Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?
Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te
Di kafe yang cukup ramai itu, terlihat semua pegawai tampak bekerja dengan keras. Entah kenapa sore ini pengunjung menjadi berkali-kali lipat banyaknya. Bahkan tidak ada waktu bagi Olin untuk bersandar sebentar. Kakinya dengan aktif berjalan ke sana ke mari untuk mencatat dan mengantar pesanan. Meskipun lelah, tapi Olin juga senang. Jika kafe ramai maka sudah dipastikan Tama akan memberikan bonus di akhir bulan. Meskipun Tama adalah tipe atasan yang acuh tak acuh tapi dia selalu peduli dengan para pegawainya. Olin adalah contohnya, tak jarang Tama memberikan gaji di awal bulan untuk Olin untuk membayar hutang-hutangnya terlebih dulu. Oleh karena itu Olin membalasnya dengan cara bekerja dengan keras dan serius. Suara lonceng pintu kafe yang berbunyi menandakan jika ada pengunjung yang datang. "Selamat datang," ucap Olin yang kebetulan berdiri di dekat pintu masuk. Senyum Olin luntur saat melihat siapa yang datang. Perlahan dia menghela napas pelan dan kembali tersenyum mas
Tepat pukul 11 malam, Olin masih duduk di ruang tamu kontrakannya dengan kaki yang bergoyang gelisah. Sudah tiga jam dia duduk di sana menanti kedatangan seseorang. Sesekali dia melirik jendela di belakangnya saat mendengar suara kendaraan. Namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Benar, Olin memang sedang menunggu Gevan. Berkali-kali dia mencoba untuk mengelak, tapi kenyataannya dia memang menunggu kedatangan pria itu. Olin membenci dirinya sendiri tapi dia juga tidak bisa menahannya. Apa yang ia lakukan saat ini murni karena dorongan hati. "Apa Om Gevan lupa ya?" gumam Olin kembali menggerakkan kakinya gelisah. "Apa udah tidur di rumah? Atau jangan-jangan lagi di hotel sama cewek lain?" Olin dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Om Gevan sendiri yang bilang kalau mau tobat." Olin kembali melirik jendela, "Tapi kan tobatnya kalau gue mau dinikahin?" Perasaan gelisah itu membuat Olin mengacak rambutnya frustrasi. Dia ingin sekali bersikap tak a
Di sebuah supermarket yang cukup besar, Gevan mendorong troli belanjanya sambil memainkan ponsel. Di depannya Olin tampak berjalan santai sambil melihat ke sekelilingnya. Beruntung jadwal Gevan masih dua jam lagi, sehingga dia bisa menemani Olin untuk mengisi kebutuhan dapurnya terlebih dahulu. Hitung-hitung dia ingin berterima kasih pada wanita itu karena sudah membuat tidurnya nyenyak semalam. Gevan masih fokus pada ponselnya karena menerima pesan menggelikan dari ibunya. Pasti wanita itu mencarinya semalam karena tidak pulang ke rumah. Hal itu sedikit mengganggu Gevan yang sudah dewasa, akan tetapi dia kembali teringat jika ibunya hanya memiliki dirinya di dunia ini. Tentu wanita itu sangat khawatir. "Kamu di mana, Van? Jangan sampe Mama obrak-abrik semua hotel buat cari kamu. Kalau udah ketemu, Mama bakal potong titit kamu!" Lagi-lagi Gevan tertawa membaca pesan ibunya. Kadang wanita itu berkata dan bertingkah sesuka hati. "Lagi sama Ayang, Ma. Jangan khawatir." Ge
Menikati hari liburnya, Olin memilih untuk berjalan-jalan. Dia tidak bisa jika terus berada di rumah tanpa melakukan apapun. Oleh karena itu dia memutuskan untuk pergi dengan menggunakan motornya. Dia hanya sendiri karena Gevan harus kembali ke rumah sakit setelah mengantarnya berbelanja. Sedikit demi sedikit Olin tahu betapa sibuknya pria itu. Saat di lampu merah, mata Olin mengedar ke segala arah. Dia menyipit agar bisa melihat dengan jelas dan juga untuk menghalau sinar matahari. Dia sedang mencari seseorang saat ini, seorang anak yang sudah lama tidak ia temui. Alif, bagaimana kabar anak itu? "Apa beneran Alif pindah lapak ya? Gara-gara si gerandong pasti ini," rutuk Olin. Meskipun tidak bertemu dengan Alif tapi dia tetap berusaha mencarinya. Olin berkeliling di setiap lampu merah sekitar kafe. Olin yakin jika Alif tidak akan pindah terlalu jauh karena anak itu berjalan kaki dari rumahnya. "Kak, korannya, Kak?" Olin menoleh saat mendengar suara yang tak asing.
Sambil memainkan kunci mobil, Gevan berjalan santai menuju tempat parkir. Dia melirik jam tangannya sebentar dan tersenyum. Dia tidak sabar untuk bertemu kekasih hatinya. Padahal baru tadi pagi mereka berpisah dan sekarang Gevan ingin bertemu lagi. "Gevan!" suara panggilan itu menghentikannya yang akan membuka pintu mobil. "Apa?" tanya Gevan pada Martin yang berlari ke arahnya. "Lo mau ke mana?" "Pulang." Martin berdecak, "Nongkrong lah bentar. Ayo." Dengan cepat Gevan menggeleng, "Nggak dulu hari ini." "Lo udah jarang kumpul sekarang." Mata Martin mulai menyipit, "Lo mau ketemu Olin ya?" Gevan menyeringai dan mengangguk senang, "Iya." "Jadi hubungan lo sama dia beneran serius?" "Gue nggak pernah main-main kalau udah komitmen, Tin." "Gue paham. Selamat berusaha kalau gitu. Titip salam sama Dedek Olin ya?" goda Martin. "Cuihh, nggak sudi." Saat akan kembali masuk ke dalam mobil, Martin kembali mencegahnya. "Apa lagi?" tanya Gevan jengah. "Gue