Share

Meet Up

Penulis: Alfarin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-18 11:36:13

Keesokan harinya, Aldo menjemputku ke tempat bimbingan belajar bersama Ares. Gaya Ares masih sama dengan pertama kali aku mengenalnya, cuek. Siang itu dia memakai jaket jeans belel dengan kaus oblong longgar di baliknya. Rambut bagian poni pun masih seperti kuingat, agak gondrong berantakan. Bedanya, dia terlihat lebih tinggi.

"Hai, Li. Ketemu lagi," sapanya dengan cengiran lebar.

"Hai ...." balasku kikuk.

"Yuk ah, cabs udah laper," ajaknya sambil mengusap perut.

Tanpa banyak basa-basi, aku, Aldo dan Ares meninggalkan gedung bimbingan belajar. Menyusuri jalan Juanda ke arah Gasibu. Aku  berboncengan dengan Aldo, sementara Ares sendirian mengendarai skuter tuanya.

Tempat makan pilihan kedua cowok itu di sebuah rumah makan dengan gaya prasmanan.

"Di sini restoran all you can eat dengan kearifan lokal," terang Ares sambil menyendok beberapa centong nasi ke piringnya. "Cocoklah buat mahasiswa budget pas-pasan, tapi mau makan kenyang," lanjutnya sambil terus menyendok beberapa lauk ke piringnya.

Aku terperangah melihat porsi makan cowok berpostur kurus itu.

"Kenapa? Kaget liat porsi makan gue?" tanyanya saat melihat sorot mataku ke arah piringnya. "Gue 'kan masih dalam masa pertumbuhan," kekehnya seakan mampu membaca isi pikiranku.

"Ha-ha, enggak, biasa aja," sahutku mengalihkan perhatian pada menu lauk yang disajikan di meja prasmanan.

Makanan yang disajikan cukup menggugah selera. Hampir sebulan tinggal di Bandung, nafsu makanku berkurang. Pasalnya, masakan Sunda rata-rata terasa agak manis di lidahku.

"Gimana? Not bad, kan?" tanya Ares setelah isi piring kami berpindah ke perut.

"Hu-uhm, enak, kok," sahutku menyetujui.

Makan siang kala itu terasa begitu nikmat, entah karena memang masakan dari rumah makan itu yang memang nikmat, atau karena hatiku sedang berbunga-bunga bertemu kembali dengan seseorang yang selama ini selalu memenuhi pikiranku.

"Masih suka bikin sketsa, Li?" Ares kembali bertanya.

"Masih, tapi udah nggak sesering dulu."

"Lho, kenapa? Kamu enggak mau daftar di FSRD? (Fakultas Seni Rupa dan Desain). Sayang lho bakat kayak gitu dibiarkan begitu saja," tukasnya penuh semangat.

Aku mengendikkan bahu. "Nggak dapat ijin ortu," sahutku tersenyum getir.

"Yah, sayang banget." Tampak wajahnya juga turut prihatin. "But, someday, gue yakin lo bakal sukses sama bakat lo itu, nggak usah sedih," hiburnya dengan senyum khasnya. Salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas, dan di ujung matanya seperti ada ceruk layaknya selung pipi.

Siang itu kami hanya banyak bertukar cerita di rumah makan. Mengobrol ngalor ngidul hingga sore. Aldo yang mengantarkanku kembali ke kosan.

*****

Setelah hari itu, pertemuan demi pertemuan pun kami lakukan. Jika Aldo tidak bisa menemani, maka aku hanya jalan berdua dengan Ares. Dari pertemuan-pertemuan itu kami saling bertukar cerita. Dan dari cerita itu aku juga tau bahwa Ares juga mempunyai hubungan yang kurang harmonis dengan keluarganya.

Orangtua Ares telah bercerai ketika dia berumur delapan tahun. Setelah perceraian itu, hidupnya seakan kehilangan arah. Hingga ia mencari pelarian dengan bermain musik.

"Setiap kali aku memetik senar, seakan ada beban yang ikut larut dalam setiap petikan nadanya," ujarnya ketika kutanyakan alasannya.

Yang kusuka dari Ares, meski bisa dikatakan bahwa dia berasal dari keluarga broken home, tak lantas ia menyalahkan keadaan. Dia tetap optimis menjalani hidupnya.

"Banyak hal indah yang harus disyukuri dalam hidup, Li. Masalah dalam keluargaku belum seberapa jika dibandingkan dengan masalah yang dihadapi orang lain. Di jalani santai aja," kekehnya ringan. "Don't think about what you've lost. Think what will you get if you happy live your life," sambungnya dengan senyum tipis.

Rasa kagumku makin bertambah pada sosok cowok cuek itu. Jika selama ini yang kutau anak-anak korban broken home akan menjadi anak-anak yang bermasalah dengan menyalahkan keadaan orangtua mereka, justru sebaliknya Ares tidak demikian.

"Besok ujian, ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Iya, tapi aku enggak yakin bisa lolos FK. Nilai try out-ku selalu rendah," sahutku pesimis.

"Lokasi ujian sudah tau?" tanyanya mengabaikan nada pesimisku.

"Sudah, tadi diantar Aldo."

"Nonton, yuk!"

"Eh, aku harus belajar. Besok ujian." Aku menjawab setengah mendelik heran dengan usulannya.

"Justru itu, otak harus dibikin fresh dulu. Kalau kepenuhan sama pelajaran, yang ada otakmu panas," ujarnya berteori.

Aku berpikir sejenak. Semenjak pindah ke Bandung, aku memang tidak pernah menikmati fasilitas hiburan yang ditawarkan oleh kota itu. Pikiranku selalu tertuju pada tujuan awalku pindah ke kota kembang itu.

Rasa takut akan kegagalan untuk memasuki fakultas yang di titahkan oleh orangtuaku membuatku melupakan kesenangan yang sebagian teman-teman sebayaku nikmati.

"Gimana? Mau?" tanyanya kembali.

"Uhm, boleh deh," sahutku menyetujui.

Sekali dalam hidup, mencoba untuk keluar dari aturan yang diterapkan oleh orangtuaku, mungkin tidak ada salahnya.

Sore itu aku benar-benar menikmati waktuku bersama Ares. Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam ketika dia mengantarku ke kosan.

Setibanya di kosan, wajah garang kak Daren menyambutku.

"Enak ya, yang pulang pacaran," semburnya ketus. "Aku ke sini bela-belain beres kuliah, karena khawatir sama kamu, kamunya malah enak-enakan pacaran sampai malam. Kamu sudah yakin banget bisa lulus FK?" tukasnya seolah merendahkan.

"A-aku ... habis lihat lokasi ujian, Kak," sahutku mencari alasan.

"Nyari lokasi ujian enggak harus sampai malam juga kali, Lia. Kamu pikir aku sebodoh itu bisa dibohongi." Kak Daren menatapku tajam dari balik kacamata tebalnya.

Seketika udara dingin kota Bandung makin terasa menusuk. Tatapan Kak Daren selalu mengitimidasi.

"Kak, Lia juga butuh untuk menyegarkan otak, biar besok bisa segar menghadapi ujian," ujarku dengan suara putus asa.

"Yang ada otak kamu blank!" ujarnya dengan nada mengesalkan.

Kupikir lulus SMA, tinggal di kosan, jauh dari orangtua, bisa sedikit melegakan pikiranku yang selama ini selalu ditekan oleh keluarga. Namun, semua harapanku hanya tinggal angan-angan. Ada Kak Daren yang mengawasi.

"Jangan harap kamu bisa selamat kalau tidak bisa lolos FK," ancam Kak Daren sebelum berlalu meninggalkanku mematung di depan beranda kosan.

Semalaman pikiranku terus meresonansi ucapan Kak Daren sebelum dia pergi. Membuat mataku sulit terpejam. Ketakutan yang sempat mencair selama seharian bersama Ares mendadak kembali muncul.

Bagaimana jika aku tidak lolos Fakultas Kedokteran? Apa benar Papa akan mencoretku dari kartu keluarga seperti yang diancamkan oleh Kak Daren semenjak menjejakkan kaki di Bandung?

Tak terasa pagi menjelang. Kecemasan yang menderaku semalaman suntuk membuat kepalaku terasa berat. Entah nanti disaat ujian aku bisa berkonsentrasi dengan kondisi seperti ini atau tidak.

Baru saja aku mengunci pintu kamar, ponselku berdering. Nama Ares tertera di layar.

"Ya, Res?" sapaku heran, untuk apa cowok itu menelpon pagi-pagi.

"Aku di depan," sahutnya singkat. Lalu mematikan sambungan.

Keluar bangunan utama kosan, aku melihat Ares menunggu di depan gerbang dengan skuter tuanya. Memakai jaket jeans belel kesayangannya seperti biasa.

Senyumnya terkembang ketika aku keluar.

"Belum sarapan, 'kan, Li?"

"Belum, tadinya mau beli sarapan dekat tempat ujian aja," sahutku masih heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"Ya, sudah. Yuk cabs." Ares menyerahkan helm berlapis kulit dengan google besar berwarna coklat.

"Eh?"

"Gue kan setempat lokasi ujiannya sama lo," terangnya seakan menjawab keherananku.

"Oh. Kok nggak bilang dari kemarin?"

"Kan udah bilang barusan," sahutnya cuek.

"Yok, buruan!" sergahnya tak sabaran.

"Iya." Aku mengenakan helm yang diberikannya. Baru setengah kaki yang naik ke jok penumpang, kulihat tali sepatuku masih belum terikat sempurna.

Mengurungkan niat untuk naik ke skuter Ares, aku berjongkok mengikatkan kembali tali sepatu yang lepas.

Tiba-tiba saja skuter Ares melaju. Masih bingung kenapa aku ditinggal, aku menatap heran tanpa mampu bersuara. Skuter yang dikendarai Ares melesat keluar ke jalan utama.

"Areees! Kok aku ditinggal?" Aku berteriak sambil berlari ke arah jalan utama setelah sadar cowok itu tak sadar kalau penumpangnya belum naik.

"Gue pikir lo udah naik, Li!" tiba-tiba Ares muncul lagi dari arah jalan utama dengan wajah pias.

"Memangnya kamu enggak ngerasa kalau aku turun lagi?" rutukku melayangkan pukulan ringan ke punggungnya sambil mengatur napas. "Aku pikir kamu ngerjain." Kembali aku menggerutu setelah duduk sempurna di jok penumpang.

"Ha-ha! Suer Li! Gue enggak ngeuh lo turun lagi!" Tawanya pecah. "Untung belum terlalu jauh, gue heran kok lo enggak jawab-jawab pas gue nanya, pas gue ngelongok ke belakang, orangnya enggak ada. Ha-ha!" Tawanya makin terpingkal-pingkal.

"Dasar cowok aneh!" sungutku mencubit pinggangnya.

Di sepanjang perjalanan menuju lokasi ujian, tawa Ares tak berhenti. Menertawakan kekonyolannya sendiri. Jika ada yang berkata tawa adalah obat kecemasan, terbukti benar adanya. Gelak tawa Ares yang begitu lepas seolah membawaku ikut masuk pada dunianya yang seolah tanpa beban.

"Kamu ambil Fakultas apa, Res?" tanyaku saat kami telah sampai di lokasi.

"Enggak penting Fakultasnya, yang penting gue lulus Universitas negeri, belajar yang bener, lulus dalam waktu singkat," paparnya, seperti biasa, tanpa beban.

"Enak, ya," sahutku lemah.

"Pilihan kedua lo apa?" tanyanya kemudian.

"Aku pilih Kedokteran dua-duanya."

"Apa enggak terlalu beban, tuh? Kenapa enggak pilih Fakultas lain?"

"Aku enggak punya pilihan lain."

"Sekarang lo yang bisa nentuin hidup lo, Li. Coba lo pikirin, deh. Kalau misalnya lo enggak lolos dua-duanya, konsekuensinya apa?"

"Aku tetap harus mencari cara untuk bisa kuliah sendiri tanpa bantuan ortu," sahutku. Bingung kemana arah pembicaraan Ares.

"Lo yakin bakal lolos FK? Maaf, gue bukan ngeraguin kemampuan lo. Cuma, selama jalan sama lo, gue ngeliat passion lo bukan di sana."

Aku tercenung. Memang benar kata Ares. Aku seolah tak menemukan jiwaku di dunia Kedokteran.

"Terus, maksudnya apa?" Aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Ares.

"Coba lo sedikit take the challenge, ambil jurusan yang kira-kira lo suka untuk pilihan kedua," usulnya dengan mata berbinar.

"Ih, enggak deh! Kalau gue lolos di sana juga enggak bakal diaku sama ortu." Aku menolak mentah-mentah usulannya yang terasa tak masuk akal.

"Maksud gue gini, Li. Kalaupun ortu lo melaksanakan ancamannya, seengganya Lo masih bisa kuliah di PTN, biayanya nggak semahal kuliah di swasta," terangnya menoleh ke belakang dengan wajah serius. Untuk pertama kali aku melihat ekspresinya seperti itu.

"Gue juga nanti kuliah bakal nyari biaya sendiri. Kalau lo benar-benar di coret dari kartu keluarga, kita bikin kartu keluarga sendiri aja," kekehnya kembali dengan ekspresi jail seperti biasa.

"Apaan, sih!" sungutku menampar keras lengannya.

"Ha-ha! Abis daripada lo enggak tercatat di kartu keluarga." Ares tertawa terpingkal-pingkal.

Usulan Ares terdengar masuk akal. Sekelebat pikiran pemberontakku pun muncul. Jika memang nanti Papa benar-benar melaksanakan ancamannya, tentu aku harus memikirkan bagaimana melanjutkan pendidikanku tanpa bantuan orangtua.

Aku menyeringai seakan mendapatkan jalan setelah menemui jalan buntu. Berterima kasih pada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan cowok yang mempunyai banyak ide ini.

"Malah nyengir!" Sebuah jitakan pelan melayang di jidatku.

"I'll try!" sahutku dengan semangat baru.

"Good! Tentukan jalan hidupmu sendiri!" sahutnya. 

Meski rasa berat di kepala karena kurang tidur semalam belum reda. Namun, seolah ada separuh beban yang terasa terangkat. Apapun yang akan terjadi nanti, biarlah kupasrahkan semua pada Tuhan. Karena Tuhan yang telah menempatkanku pada posisi sulit saat ini.


Bab terkait

  • My Pain Killer   Anak yang dibuang

    Aku dan Ares berpisah di gerbang utama kampus tempat ujian seleksi dilaksanakan. Cowok itu kebagian gedung di bagian Utara kampus, sementara aku di gedung bagian Timur."Ntar kalau sudah beres, tunggu di gedung lo aja, Li. Biar gue jemput ke sana," ujarnya ketika hendak berpisah."Okay, thanks, Res."Cowok itu berlalu dari hadapanku dengan langkah panjang dan tak menoleh lagi. Aku pun beranjak ke gedungku. Bimbang tiba-tiba saja menyelubungi. Apakah aku berani menjalani konsekuensi, apabila nanti lulus di jurusan yang bukan pilihan orangtuaku?Perang batin terjadi. Antara keinginan menjadi anak yang patuh atau menjadi anak yang pemberontak. Di tengah perdebatan batin dan kepala yang kembali terasa berat, ponselku berbunyi. Panggilan dari Mama."Halo, Ma.""Sudah enggak perlu doa Mama lagi sekarang?" cecar Mama dari seberang sambungan. "Hari ini kamu ujian, kan? K

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-19
  • My Pain Killer   Apakah Tuhan Menyiksaku?

    Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku. "Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya."Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan. Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-19
  • My Pain Killer   Mahasiswa Baru

    Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya. "Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?" "Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu."Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-19
  • My Pain Killer   Menyukai Dalam Diam

    Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan. Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-20
  • My Pain Killer   Masa Lalu Ares

    Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares."Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku s

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-29
  • My Pain Killer   Hidup Bebas

    Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-30
  • My Pain Killer   Hiburan Malam

    Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • My Pain Killer   Sahabat Rasa Pacar

    Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-08

Bab terbaru

  • My Pain Killer   My Panacea, My Pain Killer

    Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa

  • My Pain Killer   Aku Yakin Kuat

    Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya

  • My Pain Killer   Menata Kembali

    Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T

  • My Pain Killer   Percaya Saja

    "Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit

  • My Pain Killer   Belajar Menerima

    Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam

  • My Pain Killer   Janin yang tak diharap

    Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin

  • My Pain Killer   Pasrah

    Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3

  • My Pain Killer   Tempat Ternyaman

    Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci

  • My Pain Killer   Mimpi Buruk

    "Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status