Getaran pada sebuah ponsel membuat tidur Gevan terganggu. Dengan mata yang setengah terpejam, dia mulai mematikan alarm di ponselnya. Gevan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar bangun dari tidurnya. Dia baru sadar jika masih berada di rumah sakit saat ini.
Perlahan dia bangkit untuk melihat kondisi Alif. Anak itu masih tertidur pulas. Beruntung wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. Ingatkan Gevan untuk membeli beberapa vitamin untuk Alif. Pandangannya mulai beralih pada wanita yang tertidur di samping ranjang. Gevan tersenyum miring saat melihat Olin yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala yang bersandar pada ranjang. Jujur saja Gevan sedikit kagum pada Olin yang begitu memperhatikan Alif. Tidak adanya hubungan darah di antara mereka tidak membuat Olin bersikap berbeda. Gevan bisa melihat jika wanita itu tulus menyayangi Alif. "Heh, bangun." Gevan menepuk pipi Olin pelan. Mereka harus segera pulang sekarang. Olin membuka matanya dan menatap Gevan terkejut. Namun satu detik kemudian dia tersadar dan mengusap wajahnya kasar. "Maaf, Om. Harusnya saya yang bangunin." Gevan menggeleng pelan, "Ayo, kita harus anter Alif pulang." *** Gevan menatap dua orang di depannya dengan tidak percaya. Sekarang dia tahu kenapa Olin memilih untuk menghindar. Ternyata orang tua Alif benar-benar menyeramkan. Bahkan Olin memilih untuk bersembunyi di balik punggungnya sedari tadi. Gevan bisa merasakan remasan tangan Olin pada kemejanya. "Udah deh, Mas. Alif kan udah pulang, ya udah. Apa lagi?" "Saya cuma mau kalian lebih perhatian sama kesehatan Alif. Jangan terlalu—" "Iya, makasih sarannya." "Saya serius, Buk." Gevan mencoba untuk sabar. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini. "Aduh, kayak dokter aja deh. Saya perhatiin kesehatan Alif kok." "Saya memang dokter," jawab Gevan dengan wajah datar. Olin terkejut mendengar itu. Dari belakang dia mengangguk mengerti. Sekarang dia tahu kenapa Gevan sangat mempedulikan kesehatan Alif dengan memberikan banyak vitamin. "Sekali lagi saya tegaskan, Buk. Apa yang Ibu lakukan itu termasuk eksploitasi anak. Kalau saya liat Alif dengan konsidi seperti kemarin lagi, saya bisa laporin Ibuk ke polisi." Gevan berdiri dan menarik lengan Olin untuk mengikutinya. Saat mendengar ancaman Gevan, Ibu Alif mulai terdiam, tidak lagi membantah. "Kalau begitu kami permisi." "Inget, Buk. Hati-hati dilaporin loh," ucap Olin masih berada di belakang Gevan. "Kamu!" Olin dengan cepat berlari keluar rumah terlebih dahlu. Dia bergidik ngeri melihat Ibu Alif yang selalu menganggapnya sebagai musuh. "Ayo," ucap Gevan menghampiri Olin. "Ke mana, Om?" tanya Olin bingung. "Kamu mau ke mana?" "Kerja." "Ke kafe kan? Ayo, saya anter." Olin dengan cepat menggeleng, "Nggak usah, Om. Saya berangkat sendiri aja." Selain tidak enak hati, Olin juga takut jika Tama melihatnya datang bersama sepupunya itu. "Kebetulan saya juga mau ke kafe. Sekalian aja." Olin menggaruk lehernya pelan. Meskipun ragu tapi dia mengangguk dan mulai masuk ke dalam mobil. "Makasih ya, Om." "Untuk?" Gevan mulai menjalankan mobilnya. "Karena udah bantu Alif." "Itu bentuk tanggung jawab saya karena nggak sengaja tabrak dia semalam." "Tapi luka tabraknya nggak separah kondisi kesehatan Alif, Om." Gevan berdecak mendengar panggilan Olin. Jujur saja telinganya risih karena wanita itu selalu memanggilnya dengan panggilan 'Om' sejak kemarin. "Bisa kamu nggak panggil saya 'Om'?" Dahi Olin berkerut, "Emang Om Gevan umur berapa?" Gevan berdeham mendengar itu. Jujur saja dia tidak percaya diri untuk menyebutkan umurnya. "Tiga puluh sembilan." "Ya bener dong kalau saya panggil Om, kan saya masih 25." Olin menatap Gevan aneh. "Tapi kamu panggil Tama pake 'Mas'." "Kan Mas Tama masih 35, nggak salah dong?" "Terserah." Gevan memilih untuk menyerah. Pada kenyataannya dia memang sudah tua. Percuma saja jika mengelak. Jarak ke kafe tidak begitu jauh. Mereka turun saat sudah sampai di tempat parkir. Olin berjalan terlebih dahulu dengan was-was. Dia tahu jika Tama pasti datang lebih dulu dibanding dirinya. Seharusnya hari ini adalah jadwal Olin untuk membuka kafe, tapi karena semalam Tama yang membawa kunci jadi pria itu yang datang lebih awal. "Kok sepi?" gumam Olin saat melihat keadaan kafe. Seharusnya Tama sudah datang karena pintu kafe yang tidak terkunci. "Mas Tama? Mas Tama dim—" Olin menghentikan ucapannya saat melihat pemandangan mengejutkan di depannya. Bibirnya terbuka lebar saat melihat Tama dan Fika yang tengah berciuman di ruang loker karyawan. "Olin, di man—a Tama?" Gevan datang dan memelankan kalimatnya di bagian akhir saat melihat aksi Tama. Melihat Olin yang masih berdiri kaku, dengan cepat Gevan menutup mata wanita itu dengan tangannya. Perlahan dia menarik Olin untuk keluar dari ruang loker. "Kamu kenapa?" tanya Gevan geli. Saat ini mereka sudah berada di dapur. "Mataku!" Olin tersadar dan mengusap matanya berkali-kali. Dia bergidik ngeri saat mengingat pemandangan tak senonoh itu. Gevan terkekeh melihat Olin. Apa wanita di depannya sepolos itu? Seharusnya usia 25 tahun tidak lagi asing dengan hal seperti itu. "Kok Om Gevan santai banget sih?" Olin mengusap wajahnya yang memerah. Entah kenapa dia malu sendiri melihat aksi Tama dan Fika. "Emang saya harus ngapain? Mereka kan cuma ciuman." Olin menatap Gevan tidak percaya. Mata dan bibirnya kompak membulat karena rasa terkejut. Sepertinya Gevan dan Tama tidak jauh berbeda. Tentu saja! Mereka adalah saudara. "Udah, nggak usah dipikirin lagi. Kamu bisa masak?" tanya Gevan mulai menarik sebuah kursi. "Kenapa?" "Bikinin saya sarapan." Olin menatap dapur dengan kening yang berkerut. Dia memang bisa memasak, tapi hanya untuk masakan yang sederhana. Dia hanya seorang pramusaji di kafe ini dan bukan seorang koki. Lagi pula Olin juga tidak bisa menolak permintaan Gevan. Selain karena pria itu adalah sepupu atasannya, dia juga sudah menolong Alif. Olin akan semakin tidak enak jika menolak permintaan pria itu. "Omlete?" tanya Olin ragu. "Nggak masalah." Olin mengangguk dan mulai berkutat dengan bahan makanan yang memang telah tersedia di dapur. Sebenarnya dia harus mulai mengecek persediaan bahan makanan. Namun lagi-lagi dia tidak bisa mengabaikan permintaan Gevan. Gevan duduk sambil bertopang dagu. Matanya menatap lekat Olin yang tengah memasak. Entah kenapa saat melihat wanita itu memasak, terjadi sesuatu yang aneh di diri Gevan. Perlahan dia tersenyum saat mengingat aksi Olin yang memukulnya dengan sapu semalam. "Semoga enak." Olin meletakkan sebuah piring di depan Gevan. "Kamu nggak sarapan?" Olin dengan cepat menggeleng dan berlalu mengambil bawang merah dan bawang putih yang harus dia kupas. Ada masing-masing dua kantong plastik berukuran besar. "Saya harus kerja." Olin tersenyum sambil meletakkan bawang-bawang itu di atas meja. Dia menarik kursi dan mulai duduk di depan Gevan. Melihat itu, Gevan kembali tersenyum tipis. Dia menarik piringnya mendekat dan mulai makan. Tatapannya masih tertuju pada Olin yang tengah fokus bekerja. "Buka mulut kamu." "Ha?" Olin tampak bingung. "Buka." Olin membuka mulutnya dengan bingung. Namun kebingungannya langsung hilang saat Gevan menyuapinya dengan sepotong omlete. "Sa—saya bisa sarapan nanti, Om." Olin menunduk dengan gugup. "Mulut kamu bilang nanti, tapi perut kamu teriak sekarang." Reflek Olin menyentuh perutnya. Dia tersenyum canggung saat mendengar suara perutnya yang berbunyi. Benar-benar memalukan. "Buka mulut kamu," ucap Gevan lagi. Olin menggeleng, "Saya bisa makan sendiri." Gevan mencegah Olin yang ingin mengambil sendoknya, "Biar saya suapin. Kamu lanjutin kupas bawangnya." "Nggak enak kalau diliat orang, Om." Kening Gevan berkerut, "Siapa yang liat? Tama? Bahkan kamu liat yang lebih parah tadi." "Aduh jangan diingetin." Olin memejamkan mata dan menutup telinganya rapat. Lagi-lagi Gevan terkekeh melihat itu. Dia tidak menyangka jika Olin akan sepolos ini. "Buka mulut kamu." Dengan pasrah Olin mulai membuka mulutnya kembali. Satu piring omlete perlahan habis masuk ke perut mereka. Entah kenapa Gevan tidak merasa canggung sama sekali padahal mereka baru saja bertemu kemarin. Dia merasa ada sesuatu di diri Olin yang membuatnya nyaman. Menarik. *** TBCDi sebuah kamar, tampak seorang pria yang terlihat pasrah dengan apa yang ia alami. Tanpa membantah Gevan membiarkan ibunya menyemprotkan parfum di tubuhnya. Jika tidak mengingat jika wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya, sudah dipastikan jika Gevan akan melarikan diri. "Ma, cukup." Gevan mengambil botol parfum dari tangan ibunya. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kencan sama Tasya malam ini harus berhasil." "Habis sama Tasya sama siapa lagi?" tanya Gevan sarkasme. "Ada Anggun." "Ma!" Gevan menatap ibunya tidak percaya, "Mama nggak capek?" Dengan kesal wanita itu menarik telinga Gevan, "Seharusnya Mama yang tanya. Kamu nggak capek sendiri terus? Kamu nggak iri liat temen-temen kamu udah pada gendong anak?" "Ya kan jalan hidup orang beda-beda, Ma. Nggak bisa disamain." "Masih bantah Mama kamu? Kamu itu udah umur 39, Gevan!" "Kan belum 40." "Gevan!" Gevan berdecak, "Iya, tapi aku bisa cari sendiri. Mama nggak perlu jodoh-jodohin. Terbukti kalau semu
Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu. "Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stro
Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan
Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong. "Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya. Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebenarnya dia tidak terlalu lapar, tapi dia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya sendiri. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel. "Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo,” tanga Gevan. Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini." "Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?" Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!" "Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul." Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Tiara?
Dengan menarik napas dalam, Olin mulai masuk ke ruangan Tama. Baru satu langkah masuk, dia dikejutkan dengan suara pintu yang tertutup rapat. Olin mulai panik dan mencoba membuka pintu di belakangnya. Terkunci, Olin tidak bisa membuka pintu itu. "Mas Tama!" teriak Olin kesal. Dia masih berusaha membuka pintu sampai dia terdiam saat mendengar suara panggilan dari belakangnya. "Olin?" Siaga satu! Setelah menenangkan dirinya, Olin berdeham pelan dan mulai berbalik. Di sana dia melihat Gevan yang tengah duduk santai di sebuah sofa yang tersedia. "Ada apa Om?" tanya Olin berusaha santai. "Duduk sini." Gevan menepuk sisi kosong di sampingnya. Olin menggeleng dan memilih untuk menarik sebuah kursi kayu. Dia duduk di depan Gevan dengan gugup. "Mana HP kamu?" "Buat apa, Om?" "Saya mau liat." "Tapi—" "Olin...," Olin mendengkus dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia memberikannya pada Gevan dengan setengah hati. Ge
Hari Sabtu adalah hari bebas untuk Gevan. Tidak ada jadwal operasi untuknya hari ini karena Anton juga sudah kembali dari cuti bulan madunya. Di sinilah dia sekarang, tidur di kasur nyamannya setelah baru kembali dari rumah sakit jam dua dini hari. Entah kenapa Gevan menyambut hari sabtu ini dengan kebahagiaan karena pada akhirnya ibunya berhenti membuat kencan buta untuknya. Olin, ingatkan Gevan berterima kasih pada wanita itu. Mengingat Olin, Gevan membuka matanya dan mengeratkan guling yang ia peluk. Dia tersenyum sambil meraih ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan pesan untuk wanita itu. "Pagi, Sayang." Gevan kembali memejamkan matanya setelah berhasil mengirimkan pesan yang cukup menggelikan. Sejak pertemuannya dengan Olin di kafe saat itu, mereka tidak lagi bertemu. Selain kesibukan Gevan, sepertinya Olin juga tidak berniat bertemu dengannya. "Udah siang, Om." Gevan mengerutkan dahinya saat melihat balasan dari Olin. Perlahan dia melihat jam dinding dan te