Lampu operasi yang berubah padam menjadi pertanda jika operasi telah selesai. Terlihat jelas gurat lelah di wajah seorang pria. Tentu saja, Gevan baru saja melakukan operasi yang berlangsung selama lima jam. Cukup lama karena dia menangani pasien dengan penyakit jantung.
Setelah mengurus dan memeriksa beberapa hal, akhirnya Gevan bisa bebas. Dia berjalan menuju ruang istirahat dokter dengan langkah mantap. Dia berniat untuk tidur sebentar sebelum pulang. Sebenarnya hari ini bukan jadwal prakteknya, tapi Gevan harus menggantikan Anton yang tengah cuti bulan madu saat ini. Saat membuka pintu ruangan, Gevan menghela napas kasar. Dia menatap datar pada dua manusia yang tengah bermesraan di dalam ruangan saat ini. Seketika batinnya menjerit kesal melihat itu. "Kenapa harus di sini?" tanya Gevan jengah. Melihat keberadaan Gevan, Martin dan Eca hanya bisa tersenyum konyol. Mereka mulai saling menjauhkan diri. "Cuma di sini yang sepi, Van," balas Martin. Martin adalah sahabat Gevan yang juga merupakan seorang dokter. Sebenarnya hari ini juga bukan jadwal jaganya, tapi dia ingin menemui kekasihnya. Eca adalah kekasih Martin yang merupakan perawat di rumah sakit ini. "Keluar, gue mau tidur," usir Gevan. "Dokter Gevan nggak pulang?" tanya Eca. "Udah nggak ada jadwal operasi kan?" "Iya, istirahat di rumah sana," sahut Martin. "Males," jawab Gevan mulai merebahkan diri. Dia meraih buku secara asal dan meletakkannya di atas wajah dengan posisi terbuka. Dia tidak bisa tidur jika ada cahaya dari lampu. "Lagi ngehindarin nyokap ya?" tanya Martin kembali menarik Eca. "Hm." Gevan hanya bergumam sebagai jawaban. Dia terlalu malas membahas masalah ini. "Lanjut di tempat lain, Tin. Gue ngantuk." Mendengar ucapan Gevan, Martin dan Eca kembali melepaskan diri. "Ganggu aja lo, dasar jomblo akut!" Martin menendang kaki Gevan pelan dan berlalu keluar ruangan bersama Eca. Dia akan membiarkan sahabatnya itu beristirahat. Dia tahu jadwal operasi Gevan sangatlah padat akhir-akhir ini karena harus menggantikan Anton. Getaran pada ponselnya membuat Gevan menarik napas dalam. Dia masih belum terlelap sepenuhnya dan memilih untuk mengambil ponselnya. Ada satu pesan singkat dari ibunya. "Jangan lupa nanti malem kencan sama Jessica." Gevan memejamkan matanya erat setelah membaca pesan itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia memilih untuk beristirahat di rumah sakit. Jika di rumah, Gevan akan bertemu dengan ibunya yang terus mengingatkannya untuk melakukan kencan buta. "Siapa lagi Jessica?" Gevan mengabaikan pesan ibunya dan kembali memejamkan mata. Bukan kali ini saja ibunya selalu merencanakan kencan buta untuk anaknya. Entah sudah berapa banyak wanita yang dikenalkan, tapi semuanya berakhir sama, yaitu ketikdak-cocokkan. Lebih tepatnya Gevan yang tidak tertarik sama sekali. Kadang dia merutuki dirinya sendiri yang terlalu pemilih. Itulah yang membuatnya masih bertahan sendiri di usianya yang sudah menginjak 39 tahun ini. Gevan Prakarsa, seorang dokter bedah yang memiliki jam kerja yang tinggi. Dia sudah memiliki nama dan dipercaya oleh banyak orang. Saat ini dia memiliki dua izin praktek kerja di dua rumah sakit swasta. Selain karena terlalu perfeksionis, sepertinya profesi sebagai dokter spesialis bedah juga membuatnya sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuk wanita. Baru terlelap beberapa menit, Gevan kembali terbangun saat mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dia menggeram saat melihat nama ibunya di sana. Sudah bisa ditebak jika wanita itu akan kembali mengingatkannya tentang kencan buta yang sudah ia rencanakan. "Ya, Ma?" jawab Gevan malas. "Udah berangkat, Van?" "Berangkat ke mana?" Kening Gevan berkerut. "Kencan lah, Van! Kamu ini gimana sih? Jangan sampe Jessica dateng duluan." Gevan memijat keningnya yang berdenyut, "Aku capek, Ma. Batalin dulu ya kencan hari ini." "Mana bisa? Ini kan malam minggu, Van. Ayo dong seneng-seneng. Kamu nggak pingin malam mingguan kayak temen-temen kamu?" Gevan memejamkan matanya sabar. Dia sudah terbiasa dengan kencan buta yang dibuat ibunya setiap malam minggu. Namun anehnya wanita itu tidak menyerah saat Gevan selalu menolak pilihannya. "Aku capek, Ma. Ada banyak operasi hari ini. Aku mau istirahat dulu." "Kamu kok gitu sih, Van? Nggak kasian sama Mama yang udah tua ini? Mama sendirian di rumah, Van. Mama pingin cucu!" Cukup. Jika sudah seperti ini maka Gevan harus menyerah. Jika terus membantah maka air mata ibunya yang akan keluar. "Oke, aku berangkat sekarang." Dengan malas, Gevan mulai bangkit dari tidurnya. Tidak ada salahnya menuruti ucapan orang tua. Semoga saja wanita yang dipilih ibunya malam ini memiliki kecocokan sehingga Gevan tidak kecewa karena sudah menggunakan waktu istirahatnya. *** Selama perjalanan, Gevan tidak berhenti untuk menghela napas lelah. Dia benar-benar malas untuk berkencan hari ini. Jujur saja dia lebih memilih untuk tidur dari pada bertemu dengan wanita cantik. Sepertinya kasur terlihat lebih nyaman untuk saat ini. Gevan sengaja untuk melambatkan laju mobilnya. Dia tidak mau untuk cepat sampai di restoran. Jika bisa, Gevan berharap jika Jessica yang datang terlebih dulu dan menunggu. Biasanya wanita akan kesal jika seperti itu. Jika sudah kesal, Gevan hanya bisa berharap jika pertemuan nanti akan segera berakhir. Di lampu merah, Gevan meraih sebotol air mineral. Dia menoleh saat melihat seorang anak kecil yang tengah menjual jajanan tradisional di samping mobilnya. Awalnya Gevan memilih untuk mengabaikannya, tapi karena kasihan akhirnya dia memutuskan untuk membeli sedikit dagangannya. Kadang dia merasa heran, siapa yang tega menyuruh anak di bawah umur untuk berjualan seperti itu? Jika tidak siap untuk menghidupi seorang anak kenapa harus memiliki anak? Gevan yang sudah matang secara usia dan materi saja tidak pernah berpikir untuk memiliki anak. Atau memang dirinya saja yang aneh? Gevan membuka jendela mobil dan berniat melihat makanan yang dijual. "Alif!" Suara teriakan nyaring itu membuat anak kecil itu menoleh. "Kak Olin!" balasnya senang. Dahi Gevan berkerut melihat interaksi itu. Namun dia tetap memilih makanan yang anak itu bawa. "Beli lima, Dek." "Total 25 ribu, Om." Gevan mengangguk dan memberikan sekembar uang berwarna biru. "Kembali 25 ribu ya, Om." "Ambil aja," ucap Gevan. "Makasih banyak ya, Om." Anak itu terlihat sangat senang. Gevan mengangguk dan mulai menutup jendela mobil. Matanya masih tertuju pada anak kecil yang berlari menuju seorang wanita yang memanggilnya tadi. Dari jauh, Gevan bisa melihat jika wanita itu mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik dan memberikannya pada anak kecil itu. Sebuah permen. Gevan tersenyum miring melihatnya. Bukan hanya satu anak karena setelah itu banyak anak lainnya yang datang. Wanita itu tampak senang membagikan permen lollypop-nya. Mata Gevan masih tertuju pada kerumuman itu. Dia kembali tersenyum saat melihat wanita itu ikut memakan permen yang ia bagi. Saat ini mereka tampak seperti sebuah geng yang diketuai oleh wanita itu "Lucu," gumamnya. Suara klakson yang berbunyi menyadarkan lamunan Gevan. Dengan cepat dia melajukan mobilnya saat lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Seketika senyumnya kembali luntur. Gevan berubah tidak semangat saat memgingat jika ia harus menemui Jessica, wanita asing yang tidak ia kenal sama sekali. Bahkan rupanya saja ia tidak tahu. Sebenarnya ada berapa banyak nama wanita yang ibunya miliki? Kenapa tidak habis-habis? *** TBCDi dalam sebuah kafe, terlihat seorang wanita tengah sibuk membersihkan sebuah piring. Dahinya berkerut dalam berusaha keras untuk menghilangkan noda kotor yang membuatnya kesal. Bahkan mesin pencuci piring pun tidak banyak membantu. "Aduh, bikin kerjaan banget," gumam Olin masih menggosok piringnya. Jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam dan membuatnya ingin segera pulang. Jika bukan karena jadwal piketnya untuk mengunci kafe, mungkin Olin sudah bersantai di atas tempat tidur saat ini. "Gue pecahin aja kali ya?" Olin menggeram kesal. "Belum selesai, Lin?" tanya Fika, temannya yang juga mendapatkan jadwal piket bersamanya malam ini. "Belum. Lo udah selesai ngepel?" "Udah. Aduh punggung gue." Fika mulai merenggangkan tubuhnya. "Ya udah lo tunggu di depan aja," ucap Olin, "Habis ini gue selesai." "Oke, gue tunggu di depan." Olin hanya bergumam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah lima menit berkutat, akhirnya piring yang menjadi musuhnya sedari tadi su
Gevan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Meskipun tubuhnya sudah terasa panas tapi bukan berarti dia akan membahayakan keselamatannya. Beruntung jalanan di jam dua pagi ini tampak sepi sehingga Gevan bisa membagi fokusnya dengan wanita di sampingnya. Saat di lampu merah, mata Gevan mulai terpejam menikmati sentuhan tangan wanita itu di tubuhnya. Napasnya berubah berat berusaha untuk menahan diri. Sebentar lagi mereka akan sampai di hotel. Lampu berubah menjadi hijau, dengan cepat Gevan mulai melajukan mobilnya. Namun jantung Gevan terasa lepas dari tempatnya saat melihat anak kecil yang berlari ke arah mobilnya. Beruntung dia bisa mengerem secara mendadak. "Sial!" umpat Gevan mulai keluar dari mobil. Dia bisa melihat anak itu terjatuh sambil menyentuh kakinya. Beruntung jalanan begitu sepi sehingga peristiwa ini tidak menimbulkan kemacetan. "Kamu nggak papa?" tanya Gevan khawatir. Rasa panas di tubuhnya mendadak hilang karena terkejut setelah menabrak seseorang.
Getaran pada sebuah ponsel membuat tidur Gevan terganggu. Dengan mata yang setengah terpejam, dia mulai mematikan alarm di ponselnya. Gevan mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar bangun dari tidurnya. Dia baru sadar jika masih berada di rumah sakit saat ini. Perlahan dia bangkit untuk melihat kondisi Alif. Anak itu masih tertidur pulas. Beruntung wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam. Sepertinya anak itu benar-benar kelelahan. Ingatkan Gevan untuk membeli beberapa vitamin untuk Alif. Pandangannya mulai beralih pada wanita yang tertidur di samping ranjang. Gevan tersenyum miring saat melihat Olin yang tengah tertidur dalam posisi duduk dengan kepala yang bersandar pada ranjang. Jujur saja Gevan sedikit kagum pada Olin yang begitu memperhatikan Alif. Tidak adanya hubungan darah di antara mereka tidak membuat Olin bersikap berbeda. Gevan bisa melihat jika wanita itu tulus menyayangi Alif. "Heh, bangun." Gevan menepuk pipi Olin pelan. Mereka harus segera pulan
Di sebuah kamar, tampak seorang pria yang terlihat pasrah dengan apa yang ia alami. Tanpa membantah Gevan membiarkan ibunya menyemprotkan parfum di tubuhnya. Jika tidak mengingat jika wanita di depannya adalah wanita yang melahirkannya, sudah dipastikan jika Gevan akan melarikan diri. "Ma, cukup." Gevan mengambil botol parfum dari tangan ibunya. "Pokoknya Mama nggak mau tau. Kencan sama Tasya malam ini harus berhasil." "Habis sama Tasya sama siapa lagi?" tanya Gevan sarkasme. "Ada Anggun." "Ma!" Gevan menatap ibunya tidak percaya, "Mama nggak capek?" Dengan kesal wanita itu menarik telinga Gevan, "Seharusnya Mama yang tanya. Kamu nggak capek sendiri terus? Kamu nggak iri liat temen-temen kamu udah pada gendong anak?" "Ya kan jalan hidup orang beda-beda, Ma. Nggak bisa disamain." "Masih bantah Mama kamu? Kamu itu udah umur 39, Gevan!" "Kan belum 40." "Gevan!" Gevan berdecak, "Iya, tapi aku bisa cari sendiri. Mama nggak perlu jodoh-jodohin. Terbukti kalau semu
Seperti yang sudah-sudah, kencan buta Gevan malam ini lagi-lagi tidak berhasil. Bedanya kali ini bukan dia yang pergi, melainkan Tasya. Sepertinya Tasya adalah tipe wanita yang tidak suka diabaikan. Sengaja Gevan melakukannya dan ternyata rencananya berhasil. Seperti biasa juga, Gevan tidak akan kembali pulang malam ini. Untuk apa lagi jika bukan menghindari ibunya? Gevan bahkan sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu. "Kita langsung ke hotel?" tanya seorang wanita yang masuk ke dalam mobil Gevan. "Hm." Gevan hanya bergumam dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area parkir tempat hiburan malam. Di dalam mobil, hanya ada keheningan yang terjadi. Gevan membiarkan tangan wanita itu mulai menyentuh bahunya dan mulai naik hingga ke leher. "Aku beli sesuatu dulu,” ucap Gevan. Dia menghentikan mobilnya di depan supermarket yang buka 24 jam. Dengan berlari kecil, dia masuk ke dalam supermarket dan membeli barang yang sangat ia butuhkan saat ini. "Mas, rasa stro
Suara bel yang terus berbunyi membuat tidur Olin terganggu. Dia mengerang dan mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Suara bel yang tak kunjung berhenti membuat Olin terpaksa membuka matanya. Perlahan dia meraih ponsel untuk melihat jam, masih jam delapan, terlalu pagi untuk Olin yang baru bisa memejamkan mata di jam empat pagi. "Iya, sebentar." Dengan malas Olin bangun dari sofa dan berjalan menuju pintu apartemen yang ia tinggali semalam. Olin memang sengaja tidur di sofa ruang tengah karena merasa tidak nyaman jika tidur di kamar utama. Olin membuka pintu dan mulai kebingungan saat melihat wanita paruh baya di hadapannya. "Kamu siapa?" Rasa kantuk Olin langsung menguap. Dia merapikan penampilannya cepat dan menatap wanita di hadapannya dengan canggung. "Maaf, Tante siapa ya?" tanya Olin sedikit menunduk. Mata wanita paruh baya itu menyipit. Olin dibuat semakin ketakutan saat wania itu melihatnya dari atas ke bawah dengan lekat. "Seharusnya saya yang tan
Sambil mengelap piring basah, Olin menatap ponselnya yang terus berdering sedari tadi. Raut wajahnya sangat masam merasa enggan untuk mengangkat panggilan dari seseorang yang baru hadir ke dalam hidupnya akhir-akhir ini. Bahkan Olin lebih memilih dihubungi rentenir sat ini dari pada Gevan, pria yang terus menghubunginya sejak tadi siang. "Jangan ngelamun." Fika menepuk bahu Olin dan ikut melihat ponsel wanita itu. "Om Gevan? Kenapa nggak diangkat?" tanyanya. Olin menggeleng cepat, "Nggak ah, males." Mata Fika menyipit, "Gue liat-liat lo makin deket sama sepupunya Mas Tama. Lo nggak cerita sama gue?" Olin berbalik dan menatap Fika tajam, "Buat apa gue cerita sama lo? Lo sendiri juga nggak cerita sama gue tentang hubungan lo sama Mas Tama. Mana udah main caplok-caplokan lagi." Fika mendengkus, "Gue digantung," bisiknya lirih. "Sama Mas Tama?" Olin mulai penasaran dan ikut memelankan suaranya. Beruntung suara mereka teredam oleh alat-alat dapur yang saling berbunyi nyari
Suasana dapur yang awalnya terasa canggung perlahan mulai mencair. Olin yang sedari tadi berusaha untuk membentengi diri perlahan mulai terbiasa. Meskipun hanya sandiwara, tetapi entah mengapa Olin melihat ketulusan dari Ibu Gevan. "Ini resep puding andalan Tante. Kamu harus coba nanti." "Pasti, Tan. Belum jadi aja baunya udah enak." Olin berucap jujur. Sudah lama dia tidak melihat banyaknya makanan rumahan yang dihidangkan untuknya. Ada sedikit rasa bersalah karena semuanya hanyalah kebohongan. Ibu Gevan benar-benar senang saat mengetahui anaknya memiliki kekasih. "Dulu ketemu sama Gevan di mana, Lin?" "Di kafenya Mas Tama, Tante." "Tama?" "Iya, saya kerja di sana." Olin tersenyum tipis. Dia tidak percaya diri saat memberitahu pekerjaannya. Ibu Gevan terlihat terkejut, tapi perlahan dia kembali santai dan tersenyum. "Udah berapa lama kerja sama Tama?" "Udah lama, Tante. Sejak orang tua saya meninggal." Olin merasakan elusan di bahunya, "Maaf ya, Tante ja