagian Om Gevan tadi mau ngapain? Kan saya reflek tendang Om Gevan." "Emang saya mau ngapain? Kadang otak kamu yang harus dibersihin." Olin menatap Gevan kesal. Dia berpikir seperti itu hanya saat berada di dekat Gevan. Pria itu selalu membawa aura negatif yang harus Olin waspadai sewaktu-waktu. Seperti tadi misalnya, tanpa aba-aba pria itu mendekat membuat Olin terkejut dan bergerak mundur. Namun Gevan tetap maju sehingga Olin tidak memiliki pilihan lain selain menendang benda berharga milik Gevan. Alhasil rencanya berhasil, Gevan menjauh dan merin
Memang tidak ada yang lebih menjengkelkan dari bertemu masa lalu di saat hidup baru yang menyenangkan telah muncul. Itu yang Gevan rasakan saat ini. Sejak makan malam tak terduga bersama Putri dan anaknya, akhirnya di sinilah mereka, berada di dalam mobil di mana Gevan dan Olin akan mengantarkan Putri dan anaknya, Dina pulang ke rumah. Sejak makan malam berlangsung, Gevan tidak bisa berhenti untuk menatap Olin. Dia khawatir jika wanita itu akan marah karena sebelumnya dengan jelas Olin menunjukkan jika dia cemburu pada Putri. Namun anehnya Gevan tidak melihat ada kilatan marah dari tatapan Olin. Bahkan dia terlihat santai bercanda bersama Dina. Sedikit mengabaikannya yang akhirnya terpaksa harus berbincang dengan Putri. Tidak ada percakapan di dalam mobil. Putri sendiri sibuk mengelus kepala Dina yang tegah tertidur. Sedangkan Olin memilih untuk bermain ponsel di sampingnya. Karena tidak menyukai keheningan yang ada, Gevan memutuskan untuk menarik tangan Olin. Wanita itu tam
Di depan sebuah rumah yang sederhana, Gevan tampak merapikan kemejanya. Dia berdiri di samping mobil untuk menunggu Olin siap. Seperti janjinya semalam, Gevan berniat untuk mengantar kekasihnya bekerja. Mungkin Gevan akan sering melakukannya mulai saat ini, karena melihat wajah manis Olin adalah salah satu hal yang ia sukai. Perubahan yang ada di diri Gevan terihat begitu jelas dan terjadi begitu cepat. Hanya butuh waktu beberapa bulan dia sudah mantap dengan keputusannya. Gevan sudah memiliki tujuan hidup sekarang, yaitu membahagiakan Olin. Jika diminta untuk menikah detik ini juga, maka Gevan akan siap sedia. Toh dia sudah siap segalanya. Hanya saja semua keputusan kembali di tangan Olin. Gevan tidak ingin memaksa wanita itu yang bisa membuatnya lari. Menjadi kekasih Olin saja sudah membuat Gevan senang setengah mati. Dia bangga bisa memenangkan hati keras Olin dan memilikinya. Setidaknya Gevan memiliki posisi tertinggi di hati Olin saat ini, mengingat jika wanita itu adalah