Home / Romansa / My Pain Killer / Hidup Bebas

Share

Hidup Bebas

Author: Alfarin
last update Last Updated: 2021-04-30 12:55:29

Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.

Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.

Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh.

"Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.

Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjolkan kelebihan pada wajahku.

Aku pun mulai tergiur mengubah penampilan. Meski belum berani seperti Agnes dengan berbagai macam alat kosmetik. Baru sebatas pada pemilihan pakaian.

Namun ada seseorang yang tidak menyukai perubahanku, Ares. Pertama kali dia melihatku ke kampus dengan rasa percaya diri yang tinggi, dia mengernyit. Memperhatikan penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Lagi mimpi apa, lo?" tanyanya dengan wajah risih.

"Kenapa?" Aku balik bertanya dengan senyum semringah. Saat akan berangkat ke kampus, aku berharap dia akan menyukai penampilan baruku. Memakai dress warna pastel selutut, rambut kugerai, dan sepatu wegdes lima senti menggantikan sepatu kets yang biasa kupakai. Tas ransel yang biasa kusandang, berganti dengan shopper bag yang lebih memberikan kesan feminim.

"Kenapa lo jadi ikut-ikutan cewek-cewek itu?" tunjuknya dengan dagu ke arah beberapa cewek di kelas, berkumpul.

"Aneh, ya?" Rasa percaya diri yang tadi sempat naik, mendadak meluncur turun.

Aku berniat mengubah penampilan agar Ares sedikit menyadari bahwa aku menarik. Jika melihat wajahnya saat itu, aku merasa,  penampilan baruku tak berguna.

"Lo lagi naksir seseorang?" bisiknya kemudian ketika dosen telah masuk.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ingin melihat reaksinya seperti apa. Seperti biasa, hanya wajah tanpa ekspresi yang kudapat.

"Lo tau, nggak? Kalau tu cowok naksir lo dengan penampilan seperti ini, gue yakin dia cuma suka kulit luar lo doang." Kembali Ares berbisik.

Aku hanya diam. Dalam hati membenarkan apa yang dikatakan Ares. Di sisi lain juga makin penasaran, seperti apa tipe cewek yang dia suka.

"Nggak usah jadi orang lain buat disukai seseorang, Li," lanjutnya kembali.

"Padahal kamu juga suka menjadi orang lain," protesku.

"Menjadi orang lain gimana?" Dia mengernyit serius.

"Berpura-pura bahagia dan selalu terlihat nggak ada masalah," sahutku ketus.

"Gue bukan pura-pura bahagia. Lagian juga bukan buat menarik perhatian orang lain. Yang gue lakuin itu agar bisa melihat sisi baik dalam hidup," katanya dengan nada terdengar sinis. "Lo pernah dengar apa yang dikatakan oleh Ernest Hemingway?" tanyanya menatapku tajam.

Aku menggeleng.

"The most paintfull things is losing yourself in the process of loving someone too much, and forgetting that you are special too," (Hal yang paling menyakitkan adalah kehilangan dirimu dalam proses mencintai seseorang, dan lupa bahwa dirimu spesial) ujarnya dengan nada rendah.

Lalu aku harus bagaimana, selama ini aku berharap kamu menyukaiku apa adanya, tapi kamu tidak pernah menyadari perasaanku. Aku merutuk dalam hati.

Hari itu Ares terlihat beda dari biasa. Dia lebih banyak diam setelah mengatakan pendapatnya. Lalu sepulang kuliah, dia langsung pergi setelah mengantarkanku ke kosan. Tidak seperti biasa, memaksaku untuk memberi izin agar dia bisa beristirahat sejenak.

Ketakutanku mulai muncul, bagaimana jika Ares mulai menjauh karena perubahanku. Keesokan harinya, aku kembali ke penampilanku semula, kemeja berlengan pendek dengan jeans belel, ransel di pundak serta rambut yang diikat ekor kuda.

"Kenapa jadi balik lagi ke style lama?" Senyum yang sedikit terkesan sinis terpampang di wajahnya.

"Kan, kemarin kamu yang bilang nggak perlu jadi orang lain buat disukai orang."

"Lo emang nggak punya pendirian, ya? Apa yang dibilangin orang, diikutin aja."

"Kamu lagi kenapa, sih, Res? Semua yang aku lakuin salah aja!" tanyaku sengit, rasanya ingin menangis melihat sikap Ares saat itu.

"Siapa yang bilang salah? Gue cuma bilang jangan suka ikut-ikutan orang. Lo lagi PMS, ya? Sensi banget."

Perdebatan kami terhenti ketika dosen masuk. Kembali aku merasakan sikap Ares yang berbeda dari biasa. Tidak terlalu banyak bicara. Bahkan jadi pelit candaan.

Menyadari perubahan Ares seperti itu, aku mulai mempersiapkan hati. Mungkin sudah saatnya tak memupuk harapan apapun bersamanya. Cukup berhenti pada titik menjadi pengagumnya, tidak lebih.

Kala itu, setelah jam kuliah berakhir, aku langsung memisahkan diri dari Ares. Janjian dengan Agnes untuk pulang bersama.

"Lagi berantem sama cowok, lo?" tanya Agnes ketika aku tiba di parkiran gedung fakultasnya.

"Aku, kan jomblo," kekehku mengusir getir yang hadir.

"Eh, gue pikir cowok yang sering nganter lo balik itu cowok lo?" Agnes mendelik penasaran.

"Bukan, cuma temen." Lagi-lagi getir itu makin menggigit.

"Temen tapi mesra amat," kekehnya. "Ya udah, ntar malam ikut gue aja, yuk!" ajaknya kemudian dengan penuh semangat.

"Kemana?"

"Clubbing."

"Dugem?" tanyaku memastikan.

"Iya. Cowok gue open table di salah satu klub di Bandung. Biar rame. Entar gue kenalin sama temen cowok gue deh," bujuknya tersenyum manis.

Tak lantas mengiyakan ajakan Agnes. Aku tidak begitu tertarik dengan dunia malam yang penuh gemerlap itu. Namun demi berusaha melepaskan pikiranku terhadap Ares, aku mulai mempertimbangkan ajakan gadis itu.

Agnes tak henti-hentinya bercerita di sepanjang perjalanan pulang. Sementara pikiranku masih berputar di sekitar Ares. Ponselku pun tak berhenti bergetar. Kulirik benda itu sekilas, panggilan dari Ares, lalu mengabaikannya. Akhirnya Ares menyerah menghubungiku. Panggilannya berhenti di angka lima belas kali panggilan tak terjawab.

Lalu ketika kami sampai di kos, kulihat Ares sudah menunggu di atas skuter tuanya di depan gerbang. Beruntung kaca mobil Agnes cukup gelap, sehingga dia tidak menyadari bahwa aku berada di mobil yang berhenti di sampingnya.

"Itu cowok lo, kan?" tunjuk Agnes ketika menghentikan mobilnya.

"Kan udah aku bilang, bukan cowokku." Aku meringis. 

"Oh iya, tapi kayaknya dia nungguin lo, tuh."

"Biarin aja, lagi kesel ama dia," gerutuku, makin membenamkan diri di jok kursi penumpang.

"Oh, biar gue yang buka gerbang aja kalau gitu. Lo diem aja di sini." Agnes tersenyum dan menepuk pelan bahuku.

Aku hanya memperhatikan gadis itu melenggang anggun, dari dalam mobil. Agnes tampak mendekati Ares. Entah apa yang mereka bicarakan. Wajah Ares terlihat kecewa. Setelahnya cowok itu menyalakan skuter dan berlalu dari depan kos.

"Kamu bilang apa sama Ares?" rasa penasaran membuatku langsung bertanya pada Agnes ketika dia kembali ke mobil.

"Cuma nanya nyari siapa, terus pas dia bilang nyariin lo, gue bilang aja lo lagi nggak mau di ganggu."

"Udah?" Aku menatap Agnes tak percaya.

"Ya ... udah, makanya dia langsung pergi. Emangnya lo ngarep dia bilang apa?" Agnes tersenyum iseng.

"Ng ... nggak ada siih," sahutku tersenyum kikuk. Aku sedikit berharap dia menyampaikan pesan pada Agnes, sekedar permintaan maaf atau basa-basi.

"Kecengan lo, ya?" tanya Agnes tersenyum jahil.

"Ha-ha, enggak juga," tepisku masih mencoba menyimpan sendiri perasaanku terhadap Ares.

"Ha-ha, nggak usah malu gitu ah! Cakep kok tu cowok, cuma kurang memperhatikan penampilan aja. Make over dikit, bakal jadi idol deh, tuh!" papar Agnes.

Cewek yang satu itu memang penglihatannya jeli akan potensi seseorang. Di matanya tidak ada orang jelek, hanya orang yang tidak bisa memunculkan kelebihannya saja.

Kesan pertama jika bertemu Agnes, mungkin orang akan menganggapnya cewek angkuh. Karena penampilannya memang bak artis. Namun dibalik penampilannya yang glamor, gadis itu ramah terhadap semua orang.

Aku menghempaskan tubuh di kasur ketika sampai di kamar. Berharap siang ini bisa sejenak mengistirahatkan pikiranku dari memikirkan Ares. Namun bayangan wajah kecewanya masih saja tak mau pergi.

*****

Suara gedoran di pintu mengagetkanku. Kamar sudah gelap. Lamat-lamat kudengar suara Agnes memanggil dari luar kamar. Tanpa membalas panggilan Agnes, aku bangkit dari tempat tidur. Menyalakan lampu, melirik jam di dinding. Sudah pukul 18.30. Ternyata aku tertidur hampir tiga jam.

"Gue pikir lo pingsan!" Suara Agnes melengking ketika kubukakan pintu.

"Kecapean, semalam aku begadang ngurusin kerjaan," sahutku masih dengan mata yang terasa berat.

"Buruan mandi, bentar lagi berangkat ke Bandung." Agnes mendorong tubuhku kembali ke kamar.

"Emangnya pergi jam berapa?"

"Sebelum pagar di gembok, kita udah keluar. Udah buruan sana, ntar abis mandi ke kamar gue," titah gadis itu.

"Ntar dulu. Ntar kita pulangnya gimana?" Seketika kantukku sirna karena mendengar pernyataan Agnes.

"Kita nggak balik ke kosan lagi malam ini. Nginep di apartemen cowok gue," terang Agnes.

"Nggak, deh. Aku nggak enak." Rasa takutku muncul.

"Udah nyantai aja. Orang biasa pada Nginep di sana kalau abis pulang clubbing, kok."

"Tapi, kan aku belum kenal cowokmu," ujarku masih berusaha untuk menolak ajakannya.

"Ah, elah dibikin ribet. Nanti gue kenalin sama cowok gue, sama teman-temannya yang lain juga. Udah! Buruan sana!"

Merasa kalah argumen dengan Agnes akhirnya kuseret langkah ke kamar mandi. Mengenyahkan perasaan was-was yang seketika hadir. Itu adalah kali pertamaku mengenal dunia malam. Antara takut dan bersemangat.

Agnes mendadaniku kembali dengan cekatan. Mini dress yang dipilihkannya untukku malam itu. Karena tidak terbiasa dengan pakaian terbuka, aku merasa risih. Berkali-kali kutarik dress diatas lutus itu agar menutupi bagian bawah tubuhku yang terbuka. Meski pada akhirnya, aku menyerah, mencoba membiasakan diri dengan pakaian minim itu.

Lima menit sebelum pintu gerbang kos ditutup, kami keluar. Bukan hanya ada aku, beberapa penghuni kos lain yang turut serta. Sherly, Viona, dan Elsa. Penampilan mereka juga tak kalah glamor.

Seiring melajunya city car Agnes meninggalkan bangunan kos, hatiku makin terasa was-was. Berbagai kekhawatiran membuat udara dingin malam itu tak begitu terasa. Keringat membanjiri tubuhku. Apa yang akan terjadi nanti di klub malam itu? Aku mencoba mereka-reka gambaran klub malam yang akan kami kunjungi. Semakin aku mengingatnya, semakin rasa takut itu membesar.

Memasuki tol Cileunyi, aku berusaha membuang jauh segala pikiran burukku. Berharap acara malam itu berjalan baik.

Related chapters

  • My Pain Killer   Hiburan Malam

    Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me

    Last Updated : 2021-05-07
  • My Pain Killer   Sahabat Rasa Pacar

    Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke

    Last Updated : 2021-05-08
  • My Pain Killer   Sahabat

    Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak

    Last Updated : 2021-05-13
  • My Pain Killer   Rahasia Yang Terbongkar

    Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan

    Last Updated : 2021-05-15
  • My Pain Killer   Meluruskan Kesalahpahaman

    "Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti

    Last Updated : 2021-05-16
  • My Pain Killer   Berpindah Hati

    Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi."Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah ko

    Last Updated : 2021-05-18
  • My Pain Killer   Tak Mau Sendiri

    Tidak ada perasaan berbunga-bunga, tidak ada rasa deg-degan saat mendengar dan menjawab pernyataan Rio. Semua mengalir begitu saja seolah tanpa makna. Aku menerima Rio hanya karena takut menjalani hariku sendirian.Rio langsung mengantarku kembali ke tempat kos begitu kami selesai makan. Wajah tegang yang sedari tadi menggantung di wajahnya telah sirna. Digantikan senyum simpul yang tak lepas dari bibirnya. Meski jalanan yang kami lalui diserang macet, tak mempengaruhi suasana hatinya."Besok kuliah pukul berapa?" Dia menoleh padaku. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok, dan menatapku lekat. Lekuk garis wajahnya terlihat tegas diantara keremangan lampu jalanan."Pukul delapan," sahutku membalas tatapannya. Berharap akan ada setitik rasa yang sama seperti kurasakan pada Ares ketika menatap manik matanya. Namun, tetap saja tak ada rasa apa pun yang hadir."Aku jemput, ya?"

    Last Updated : 2021-05-20
  • My Pain Killer   Masih Mencarimu

    [By, hari ini kerja, nggak?] Satu pesan dari Rio kuterima ketika keluar dari kelas terakhir, siang ini.Akhir-akhir ini Rio memanggilku 'Baby'. Meski beberapa kali kuprotes, ia tak menggubrisnya. Lelah berdebat hanya masalah panggilan, aku memilih membiarkan sesuka hatinya hendak memanggilku apa. Bagiku tak ada bedanya.[Nggak, kenapa?] Aku membalas segera.[Aku masih ada rapat untuk persiapan Bunkasai*. Kamu tunggu, ya.] [Aku pulang sendiri aja. Takut kamu lama.][Kamu tunggu bentar. Aku nggak lama.] lagi-lagi Rio tak mengizinkanku pulang sendiri.Semenjak pacaran dengannya, waktuku makin banyak habis bersamanya. Lebih parah dibanding sebelum bersama Ares. Sedikit demi sedikit, aku mulai merasa ketergantungan padanya. Setiap kali hendak pergi ke suatu tempat, seperti sebuah keharusan untuk melapor. L

    Last Updated : 2021-05-21

Latest chapter

  • My Pain Killer   My Panacea, My Pain Killer

    Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa

  • My Pain Killer   Aku Yakin Kuat

    Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya

  • My Pain Killer   Menata Kembali

    Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T

  • My Pain Killer   Percaya Saja

    "Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit

  • My Pain Killer   Belajar Menerima

    Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam

  • My Pain Killer   Janin yang tak diharap

    Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin

  • My Pain Killer   Pasrah

    Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3

  • My Pain Killer   Tempat Ternyaman

    Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci

  • My Pain Killer   Mimpi Buruk

    "Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status