Beranda / Romansa / My Sugar Candy / 4. Mulai Tertarik

Share

4. Mulai Tertarik

Penulis: Viallynn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Getaran pada sebuah ponsel membuat tidur Gevan terganggu. Dengan mata yang setengah terpejam, dia mulai mematikan alarm di ponselnya. Gevan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar bangun dari tidurnya. Dia baru sadar jika masih berada di rumah sakit saat ini.

Perlahan dia bangkit untuk melihat kondisi Alif. Anak itu masih tertidur pulas. Beruntung wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. Ingatkan Gevan untuk membeli beberapa vitamin untuk Alif.

Pandangannya mulai beralih pada wanita yang tertidur di samping ranjang. Gevan tersenyum miring saat melihat Olin yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala yang bersandar pada ranjang. Jujur saja Gevan sedikit kagum pada Olin yang begitu memperhatikan Alif. Tidak adanya hubungan darah di antara mereka tidak membuat Olin bersikap berbeda. Gevan bisa melihat jika wanita itu tulus menyayangi Alif.

"Heh, bangun." Gevan menepuk pipi Olin pelan. Mereka harus segera pulang sekarang.

Olin membuka matanya dan menatap Gevan terkejut. Namun satu detik kemudian dia tersadar dan mengusap wajahnya kasar.

"Maaf, Om. Harusnya saya yang bangunin."

Gevan menggeleng pelan, "Ayo, kita harus anter Alif pulang."

***

Gevan menatap dua orang di depannya dengan tidak percaya. Sekarang dia tahu kenapa Olin memilih untuk menghindar. Ternyata orang tua Alif benar-benar menyeramkan. Bahkan Olin memilih untuk bersembunyi di balik punggungnya sedari tadi. Gevan bisa merasakan remasan tangan Olin pada kemejanya.

"Udah deh, Mas. Alif kan udah pulang, ya udah. Apa lagi?"

"Saya cuma mau kalian lebih perhatian sama kesehatan Alif. Jangan terlalu—"

"Iya, makasih sarannya."

"Saya serius, Buk." Gevan mencoba untuk sabar. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini.

"Aduh, kayak dokter aja deh. Saya perhatiin kesehatan Alif kok."

"Saya memang dokter," jawab Gevan dengan wajah datar.

Olin terkejut mendengar itu. Dari belakang dia mengangguk mengerti. Sekarang dia tahu kenapa Gevan sangat mempedulikan kesehatan Alif dengan memberikan banyak vitamin.

"Sekali lagi saya tegaskan, Buk. Apa yang Ibu lakukan itu termasuk eksploitasi anak. Kalau saya liat Alif dengan konsidi seperti kemarin lagi, saya bisa laporin Ibuk ke polisi."

Gevan berdiri dan menarik lengan Olin untuk mengikutinya. Saat mendengar ancaman Gevan, Ibu Alif mulai terdiam, tidak lagi membantah.

"Kalau begitu kami permisi."

"Inget, Buk. Hati-hati dilaporin loh," ucap Olin masih berada di belakang Gevan.

"Kamu!" Olin dengan cepat berlari keluar rumah terlebih dahlu. Dia bergidik ngeri melihat Ibu Alif yang selalu menganggapnya sebagai musuh.

"Ayo," ucap Gevan menghampiri Olin.

"Ke mana, Om?" tanya Olin bingung.

"Kamu mau ke mana?"

"Kerja."

"Ke kafe kan? Ayo, saya anter."

Olin dengan cepat menggeleng, "Nggak usah, Om. Saya berangkat sendiri aja." Selain tidak enak hati, Olin juga takut jika Tama melihatnya datang bersama sepupunya itu.

"Kebetulan saya juga mau ke kafe. Sekalian aja."

Olin menggaruk lehernya pelan. Meskipun ragu tapi dia mengangguk dan mulai masuk ke dalam mobil.

"Makasih ya, Om."

"Untuk?" Gevan mulai menjalankan mobilnya.

"Karena udah bantu Alif."

"Itu bentuk tanggung jawab saya karena nggak sengaja tabrak dia semalam."

"Tapi luka tabraknya nggak separah kondisi kesehatan Alif, Om."

Gevan berdecak mendengar panggilan Olin. Jujur saja telinganya risih karena wanita itu selalu memanggilnya dengan panggilan 'Om' sejak kemarin.

"Bisa kamu nggak panggil saya 'Om'?"

Dahi Olin berkerut, "Emang Om Gevan umur berapa?"

Gevan berdeham mendengar itu. Jujur saja dia tidak percaya diri untuk menyebutkan umurnya.

"Tiga puluh sembilan."

"Ya bener dong kalau saya panggil Om, kan saya masih 25." Olin menatap Gevan aneh.

"Tapi kamu panggil Tama pake 'Mas'."

"Kan Mas Tama masih 35, nggak salah dong?"

"Terserah." Gevan memilih untuk menyerah. Pada kenyataannya dia memang sudah tua. Percuma saja jika mengelak.

Jarak ke kafe tidak begitu jauh. Mereka turun saat sudah sampai di tempat parkir. Olin berjalan terlebih dahulu dengan was-was. Dia tahu jika Tama pasti datang lebih dulu dibanding dirinya. Seharusnya hari ini adalah jadwal Olin untuk membuka kafe, tapi karena semalam Tama yang membawa kunci jadi pria itu yang datang lebih awal.

"Kok sepi?" gumam Olin saat melihat keadaan kafe. Seharusnya Tama sudah datang karena pintu kafe yang tidak terkunci.

"Mas Tama? Mas Tama dim—" Olin menghentikan ucapannya saat melihat pemandangan mengejutkan di depannya. Bibirnya terbuka lebar saat melihat Tama dan Fika yang tengah berciuman di ruang loker karyawan.

"Olin, di man—a Tama?" Gevan datang dan memelankan kalimatnya di bagian akhir saat melihat aksi Tama.

Melihat Olin yang masih berdiri kaku, dengan cepat Gevan menutup mata wanita itu dengan tangannya. Perlahan dia menarik Olin untuk keluar dari ruang loker.

"Kamu kenapa?" tanya Gevan geli. Saat ini mereka sudah berada di dapur.

"Mataku!" Olin tersadar dan mengusap matanya berkali-kali. Dia bergidik ngeri saat mengingat pemandangan tak senonoh itu.

Gevan terkekeh melihat Olin. Apa wanita di depannya sepolos itu? Seharusnya usia 25 tahun tidak lagi asing dengan hal seperti itu.

"Kok Om Gevan santai banget sih?" Olin mengusap wajahnya yang memerah. Entah kenapa dia malu sendiri melihat aksi Tama dan Fika.

"Emang saya harus ngapain? Mereka kan cuma ciuman."

Olin menatap Gevan tidak percaya. Mata dan bibirnya kompak membulat karena rasa terkejut. Sepertinya Gevan dan Tama tidak jauh berbeda. Tentu saja! Mereka adalah saudara.

"Udah, nggak usah dipikirin lagi. Kamu bisa masak?" tanya Gevan mulai menarik sebuah kursi.

"Kenapa?"

"Bikinin saya sarapan."

Olin menatap dapur dengan kening yang berkerut. Dia memang bisa memasak, tapi hanya untuk masakan yang sederhana. Dia hanya seorang pramusaji di kafe ini dan bukan seorang koki. Lagi pula Olin juga tidak bisa menolak permintaan Gevan. Selain karena pria itu adalah sepupu atasannya, dia juga sudah menolong Alif. Olin akan semakin tidak enak jika menolak permintaan pria itu.

"Omlete?" tanya Olin ragu.

"Nggak masalah."

Olin mengangguk dan mulai berkutat dengan bahan makanan yang memang telah tersedia di dapur. Sebenarnya dia harus mulai mengecek persediaan bahan makanan. Namun lagi-lagi dia tidak bisa mengabaikan permintaan Gevan.

Gevan duduk sambil bertopang dagu. Matanya menatap lekat Olin yang tengah memasak. Entah kenapa saat melihat wanita itu memasak, terjadi sesuatu yang aneh di diri Gevan. Perlahan dia tersenyum saat mengingat aksi Olin yang memukulnya dengan sapu semalam.

"Semoga enak." Olin meletakkan sebuah piring di depan Gevan.

"Kamu nggak sarapan?"

Olin dengan cepat menggeleng dan berlalu mengambil bawang merah dan bawang putih yang harus dia kupas. Ada masing-masing dua kantong plastik berukuran besar.

"Saya harus kerja." Olin tersenyum sambil meletakkan bawang-bawang itu di atas meja. Dia menarik kursi dan mulai duduk di depan Gevan.

Melihat itu, Gevan kembali tersenyum tipis. Dia menarik piringnya mendekat dan mulai makan. Tatapannya masih tertuju pada Olin yang tengah fokus bekerja.

"Buka mulut kamu."

"Ha?" Olin tampak bingung.

"Buka."

Olin membuka mulutnya dengan bingung. Namun kebingungannya langsung hilang saat Gevan menyuapinya dengan sepotong omlete.

"Sa—saya bisa sarapan nanti, Om." Olin menunduk dengan gugup.

"Mulut kamu bilang nanti, tapi perut kamu teriak sekarang."

Reflek Olin menyentuh perutnya. Dia tersenyum canggung saat mendengar suara perutnya yang berbunyi. Benar-benar memalukan.

"Buka mulut kamu," ucap Gevan lagi.

Olin menggeleng, "Saya bisa makan sendiri."

Gevan mencegah Olin yang ingin mengambil sendoknya, "Biar saya suapin. Kamu lanjutin kupas bawangnya."

"Nggak enak kalau diliat orang, Om."

Kening Gevan berkerut, "Siapa yang liat? Tama? Bahkan kamu liat yang lebih parah tadi."

"Aduh jangan diingetin." Olin memejamkan mata dan menutup telinganya rapat.

Lagi-lagi Gevan terkekeh melihat itu. Dia tidak menyangka jika Olin akan sepolos ini.

"Buka mulut kamu."

Dengan pasrah Olin mulai membuka mulutnya kembali. Satu piring omlete perlahan habis masuk ke perut mereka. Entah kenapa Gevan tidak merasa canggung sama sekali padahal mereka baru saja bertemu kemarin. Dia merasa ada sesuatu di diri Olin yang membuatnya nyaman.

Menarik.

***

TBC

Bab terkait

  • My Sugar Candy   5. Wanita Lucu

    Di sebuah kamar, tampak seorang pria yang terlihat pasrah dengan apa yang ia alami. Tanpa membantah Gevan membiarkan ibunya menyemprotkan parfum di tubuhnya. Jika tidak mengingat jika wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya, sudah dipastikan jika Gevan akan melarikan diri. "Ma, cukup." Gevan mengambil botol parfum dari tangan ibunya. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kencan sama Tasya malam ini harus berhasil." "Habis sama Tasya sama siapa lagi?" tanya Gevan sarkasme. "Ada Anggun." "Ma!" Gevan menatap ibunya tidak percaya, "Mama nggak capek?" Dengan kesal wanita itu menarik telinga Gevan, "Seharusnya Mama yang tanya. Kamu nggak capek sendiri terus? Kamu nggak iri liat temen-temen kamu udah pada gendong anak?" "Ya kan jalan hidup orang beda-beda, Ma. Nggak bisa disamain." "Masih bantah Mama kamu? Kamu itu udah umur 39, Gevan!" "Kan belum 40." "Gevan!" Gevan berdecak, "Iya, tapi aku bisa cari sendiri. Mama nggak perlu jodoh-jodohin. Terbukti kalau semu

  • My Sugar Candy   6. Rasa Stroberi

    Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu. "Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stro

  • My Sugar Candy   7. Kanjeng Ratu

    Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan

  • My Sugar Candy   8. Sosok Ibu

    Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari

  • My Sugar Candy   9. Ajakan Mendadak

    Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja

  • My Sugar Candy   10. Terus Berusaha

    Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?

  • My Sugar Candy   11. Bibir Semanis Madu

    Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge

  • My Sugar Candy   12. Pisang Tanduk

    Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te

Bab terbaru

  • My Sugar Candy   Bonus Ekstra Chapter 3: Kejutan Bidadari Prakarsa

    Di kantin sekolah, Lana mengaduk makanannya dengan tidak nafsu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tetapi rasa bahagia itu tidak ia rasakan. Keluarganya memang telah mengucapkan selamat ulang tahun semalam di jam 12 malam, tetapi tetap saja permintaan Lana akan pesta ulang tahun tidak terkabul. Kenapa sulit sekali untuk meyakinkan orang tuanya? Bahkan Alif juga tidak bisa meyakinkan ibunya. "Diaduk mulu sotonya, ntar pusing," tegur Sheila. Lana membanting sendoknya dengan wajah yang kesal. Bibirnya sudah melengkung ke bawah ingin menangis. "Kan, nangis lagi," ucap Sheila jengah. "Lo kok nggak bantuin gue sih? Tenangin gue kek? Galau nih!" Sheila menggaruk lehernya bingung, "Ya gimana, Lan? Lo mau gue ikut yakinin orang tua lo?" "Iya! Kan lo bisa minta bantuan Om Tama buat yakinin Papa gue." "Iya, deh. Ntar gue bilangin Papa gue buat yakinin Om Gevan." "Telat!" Sheila mendengkus. Lagi-lagi dia salah. Memang sulit menghadapi bidadari keluarga Prakarsa itu. "Ciyee

  • My Sugar Candy   Bonus Ekstra Chapter 2 : Bidadari Prakarsa

    Malam minggu tidak menjadi malam yang spesial untuk anak-anak Gevan dan Olin. Mereka semua berada di rumah dengan tugas di mana Arkan, Ardan, dan Lana harus menjaga Zaine. Terlihat aneh memang di usia mereka yang sudah remaja, tiba-tiba ibunya hamil dan melahirkan Zaine. Kebobolan, itu yang sering neneknya ucapkan. Namun kehadiran Zaine memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Bocah kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Zaine udah tidur?" tanya Arkan saat Lana datang dengan satu toples makanan ringan dan duduk di tengah-tengah kedua kakak kembarnya. "Udah." Saat ini mereka berada di ruang tengah, menonton film horor di tengah malam. Bukan bermaksud uji nyali karena baik Arkan dan Ardan tidak menunjukkan ekspresi lain selain datar. Kadang Lana merasa heran, bagaimana bisa dia memiliki dua kakak laki-laki yang sikapnya sedingin es? Selain dingin, mereka juga menyebalkan. Apalagi jika sudah bersatu untuk mengerjainya. "Kak?" panggil Lana. "Hm?" jawab Arkan dan Arda

  • My Sugar Candy   Bonus Ekstra Chapter 1 : Pasukan Prakarsa

    Suara berisik dari dalam dapur terdengar ke seluruh area rumah. Dari jauh, terlihat seorang bocah laki-laki yang tengah bermain dengan adonan tepung di island table. Tinggi badan yang tidak seberapa membuatnya harus menggunakan kursi kecil untuk bisa mencapai meja. Jari-jari kecilnya masih fokus bermain dengan bibir yang maju. Begitu lucu karena umurnya juga baru menginjak lima tahun. Ting! Bunyi oven yang terdengar membuat kegiatan Olin terhenti. Dia melihat anaknya sebentar sebelum beralih ke oven. Senyumnya mengembang melihat kue buatannya yang berhasil ia buat. "Udah mateng, Ma?" tanya Zaine mulai tertarik. Wajahnya sangat lucu dengan pipi bulat yang dipenuhi tepung. "Udah, dong. Tinggal dihias aja." Olin membawa kuenya ke hadapan Zaine. Zaine bertepuk tangan senang. Dia tidak sabar mencicipi kue buatan ibunya. "Zaine mau coba." Dengan lancarnya tangan Zaine bergerak menyentuh kue yang masih panas itu. Beruntung dengan cepat Olin menahannya, "Masih panas. Kita hias

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 7: Bahagia Bersama

    Kehidupan Olin benar-benar berubah setelah menikah. Dia menjadi wanita yang paling bahagia. Meskipun tidak selamanya pernikahan itu indah karena ada saat di mana dia harus beradu mulut dengan Gevan, tetapi semuanya kembali membaik karena mereka sama-sama tidak egois. Seperti pesan ibu mertuanya dulu, komunikasi adalah hal yang terpenting dalam suatu hubungan. Tiga bulan menikah telah memberikan banyak pelajaran yang berharga untuk Olin, bukan hanya Olin melainkan juga Gevan. Meskipun sifat jahilnya masih ada, tetapi pria itu benar-benar bertanggung jawab sebagai suami. "Om Gevan nggak ke sini, Kak?" tanya Alif sambil memakan kentang gorengnya. "Kan Om Gevan kerja, Lif." "Nanti kalau udah besar aku mau jadi dokter juga kayak Om Gevan." Olin tersenyum dan mengelus kepala Alif sayang, "Belajar yang pinter ya." Saat ini Olin tengah berada di kafe Tama bersama Alif. Kali ini dia tidak membawa Alif secara diam-diam. Ada alasan kenapa Olin jarang bertemu Alif akhir-akhir ini,

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 6: Pasutri Gemas

    Satu bulan telah berlalu. Baik Gevan dan Olin sudah kembali ke rutinitas seperti biasanya. Bedanya, kali ini Olin sudah tidak lagi bekerja. Meskipun berat, tetapi ia melakukannya juga untuk Gevan. Olin tahu jika suaminya itu ingin dirinya berada di rumah. Namun Olin tetaplah Olin, dia tidak bisa berdiam diri terlalu lama. Sudah tiga minggu ini Olin mengikuti kursus untuk mengisi waktu yang kosong. Kursus membuat permen dan kue adalah pilihannya. Gevan juga mendukung kegiatannya selama itu positif. Itu yang Gevan inginkan dari dulu, yaitu Olin yang menikmati hidupnya. Saat ini Olin tengah sibuk di dapur. Tempat ini adalah tempat favoritnya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Olin merasa menjadi ibu rumah tangga yang seutuhnya. "Olin, Sayang!" Suara melengking itu membuat Olin menghentikan kegiatannya. Tak lama muncul ibu mertuanya dengan banyak belanjaan yang ia bawa. "Loh, Mama dianter siapa?" tanya Olin mencuci tangannya dan bergegas menghampiri mertuanya. "Sama abang ojol

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 5: Bulan Madu

    Suara ombak pantai yang beradu dengan batu karang tidak membuat tidur Gevan terganggu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Olin dengan nyaman. Cahaya matahari yang masuk dari cela-cela jendela juga tidak membuat mereka terbangun. Ini karena mereka kelelahan. Semalam, Olin dan Gevan baru sampai di villa dan langsung terlelap karena perjalanan yang menguras tenaga. Sebenarnya perjalanan tidak begitu lama, hanya saja akhir-akhir ini mereka memiliki jadwal yang padat setelah resepsi sehingga tenaga mereka sudah berkurang. Saat ini, Gevan dan Olin sudah berada di Bali. Tujuan awal bulan madu mereka sebenarnya bukan di tempat ini. Karena keterbatasan waktu, mereka memilih untuk ke tempat yang lebih dekat, akan tetapi Om Burhan tiba-tiba berkata jika ia sudah menyiapkan Gevan dan Olin Villa di Bali untuk bersenang-senang. Akhirnya mereka pun terbang ke Bali. Elusan lembut di kepala mulai membangunkan tidur Gevan. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Setela

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 4: Resepsi Pernikahan

    Hari resepsi pernikahan telah tiba. Suasana di dalam gedung acara sudah sangat ramai. Tak heran karena memang banyak tamu undangan yang datang, terutama dari pihak Gevan dan ibunya. Sedangkan Olin? Dia hanya mengundang teman-teman sekolahnya dulu yang juga mengundangnya ke acara pernikahan mereka. Olin bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti Gevan. "Akhirnya!" Suara menggelegar itu membuat Gevan dan Olin menoleh. Om Burhan, pria paruh baya itu datang bersama istrinya. Olin masih ingat saat datang ke pernikahan pria itu dulu bersama Gevan. "Om seneng banget pas dapet undangan dari kalian." Om Burhan memeluk Gevan erat. Pria itu memang sudah menganggap Gevan sebagai anaknya. "Selamat ya," ucap Istri Om Burhan. "Terima kasih, Tante." Olin tersenyum manis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya Olin mengeluarkan senyuman yang begitu lepas dan tulus. Tidak ada lagi benteng pertahanan yang ia buat. Olin bahagia karena akhirnya bisa berada di titik ini bersama

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 3: Kencan Halal

    Menjelang resepsi pernikahan, semua orang terlihat sangat sibuk. Undangan sudah mulai disebar dan tentunya itu menimbulkan banyak keterkejutan dari banyak pihak. Akhirnya seorang Gevan Prakarsa melepas masa lajangnya. Itu juga membuat banyak hati wanita —yang pernah berkencan dengan Gevan— patah hati. Terutama anak dari teman-teman Ibu Gevan yang sempat melakukan pendekatan tetapi berakhir mengecewakan. "Gue terharu," ucap Fika menatap undangan di tangannya dengan wajah ingin menangis, "Lo beneran udah nikah." Olin terkekeh melihat itu. Jangankan Fika, dirinya sendiri juga tidak percaya. Semua terjadi begitu cepat, bahkan Olin tidak tahu betapa repotnya Gevan menyiapkan acara akad nikah secara mendadak di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter. Hingga saat ini, Olin masih mengapresiasi dan memuji apa yang Gevan lakukan. Semua itu rela ia dilakukan agar bisa mengikatnya. Itu yang Olin dengar dari mulut Gevan di malam pertama mereka. Pria itu tidak mau dirinya lari lagi.

  • My Sugar Candy   Ekstra Chapter 2: Rumah Baru

    Olin tidak akan menyangka jika kehidupannya setelah menikah akan banyak yang berubah. Beruntung perubahan itu membuatnya nyaman. Seperti saat ini, hari ini adalah tepat hari kedua ia tinggal di rumah Gevan—lebih tepatnya Ibu Gevan. Awalnya Olin kira kehidupannya akan berjalan canggung, tetapi ternyata tidak. Olin terharu saat melihat Ibu Gevan benar-benar menerimanya di rumah ini. Bahkan saat Gevan bekerja pun, Olin tidak merasa terasingkan. "Ini semua Mama yang tanem?" tanya Olin melihat kumpulan bunga di dalam pot. Saat ini mereka berada di halaman rumah. Setelah pulang dari bekerja, Olin melihat Ibu Gevan tengah menyiram tanaman. "Enggak, Mama nggak suka bunga," ucapnya terkekeh, "Tapi Papa mertua kamu suka." Olin mendekat dan mengelus bahu mertuanya, mencoba memberikan ketenangan agar suasana tidak berubah sedih. "Gimana persiapan resepsi, udah semua?" Olin mengangguk, "Udah kok, Ma. Tinggal sebar undangan aja h-7 nanti." "Bagus, Mama dapet 300 undangan kan? Temen

DMCA.com Protection Status