Sambil memainkan kunci mobil, Gevan berjalan santai menuju tempat parkir. Dia melirik jam tangannya sebentar dan tersenyum. Dia tidak sabar untuk bertemu kekasih hatinya. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah dan sekarang Gevan ingin bertemu lagi. "Gevan!" suara panggilan itu menghentikannya yang akan membuka pintu mobil. "Apa?" tanya Gevan pada Martin yang berlari ke arahnya. "Lo mau ke mana?" "Pulang." Martin berdecak, "Nongkrong lah bentar. Ayo." Dengan cepat Gevan menggeleng, "Nggak dulu hari ini." "Lo udah jarang kumpul sekarang." Mata Martin mulai menyipit, "Lo mau ketemu Olin ya?" Gevan menyeringai dan mengangguk senang, "Iya." "Jadi hubungan lo sama dia beneran serius?" "Gue nggak pernah main-main kalau udah komitmen, Tin." "Gue paham. Selamat berusaha kalau gitu. Titip salam sama Dedek Olin ya?" goda Martin. "Cuihh, nggak sudi." Saat akan kembali masuk ke dalam mobil, Martin kembali mencegahnya. "Apa lagi?" tanya Gevan jengah. "Gue
Suasana pagi yang seharusnya berjalan dengan baik dan menyenangkan mendadak berubah menjadi suram. Gevan menelan sarapannya dengan tidak napsu. Di tangannya terdapat sebuah undangan pernikahan yang masih ia lihat dengan tatapan aneh. Dia masih merasa asing dengan undangan pernikahan mengingat jika dia belum pernah memilikinya hingga saat ini. "Kenapa harus aku?" tanya Gevan untuk yang kesekian kalinya. Dia beralih pada ibunya yang tengah memotong buah melon menjadi potongan yang kecil. Wanita itu tampak santai, mengabaikan ekspresi kesal Gevan yang tidak ia tutupi. "Karena Mama nggak bisa." Gevan mendengkus mendengarnya. Jawaban yang sama lagi-lagi keluar. "Emang Mama kenapa nggak bisa? Om Burhan kan temen Mama, kenapa jadi aku yang dateng?" "Ih, Mama cape tau dateng terus ke nikahan Burhan. Udah tiga kali loh ini. Sekarang kamu aja yang wakilin Mama." Ibu Gevan tampak merengut kesal, "Awas aja kalau kamu nikah nanti amplop dari Burhan nggak tebel!" Gevan terbat
Suka karena terbiasa, mungkin itu yang Gevan alami saat ini. Pada awalnya dia memang memilih Olin untuk menjadi calon istrinya karena melihat bagaimana sederhana, polos, dan mandirinya wanita itu. Gevan memang menyukai wanita yang mandiri dan bebas, dalam kata lain mampu mengekspresikan dirinya sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, Gevan menemukan sisi lain dari diri Olin, yaitu kecantikannya. Umumnya orang akan jatuh cinta terlebih dahulu pada fisik, akan tetapi Gevan kebalikannya. Itu yang membuat Olin selalu menarik di matanya. Seperti saat ini, dengan mengenakan dress selutut berwarna peach, Olin keluar dari rumah dengan langkah anggun. Rambut yang selalu diikat kali ini teruai bebas dengan sedikit gelombang di bagian bawah. "Dia dandan," gumam Gevan senang dari dalam mobil. Dia tersenyum saat Olin benar-benar sudah masuk ke dalam mobil. Gevan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Senyumnya semakin lebar saat sadar jika Olin menghindari tatapannya. "Olin," pangg
Banyak orang yang bertanya-tanya mengenai kehidupan asmara Olin. Tidak ada yang percaya jika dia tidak pernah dekat dengan pria manapun. Entah karena memang tidak ada yang mau atau berpikir jika Olin sudah memiliki kekasih. Namun saat Gevan datang, semua orang mulai berpikir jika Olin memang sudah memiliki kekasih. Hanya saja wanita itu merahasiakannya mengingat jika Gevan adalah sepupu Tama, atasannya di kafe. Tidak mungkin jika wanita seperti Olin tidak memiliki pujaan hati. Dia terlalu cantik dan manis untuk sendiri. Bahkan banyak pria yang kurang percaya diri saat mendekatinya. "Hp kamu bunyi terus, Lin," ucap Okta membuyarkan lamunan Olin. Olin tersadar dan berhenti mengelap meja. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Melihat nama Gevan, dia berdecak dan mengabaikannya. "Ngapain telepon? Kirain udah lupa ingatan," cibir Olin kembali mengelap meja dengan kasar. Olin memang kesal dengan Gevan. Entah ke mana perginya pria itu karena sudah satu
Olin masih terdiam dengan pandangan tidak percaya. Dia pikir Gevan hanya bercanda, tapi ternyata pria itu benar-benar serius dengan ucapannya. "Om, mending saya balik kerja deh." "Loh, kenapa?" "Ya masa ke apartemen beneran?" Olin berdecak dengan kesal. Bayangan akan kasur empuknya di rumah sudah membuatnya ingin segera tidur dan beristirahat. Namun semua itu sirna karena Gaven yang benar-benar menculiknya ke apartemen. "Ayo, turun!" "Nggak mau ih." "Kamu takut?" Gevan menyeringai. Olin menggenggam erat sabuk pengaman, "Ya gimana nggak takut? Om Gevan kan mesum!" Gevan berdecak mendengar itu, "Sudah saya bilang jangan takut sama saya. Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Orang kamu sakit gini masa saya apa-apain. Mana tega?" "Om!" "Bercanda, Sayang." Gevan tersenyum manis, "Ayo, turun!" ucapnya lagi yang langsung keluar dari mobil. Mau tidak mau Olin menurut. Tubuhnya benar-benar lemas dan butuh untuk istirahat. Jangan pernah berpikir jika dia adalah
Menjelang sore, Olin terbangun dari tidurnya. Kali ini tidurnya benar-benar pulas dan membuat badannya menjadi sedikit lebih ringan. Rasa berat di kepalanya juga perlahan mulai menghilang. Mungkin karena efek obat yang diberikan Gevan cukup berpengaruh pada tubuhnya. Olin mengikat rambutnya asal dan berjalan keluar kamar. Dari jauh dia bisa mendengar suara televisi yang menyala. Dia berjalan ke arah suara dan melihat Gevan yang tengah tertidur dengan lengan yang menutupi wajahnya. Olin tersenyum tipis melihat itu. Perlahan dia mendekat dan mematikan televisi. Setelah itu dia duduk di samping sofa agar bisa melihat wajah Gevan dengan leluasa. Olin menopang wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan senyum tipis mulai muncul di wajahnya. Tangannya terulur untuk menyentuh dagu Gevan. Hanya sebentar karena setelah itu Olin terkejut karena Gevan yang mendadak bangun. Olin mundur dan secara tidak sengaja punggungnya menghantam meja. "Aduh!" ringisnya. Gevan terkejut dan bangun dar
Ada hal yang mengganggu Olin saat ini. Bukan tentang Gevan, melainkan dirinya sendiri. Dia benci saat sadar jika ada sesuatu yang mengusik hatinya. Olin ingin mengelak, tetapi sekain keras dia mencoba maka semakin jelas jika rasa itu memang ada. Dia cemburu. Setelah acara makan siang yang berubah menjadi ajang reuni itu, akhirnya Gevan dan Olin pulang. Kali ini bukan apartemen tujuan Gevan, melainkan rumahnya sendiri. Dia mengabaikan permintaan Olin yang ingin pulang ke rumahnya sendiri. Gevan tidak akan mengizinkannya sampai kesehatan wanita itu benar-benar pulih. "Kenapa, hm?" tanya Gevan mengelus kepala Olin sebentar dan kembali fokus pada jalanan. "Saya mau pulang." "Kita pulang kok...," Gevan melirik Olin dengan jahil, "Ke rumah saya." Olin mendengkus dan semakin beringsut menjauh hingga menyentuh pintu mobil. Dia menatap jendela dengan hati yang dongkol. Dia masih kesal dengan Gevan dan pria itu menambah kekesalannya dengan tidak menuruti keinginannya. Demi
Memasuki ruang istirahat para dokter, Gevan mulai melepaskan snelli-nya. Jam kerjanya baru saja berakhir dan dia berniat untuk bersantai sebentar sebelum pulang. Gevan memilih untuk duduk di sofa sambil merenggangkan punggungnya. Dia baru saja selesai mengoperasi pasien sekama empat jam. Oleh karena itu dia butuh kopi untuk merilekskan diri. "Mau saya buatin kopi, Dok?" tanya Eca, kekasih Martin yang baru saja masuk. Gevan membuka matanya dan mengangguk pelan, "Boleh." Kepala Gevan mengedar ke segala arah, "Di mana Martin? Jam praktek udah selesai kan?" Eca menunjuk ujung ruangan dengan dagunya. Di sana Gevan melihat Martin yang tengah berbaring di sofa sambil mengangkat tangan kanannya. "Gue di sini," lanjut Martin sambil membuka snelli yang sedari tadi menutupi wajahnya agar bisa tidur dengan nyaman. "Dokter Gevan langsung pulang?" tanya Eca meletakkan satu cangkir kopi. Kemudian dia menghampiri Martin dan juga memberikan kopi yang ia buat. "Kenapa?" "Anak-ana