Aku menyusut hidung yang mulai terasa berat menghirup udara. Menyeka airmata yang mengaburkan pandangan dengan punggung tangan. Menatap dengan perasaan teriris setiap lembar hasil goresan tanganku dilahap api yang menyala di dalam drum bekas.
"Lo lagi ngapain bakar-bakar malam-malam, Beb?" sapa sebuah suara merdu bagai alunan lagu.
"Aku mau move-on, Ta," sahutku lirih dengan suara sengau.
"Eh itu sketsa wajah si Ares? Kok lo bakar?" cecar Tania sahabat satu kosanku setengah berteriak.
"Udah ngga guna." Aku menyahut sambil terus memasukkan lembaran sketsa cowok berwajah seksi itu satu persatu ke dalam drum. Setiap satu lembar yang kulemparkan ke dalam api, setiap itu pula ada yang terasa ditarik dari hatiku.
"Eh, pelet si Ares dah habis ya?" Tania menanggapi dengan kekehan geli. Mengabaikan wajahku yang sembab karena seharian menangis. "Ya sudah, sini gue bantu." Gadis berparas ayu itu menarik setumpukan kertas sketsa wajah dengan gambar orang yang sama, dari tanganku. Tanpa dapat kucegah, ia melemparkannya ke dalam drum, disambut lidah api yang seakan bersorak menerima.
Aku hanya tertegun menyaksikan puluhan, bahkan mungkin sudah hitungan ratusan lembar kertas sketsa berakhir menjadi bahan bakar api.
"Mau cerita malam ini apa besok?" Kembali suara Tania memecah kesunyian halaman belakang kosan yang mendadak terang karena api di dalam drum makin membesar.
"Besok aja ya, Ta. Malam ini aku mau sendiri dulu," sahutku merapatkan sweater rajut yang kukenakan. Berharap sedikit mengusir dingin udara Bandung yang mulai menggigit.
"Okay." Lalu tak ada lagi suara yang terdengar dari bibir mungilnya. Tania ikut duduk di bangku kosong seberang bangku yang kududuki.
"Kok masih di sini? Kamu nggak mau masuk?" tanyaku heran.
"Gue mau nemenin lo sampai kertasnya habis kebakar. Takut tiba-tiba lo berubah pikiran, terus ngambil lagi itu kertas," sahutnya santai.
"Eh buset, aku nggak sebego itu kali, Ta!" protesku memanyunkan bibir dan melipat lengan di depan dada.
"Tuh kan masih enggak ngaku aja kalau lo bego," sahutnya acuh sambil memainkan ponsel. Tania memang teman yang paling ceplas ceplos, kendati demikian aku tak pernah merasa sakit hati karena apa yang dia katakan memang ada benarnya.
****
Aku mengenal Ares—cowok yang menjadi model dalam setiap skestaku—empat tahun yang lalu. Bertemu dengannya di sebuah acara kebudayaan yang diadakan oleh salah satu Kementrian di Jakarta. Kala itu aku masih kelas dua SMA.
Cowok itu berada di atas panggung, memetik gitar dengan kosentrasi penuh. Aku bagai tersihir mendengar alunan Kiss the rain dari gitar akustik yang dimainkannya. Petikannya begitu penuh penghayatan. Aku seakan terhanyut dalam setiap nada yang ia mainkan.
Bukan hanya petikan gitarnya yang membuatku terpana, wajah si pemetik gitar pun membuat mata tak mampu berkedip. Cowok dengan style cuek, rambut ikalnya agak sedikit berantakan pada bagian poni. Hidung mancung dengan mata sayu. Pipi tirus dengan tulang pipi yang cukup tinggi.
Melihat indahnya ciptaan Tuhan yang berada di atas panggung itu, tanganku merasa gatal untuk mengabadikannya pada buku sketsa. Tanpa sadar, tanganku pun dengan mudahnya menggambarkan setiap garis wajahnya.
"Itu sketsa wajah gue?" tiba-tiba suara cempreng khas anak laki-laki yang sedang mengalami puber mengagetkanku.
Aku mendongak. Mendadak membeku pada bangku kecil yang kududuki.
"I-iya, maaf kalau kamu tidak suka," kataku dengan muka memelas.
"Kok malah gantengan sketsanya." Dia menyeringai jahil.
"Emang dasar Lo udah cakep, Bambang!" sahutku dalam hati. "Pe-de amat!" Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku karena grogi. Dari dekat ternyata wajahnya lebih ganteng. Mungkin karena efek mata minusku, jadi kegantengannya terdistorsi oleh retina yang tidak berfungsi dengan baik.
"Ha-ha, jadi orang harus pe-de. Eh iya, gue Ares. Lo?" Dia menyodorkan tangannya. Sebuah senyum tercetak di bibirnya.
Aku yang selalu grogi berhadapan dengan cowok, apalagi cowok ganteng seperti yang tengah berdiri di hadapanku, makin membeku. Tak lantas menyambut uluran tangannya.
"Tangan gue bersih, kok." Kembali suara cemprengnya terdengar.
"Nalia." Akhirnya aku mampu bersuara meski keringat membanjiri telapak tangan dan keningku.
"Dari daerah?" Ares kembali bertanya, lalu dengan santainya duduk di sampingku.
"Iya." Aku tak berani menatapnya langsung. Terlalu silau untuk ukuran mataku. Khawatir minus mataku makin bertambah.
"Stand-nya di mana?" Seperti kesan pertama yang kutangkap dari sosok Ares, dia memang tipe cowok cuek. Mengajakku mengobrol layaknya teman lama.
"Boleh liat sketsa lo yang lain?" Dia menggeser duduknya mendekat. Memupus jarak yang tadinya cukup jauh.
"Cuma coretan-coretan iseng aja, 'kok ini," elakku.
Meski telah ditunjuk oleh pihak sekolah sebagai perwakilan bagian seni rupa, aku masih belum terlalu percaya diri untuk menunjukkan hasil karyaku kepada orang lain. Jangankan pada orang yang baru saja kukenal, pada teman-teman dekat pun aku sungkan.
Bukan karena sketsaku yang tidak layak untuk diunjukkan, tapi karena merasa bakat yang kupunya hanyalah bakat yang tidak berguna. Setidaknya itu yang sering kudengar setiap hari saat di rumah. Mama, Papa dan kedua orang kakakku selalu memandang sebelah mata hobi maupun bakat yang kupunya.
Aku lahir di keluarga yang berprofesi sebagai dokter. Papa dokter spesialis penyakit dalam, sementara Mama spesialis kandungan. Kakak tertuaku juga berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Kakak kedua, sedang kuliah di Fakultas Kedokteran di universitas negeri ternama di Bandung.
Sementara aku, jangankan hendak bercita-cita menjadi dokter, nilai esaktaku saja hanya memenuhi syarat untuk kenaikan kelas.
"Lia beneran anak Mama, nggak sih? Mama enggak salah ambil, kan, dulu abis lahiran?" ledek Daren kakak keduaku saat melihat nilai raportku yang pas-pasan.
"Liburan ini kamu ikutan les kimia sama fisika, Lia. Mama enggak mau kamu pas liburan seharian ngegambar terus," titah Mama dengan nada datar.
"Ya ampun, Ma. Mama tau, kan gunanya liburan buat apa? Masa Mama tega aku gantung diri karena ngurusin rumus terus setiap hari?" ujarku memelas.
Jika aku sudah bicara seperti itu, Mama akhirnya mengalah.
"Mama terlalu lembek sama Lia, makanya jadi ngelunjak." Papa bersuara di ujung meja tanpa melepaskan tatapannya dari surat kabar yang sedang ia baca.
Hampir setiap hari aku di cecar dengan petuah-petuah agar fokus belajar. Mama masih agak memberi kelonggaran. Sebaliknya Papa selalu bersikap dingin padaku. Terlebih setiap kali menerima raport.
Karena perlakuan seperti itulah, aku tidak pernah bisa menganggap bakatku itu menjadi sebuah kelebihan. Justru aku merasa hanya sebatas kecacatan yang tak seharusnya kupunya.
***
"Buat gue ya, sketsa yang baru saja lo bikin?" Suara cempreng Ares menarikku kembali ke hiruk pikuknya suasana lokasi pameran.
"Eh? Sketsa jelek begini?" tanyaku heran.
"Lo ngatain gue jelek?" sergahnya.
"Bu-bukan ... uhm ... maksudku, gambarku yang jelek," sahutku menghapus keringat yang kembali mengalir.
"Kan, udah gue bilang, gantengan gue di sketsa dari asli," kekehnya.
Dari dekat, aku bisa melihat ceruk kecil di ujung kedua matanya jika cowok itu sedang tertawa. Lalu, sepasang gingsul mempermanis senyumnya.
"Eh, apa gue harus bayar?" Kembali dia bertanya karena aku masih belum merespon permintaannya.
"Eh, enggak perlu. Ini buat kamu aja." Aku merobek sketsa wajah Ares dan menyerahkan padanya.
"Sekalian minta nomor hape dan pin bb," cengirnya menyodorkan ponsel.
"Aku enggak punya bb."
"Tapi hp punya kan?"
Perlahan kekagumanku pada cowok yang di hadapanku memudar. Ternyata dia sama saja, cowok yang senang menggoda.
"Punya, tapi aku enggak bisa asal kasih nomor hp." Dengan tegas aku menolak. Aku paling anti dengan cowok yang senang menggoda cewek-cewek. Dengan mudahnya meminta nomor ponsel lalu merayunya dengan pesan-pesan singkat.
"Oh, okay. Maaf kalau gue sok kenal." Sekilas, aku melihat ada kilatan kekecewaan dari matanya. Akan tetapi aku berusaha tak peduli. Dia bukan siapa-siapa, mengenalnya pun baru hitungan menit. Kenapa aku harus peduli.
Karena tak mendapat respon apa-apa lagi dariku, akhirnya Ares bangkit berdiri.
"Thanks, yah sketsanya," ucapnya tersenyum tipis.
"Sama-sama."
Ares melangkah menjauh. Aku masih tetap bergeming di tempatku duduk tak berniat untuk melihat kemana cowok itu pergi.
"Lia! Dicariin dari tadi malah nyantai di sini," sergah sebuah suara. Kulihat sesosok cowok jangkung berkacamata menghampiri.
"Eh, Do. Sorry, aku kelamaan, ya istirahatnya?"
"Bukan masalah itu, takutnya kamu nyasar," sahutnya menepis perasaan sungkanku. "Kamu sudah jadi makan?"
"Belum."
"Pantas saja konsumsi masih sisa. Buruan makan, daripada nanti kamu malah sakit."
Sebelum meninggalkan pelataran tempatku sedari tadi duduk, entah kenapa aku menoleh kembali ke arah tempat Ares tadi pergi. Tentu saja cowok itu sudah tak ada lagi di sana.
Pertemuan pertama hanya sesingkat itu. Dan kala itu pun aku tak berniat untuk mengenalnya lebih jauh. Karena kesan pertama yang ditunjukkannya membuatku mundur meski dia memiliki wajah yang masuk kriteria cowok idamanku. Sampai hari terakhir acara, aku tak lagi melihatnya. Namun entah kenapa pikiranku seakan terikat pada sosok cowok cuek itu.
Hari-hari berikutnya kembali berjalan normal. Aku kembali ke daerahku di kota kecil Pulau Sumatera, menjalani kembali aktivitas menjadi murid di salah satu SMA favorit di kotaku. Namun ada satu hal yang tidak bisa kuhentikan sekembalinya dari Jakarta, pikiranku seolah dipenuhi bayangan Ares.
Sekelebat ada rasa sesal, kenapa aku menolak bertukar nomor ponsel, tapi sisi lain pikiran idealisku berkata, aku tidak mau menjadi korban cowok playboy.
*****
"Ini siapa, Lia? Cakep!" sembur Aini teman sebangkuku di kelas, saat melihat sketsa wajah yang baru saja kuselesaikan.
"Bukan siapa-siapa," sahutku masih terus menebalkan garis-garis pada wajah yang kugambar. Ares, wajah cowok itu kembali tertuang pada buku sketsaku. Entah kenapa pikiran dan tanganku seolah berkhianat. Setiap kali aku mencoba melupakan sosok cowok yang hanya kukenal hitungan menit itu. Setiap itu pula ia makin menjejak dalam ruang pikiran.
Dimulai saat itulah, aku seolah tak berhenti menggoreskan lekuk wajahnya pada buku skestaku. Seakan melukiskan wajahnya pada kertas itu menjadi obat penyesalan karena penolakanku.

Aku kembali ke kamar setelah semua sketsa Ares menjelma jadi jelaga. Tak ada lagi yang bersisa. Namun entah kenapa masih saja ada sesak yang kurasa mengganjal."Nih, diminum dulu. Terus ini kompresan buat mata lo," ujar Tania menyerahkan segelas teh lemon hangat dan eye pad gel ke tanganku. "Lo udah makan?" kembali dia bertanya sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih."Sudah.""Makan apa?" selidiknya seakan tak percaya dengan jawabanku."Tadi Aldo datang bawa kwetiaw.""Oh, ya sudah. Istirahat kalau bisa." Tania berlalu meninggalkanku seorang diri di kamar."Ta!" Aku mencegatnya sebelum gadis itu menutup pintu."Uhm? Kenapa?" Mojang Kuningan berparas kemayu itu melongokkan kembali kepalanya di antara celah pintu yang hampir ditutup."Kayaknya aku cerita sekarang aja, deh. Kamu udah mau tidur?" tanyaku r
Keesokan harinya, Aldo menjemputku ke tempat bimbingan belajar bersama Ares. Gaya Ares masih sama dengan pertama kali aku mengenalnya, cuek. Siang itu dia memakai jaket jeans belel dengan kaus oblong longgar di baliknya. Rambut bagian poni pun masih seperti kuingat, agak gondrong berantakan. Bedanya, dia terlihat lebih tinggi."Hai, Li. Ketemu lagi," sapanya dengan cengiran lebar."Hai ...." balasku kikuk."Yuk ah, cabs udah laper," ajaknya sambil mengusap perut.Tanpa banyak basa-basi, aku, Aldo dan Ares meninggalkan gedung bimbingan belajar. Menyusuri jalan Juanda ke arah Gasibu. Aku berboncengan dengan Aldo, sementara Ares sendirian mengendarai skuter tuanya.Tempat makan pilihan kedua cowok itu di sebuah rumah makan dengan gaya prasmanan."Di sini restoran all you can eat dengan kearifan lokal," terang Ares sambil meny
Aku dan Ares berpisah di gerbang utama kampus tempat ujian seleksi dilaksanakan. Cowok itu kebagian gedung di bagian Utara kampus, sementara aku di gedung bagian Timur."Ntar kalau sudah beres, tunggu di gedung lo aja, Li. Biar gue jemput ke sana," ujarnya ketika hendak berpisah."Okay, thanks, Res."Cowok itu berlalu dari hadapanku dengan langkah panjang dan tak menoleh lagi. Aku pun beranjak ke gedungku. Bimbang tiba-tiba saja menyelubungi. Apakah aku berani menjalani konsekuensi, apabila nanti lulus di jurusan yang bukan pilihan orangtuaku?Perang batin terjadi. Antara keinginan menjadi anak yang patuh atau menjadi anak yang pemberontak. Di tengah perdebatan batin dan kepala yang kembali terasa berat, ponselku berbunyi. Panggilan dari Mama."Halo, Ma.""Sudah enggak perlu doa Mama lagi sekarang?" cecar Mama dari seberang sambungan. "Hari ini kamu ujian, kan? K
Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku. "Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya."Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan. Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan k
Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya. "Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?" "Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu."Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pe
Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan. Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.
Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares."Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku s
Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala