[By, hari ini kerja, nggak?] Satu pesan dari Rio kuterima ketika keluar dari kelas terakhir, siang ini.
Akhir-akhir ini Rio memanggilku 'Baby'. Meski beberapa kali kuprotes, ia tak menggubrisnya. Lelah berdebat hanya masalah panggilan, aku memilih membiarkan sesuka hatinya hendak memanggilku apa. Bagiku tak ada bedanya.[Nggak, kenapa?] Aku membalas segera.[Aku masih ada rapat untuk persiapan Bunkasai*. Kamu tunggu, ya.] [Aku pulang sendiri aja. Takut kamu lama.][Kamu tunggu bentar. Aku nggak lama.] lagi-lagi Rio tak mengizinkanku pulang sendiri.Semenjak pacaran dengannya, waktuku makin banyak habis bersamanya. Lebih parah dibanding sebelum bersama Ares.
Sedikit demi sedikit, aku mulai merasa ketergantungan padanya. Setiap kali hendak pergi ke suatu tempat, seperti sebuah keharusan untuk melapor. LPikiranku tak lepas dari bayangan Ares. Berkali-kali kuperiksa ponsel. Menunggu balasan dari Aldo, tapi hingga keluar dari tempat billiard, tak ada pesan yang kuterima."Kamu tidak senang dengan surprise tadi, By?" Rio terlihat kecewa. "Apa karena tempatnya nggak tepat?" tanyanya kembali."Aku senang, kok. Baru kali ini aku mendapat kejutan seperti ini. Makasih, ya!" Aku berusaha mengembalikan fokus pada cowok yang sedang menyetir di sampingku. Sebuah boneka beruang yang cukup besar hadiah dari Rio, kini berada di pelukanku. Membantu meredam rasa dingin dari pendingin udara di dalam mobil."Tapi wajahmu menunjukkan sebaliknya," ujarnya menoleh sekilas padaku."Aku lagi khawatir. Aldo mengabarkan kalau Ares masuk rumah sakit." Akhirnya kuutarakan apa yang menyebabkanku gundah.Kulihat rahang Rio mengeras, "Kamu masih mikirin dia, ternyata," ucapn
Memasuki bangunan rumah sakit, perasaanku makin tak menentu. Tiba-tiba saja ragu menyerang. Langkahku terhenti di depan pintu kamar tempat Ares dirawat. Bau menusuk khas rumah sakit membuatku mual.Jika bukan karena Ares, aku tidak akan melangkahkan kakiku memasuki gedung ini. Rumah sakit selalu mengingatkanku pada kedua orangtuaku. Mengingatkanku akan rasa kecewa atas harapan mereka yang tak pernah mampu kuwujudkan. Membuatku merasa jadi manusia gagal.Aku mengurungkan niat untuk menarik kenop pintu. Menatap ragu pintu kayu yang membatasi jarak antara aku dan Ares. Tiba-tiba saja pintu itu terbuka, dan wajah Aldo muncul dari sana."Eh, udah datang? Sana masuk." Aldo membukakan pintu lebih lebar untukku. Wajahnya terlihat sedikit lelah. Mungkin karena semalam begadang menemani Ares."Aku takut, Do," sahutku lirih, masih tak bergerak dari tempatku berdiri."Memangnya mau masu
I should counting on the blessing I have. So I have no time for complaining about my life. I have thousands reasons to smile, when I stop looking for something that I never have.*****"By, kerjaan kamu masih lama nggak kelarnya? Kita jadi nonton?"Aku mengalihkan perhatian dari layar laptop. Baru sadar kalau Rio masih ada di kamar. Sedari tadi sibuk menguak-atik desain yang akan diserahkan ke Kang Dadan membuatku lupa akan keberadaan cowok itu."Masih agak lama, sih ... tapi ayo aja kalau mau nonton, aku butuh penyegaran biar dapat ide baru." Aku memutar tubuh menghadap Rio yang tengah berbaring sambil memainkan game consol di belakangku.Rio bangkit ke posisi duduk, menatapku heran. Selama ini aku lebih sering menolak jika Rio mengajak kencan. Kalau pun aku setuju, biasanya setelah dia berusaha mengajakku berkali-kali."Bentar, aku siap-siap dulu.
Warna jingga telah memenuhi langit ketika kami memasuki area mall. Gugusan awan tipis kelabu membuat jingganya terlihat lebih berwarna. Sebenarnya aku tak begitu menyukai senja. Karena ia mengingatkanku akan sebuah kepasrahan. Tak peduli betapa kuatnya sang mentari membakar siang, pada akhirnya dia pasrah untuk takluk pada malam yang menenggelamkan cahayanya. Sama seperti diriku, tak peduli seberapa kuatnya keinginanku untuk terus menggambar, pada akhirnya aku harus pasrah menjadi anak yang disisihkan karena tak dapat mewujudkan harapan kedua orangtuaku."Damn! Keduluan lagi!" Suara Rio menyentakkanku. Meninggalkan kilasan kekecewaan di balik lembayung senja.Sore ini pengunjung mall sepertinya cukup ramai. Terlihat dari tempat parkir yang hampir semuanya terisi penuh. Kulirik wajah Rio, ia terlihat sedikit gusar. Entah putaran keberapa kali yang dia lakukan, masih saja belum ada lahan parkir yang kosong.
Aku mengerjap tak percaya menatap isi dus pemberian Rio. Seperangkat pen tablet seri terbaru. Gadget yang berfungsi sebagai alat untuk menggambar ilustrasi yang nantinya dihubungkan pada komputer. Memang alat yang kuidam-idamkan semenjak beberapa bulan terakhir, untuk menunjang pekerjaanku membuat desain."Halo, By? Kenapa? Kangen, ya?" Terdengar suara Rio terkekeh menyahut dari ujung sambungan telepon setelah tiga kali aku mencoba menghubunginya."Uhm ... ini nggak salah kamu kasih aku hadiah barang mahal gini?" tanyaku mengabaikan candaannya."Itu yang kamu pengen dari kemaren, kan? Apa aku salah beli?" Dia balik bertanya."Iya, tapi ini terlalu berlebihan.""Nggak, kok, By. Itu cuma ....""Maksud aku, kamu masih belum kerja. Beliin aku barang mahal kayak gini, nggak enak sama orangtua kamu.
Menjelang sore, kosan mulai sepi. Tania pergi bersama Bayu—pacarnya. Beberapa penghuni kos yang lain juga tampaknya menghabiskan minggu sore mereka di luar kos. Sepertinya hanya aku penghuni yang tersisa.Rio tadi mengabarkan bahwa dia akan datang ke tempatku sore, karena masih ada rapat koordinasi untuk pelaksanaan Bunkasai yang tinggal dua minggu lagi. Maka aku bebas menggunakan waktu tanpa kehadirannya.Seharian aku berkutat di depan laptop, mencoba pen tablet pemberian Rio. Sambil mendengarkan musik dan turut bernyanyi sesekali. Bahagia yang kurasa tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Benda yang telah kuidam-idamkan semenjak lama kini ada di dalam genggaman.Alat ini memang sangat memudahkanku dalam membuat desain. Rasanya seperti menggambar langsung pada kertas. Bedanya, hasil goresan tanganku langsung bisa muncul di layar laptop. Menghemat waktu dan tenaga, dan hasilnya ju
Setelah selesai makan malam dan mengantarku kembali ke kos, Rio langsung pamit pulang. Tampaknya dia juga sudah lelah seharian mengurus segala persiapan untuk acara Bunkasai. Biasanya, dia masih betah berlama-lama bersamaku meski sudah larut dan kusuruh pulang berkali-kali. Rintik rinai kecil mulai turun ketika dia hendak pergi. Rio bergegas masuk mobil. Aku hanya menatapnya dari pinggiran teras yang berbatasan langsung dengan lapangan parkir."Istirahat, ya, By. Jangan begadang lagi malam ini. Mata kamu udah kayak mata panda," ujarnya sebelum menginjak pedal gas dan mengulas senyum tipis."Hai, wakatta. Arigatou Rio-kun. Ja mata ashita.*" Aku menjawab dengan gaya sok imut, menirukan para cewek Jepang berbicara."Ha-ha, sudah mulai berani ngegodain, ya!" kekehnya, kemudian melambai dan melajuk
Aku baru saja hendak beranjak meninggalkan area panggung biru, ketika tanganku ditarik seseorang. Tanpa melihatnya, aku sudah tau tangan milik siapa."Res?" Aku berbalik menatap si pemilik tangan."Li, ngobrol sebentar, yuk!" Ares melepaskan genggamannya. Ekspresinya sesantai biasa. Tak terlihat canggung meski sudah lama kami tidak saling bicara.Hatiku membuncah bahagia, demi mendengar dia berbicara kembali denganku. Sudah hampir satu bulan dari terakhir kali aku berbicara dan bertatap muka dengannya. Tak pernah menyangka akan kembali mendengarnya memanggil namaku.Aku menjawab dengan anggukan. Ares mengajakku menepi dari hingarnya panggung biru, menuju selasar gedung yang menghadap taman. Dia duduk di salah satu bangku, menepuk sisinya yang kosong sambil menatapku dengan seulas senyum. Aku duduk perlahan di sampingnya, tak mau melepaskan tatapan dari
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala