Warna jingga telah memenuhi langit ketika kami memasuki area mall. Gugusan awan tipis kelabu membuat jingganya terlihat lebih berwarna. Sebenarnya aku tak begitu menyukai senja. Karena ia mengingatkanku akan sebuah kepasrahan. Tak peduli betapa kuatnya sang mentari membakar siang, pada akhirnya dia pasrah untuk takluk pada malam yang menenggelamkan cahayanya.
Sama seperti diriku, tak peduli seberapa kuatnya keinginanku untuk terus menggambar, pada akhirnya aku harus pasrah menjadi anak yang disisihkan karena tak dapat mewujudkan harapan kedua orangtuaku."Damn! Keduluan lagi!" Suara Rio menyentakkanku. Meninggalkan kilasan kekecewaan di balik lembayung senja.
Sore ini pengunjung mall sepertinya cukup ramai. Terlihat dari tempat parkir yang hampir semuanya terisi penuh. Kulirik wajah Rio, ia terlihat sedikit gusar. Entah putaran keberapa kali yang dia lakukan, masih saja belum ada lahan parkir yang kosong.Aku mengerjap tak percaya menatap isi dus pemberian Rio. Seperangkat pen tablet seri terbaru. Gadget yang berfungsi sebagai alat untuk menggambar ilustrasi yang nantinya dihubungkan pada komputer. Memang alat yang kuidam-idamkan semenjak beberapa bulan terakhir, untuk menunjang pekerjaanku membuat desain."Halo, By? Kenapa? Kangen, ya?" Terdengar suara Rio terkekeh menyahut dari ujung sambungan telepon setelah tiga kali aku mencoba menghubunginya."Uhm ... ini nggak salah kamu kasih aku hadiah barang mahal gini?" tanyaku mengabaikan candaannya."Itu yang kamu pengen dari kemaren, kan? Apa aku salah beli?" Dia balik bertanya."Iya, tapi ini terlalu berlebihan.""Nggak, kok, By. Itu cuma ....""Maksud aku, kamu masih belum kerja. Beliin aku barang mahal kayak gini, nggak enak sama orangtua kamu.
Menjelang sore, kosan mulai sepi. Tania pergi bersama Bayu—pacarnya. Beberapa penghuni kos yang lain juga tampaknya menghabiskan minggu sore mereka di luar kos. Sepertinya hanya aku penghuni yang tersisa.Rio tadi mengabarkan bahwa dia akan datang ke tempatku sore, karena masih ada rapat koordinasi untuk pelaksanaan Bunkasai yang tinggal dua minggu lagi. Maka aku bebas menggunakan waktu tanpa kehadirannya.Seharian aku berkutat di depan laptop, mencoba pen tablet pemberian Rio. Sambil mendengarkan musik dan turut bernyanyi sesekali. Bahagia yang kurasa tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Benda yang telah kuidam-idamkan semenjak lama kini ada di dalam genggaman.Alat ini memang sangat memudahkanku dalam membuat desain. Rasanya seperti menggambar langsung pada kertas. Bedanya, hasil goresan tanganku langsung bisa muncul di layar laptop. Menghemat waktu dan tenaga, dan hasilnya ju
Setelah selesai makan malam dan mengantarku kembali ke kos, Rio langsung pamit pulang. Tampaknya dia juga sudah lelah seharian mengurus segala persiapan untuk acara Bunkasai. Biasanya, dia masih betah berlama-lama bersamaku meski sudah larut dan kusuruh pulang berkali-kali. Rintik rinai kecil mulai turun ketika dia hendak pergi. Rio bergegas masuk mobil. Aku hanya menatapnya dari pinggiran teras yang berbatasan langsung dengan lapangan parkir."Istirahat, ya, By. Jangan begadang lagi malam ini. Mata kamu udah kayak mata panda," ujarnya sebelum menginjak pedal gas dan mengulas senyum tipis."Hai, wakatta. Arigatou Rio-kun. Ja mata ashita.*" Aku menjawab dengan gaya sok imut, menirukan para cewek Jepang berbicara."Ha-ha, sudah mulai berani ngegodain, ya!" kekehnya, kemudian melambai dan melajuk
Aku baru saja hendak beranjak meninggalkan area panggung biru, ketika tanganku ditarik seseorang. Tanpa melihatnya, aku sudah tau tangan milik siapa."Res?" Aku berbalik menatap si pemilik tangan."Li, ngobrol sebentar, yuk!" Ares melepaskan genggamannya. Ekspresinya sesantai biasa. Tak terlihat canggung meski sudah lama kami tidak saling bicara.Hatiku membuncah bahagia, demi mendengar dia berbicara kembali denganku. Sudah hampir satu bulan dari terakhir kali aku berbicara dan bertatap muka dengannya. Tak pernah menyangka akan kembali mendengarnya memanggil namaku.Aku menjawab dengan anggukan. Ares mengajakku menepi dari hingarnya panggung biru, menuju selasar gedung yang menghadap taman. Dia duduk di salah satu bangku, menepuk sisinya yang kosong sambil menatapku dengan seulas senyum. Aku duduk perlahan di sampingnya, tak mau melepaskan tatapan dari
Sesuai rencana, hari ini aku bersiap menemui Kak Daren. Dia mengabarkan bahwa kereta yang ia tumpangi akan sampai di Bandung pukul dua siang. Rio sudah datang dari pagi ke tempatku. Seperti biasa, mengajak sarapan bersama dan merecokiku yang masih berkutat dengan beberapa desain yang masih belum beres."By, Kakakmu orangnya gimana?" tanya Rio tiba-tiba.Aku menghentikan kegiatanku, berbalik menghadapnya. Memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan Kak Daren."Uhm, standar kebanyakan anak FK, lah ya. Nggak terlalu banyak ngomong. Ngomongnya juga agak kaku. Ntar lihat sendiri, deh."Rio tercenung."Kira-kira aku bisa nyambung sama kakak kamu, nggak?" tanyanya kembali."Nggak nyambung juga nggak apa-apa. Aku aja susah nyambungnya," kekehku kembali menatap bayanganku di cermin."Tapi kok Ares bisa?" Pertanyaannya sontak membuatku membeku. Perlahan aku k
Bandung pagi ini diguyur hujan. Membuatku makin malas untuk keluar dari gulungan selimut. Rasa hangat yang diberikannya bagai daya magis yang tak mampu kutepis. Aku benar-benar mencintai selimut lebih dari apapun untuk saat ini. Bahkan bunyi perut yang minta diisi pun kuabaikan.Aku kembali memejamkan mata, menikmati kenyamanan selimut dan kasur, sejoli yang amat kucintai. Hari ini sudah memasuki liburan semester. Aku bisa bebas seharian menikmati waktu bermesraan dengan kedua sejoli ini.Rio semalam mengabarkan bahwa dia akan menemani Kak Daren. Dan kemungkinan dia tidak akan mengunjungiku hari ini. Entah pelet apa yang dia gunakan hingga bisa meluluhkan hati kakakku yang dinginnya melebihi es di kutub utara itu. Atau malah sebaliknya? Kak Daren yang mau membuka diri karena dia merasa membutuhkan Rio.Aku tidak tau hipotesa mana yang
Rio tampak beberapa kali menyeka keringatnya, padahal pendingin udara di dalam mobil sudah diatur maksimal. Aku saja sudah menggigil kedinginan, pakaian yang kupakai juga sudah cukup tebal. Aku sengaja memilih kaos turtle neck dengan blazer berbahan semi wool untuk mengurangi rasa dingin kota Bandung pagi ini."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku mengusap lengannya. Hal yang jarang kulakukan, tapi melihat gelagatnya yang tak biasa, membuatku jadi khawatir."Ha-ha, aku gugup," balasnya dengan senyum kaku.Entah kemana rasa percaya diri cowok ini menguap. Selama ini dia selalu terlihat santai kemana pun kami pergi, baik ketika hendak bertemu dengan teman lama, maupun dengan orang baru. Baru kali ini kulihat wajahnya segugup ini."Biasa aja, sih. Yang bakal kamu temui nanti manusia biasa juga, b
Suasana hening menyekap. Tidak ada yang berani angkat suara. Yang terdengar hanya suara obrolan hangat pengunjung lain dari meja sebelah kami. Di mejaku, semua sibuk dengan hidangan yang ada di piring masing-masing. Rio terlihat makin gelisah. Berkali-kali kulihat dia melirik ke arah Papa.Ini adalah acara makan siang tercanggung yang pernah kualami. Bahkan hingga semua selesai makan pun, masih belum ada yang berani berbicara meski hanya sekedar obrolan ringan seperti yang kulihat pada keluarga yang lain.Lalu, kudengar Rio berdehem pelan di sampingku. "Maaf, Om ... Tante ... mungkin ini agak terkesan lancang. Tapi saya tidak tahu kapan bisa dapat momen seperti ini lagi. Bertemu dengan keluarga lengkap Lia ...." Rio menjeda. Papa melotot, Mama seperti menahan napas. Kak Daren dan Kak Arsya berpandang-pandangan. Aku pun tak kalah tegang.
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala