Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."
Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah.Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Mencoba mengusir kembali segala ketakutanku. Berusaha meyakinkan diri, bahwa Agnes tidak akan berbuat macam-macam dan menjerumuskanku pada hal-hal yang tidak baik.Lift berhenti di lantai sembilan. Kembali Agnes melenggang keluar diikuti ketiga gadis lainnya termasuk aku. Dia berhenti di sebuah pintu yang tak jauh dari lift dan memencet nomor akses pada pintu. Agnes memberi isyarat agar kami menunggu sebentar ketika ia membuka pintu."Erik?" Agnes memanggil setengah berteriak."Yap, honey aku lagi di kamar mandi." Terdengar sahutan suara cowok dari dalam."Aku masuk, ya. Bareng teman-teman," ujar Agnes kembali setengah berteriak."Okay. Sebentar lagi aku beres."Sebuah ruangan bertipe studio menyambut kami. Ruangan khas cowok dengan beberapa benda bertaburan di ruang depan TV. Di samping kanan pintu masuk terdapat pantry kecil, juga penuh dengan peralatan bekas makan yang belum dibersihkan.
"Sory, ya. Berantakan," seorang cowok berperawakan bak model keluar dari kamar mandi di belakang kami."Hei, aku baru liat temanmu yang ini," tunjuk cowok yang bernama Erik itu padaku."Oh iya, ini Lia. Teman samping kamarku," sahut Agnes. "Lia, kenalin cowok gue." Agnes merangkul pundakku.Tidak lama setelah perkenalan dengan Erik, beberapa temannya datang.
"Eh, lo Lia, kan?" sapa seorang cowok."Lo udah kenal?" Agnes balik bertanya sebelum aku menjawab."Sering liat bareng Ares." Dia menjawab pertanyaan Agnes tanpa memalingkan wajah dariku.Aku terkesiap mendengar nama itu."Jeli juga mata, lo. Padahal, kan biasa Lia nggak dandan," puji Agnes menepuk-nepuk bahu cowok itu."Eh, gue Rio," ujarnya menyodorkan tangan, kembali mengabaikan Agnes. Tatapannya masih tak lepas dariku. Membuatku makin merasa risih."Lia," sahutku rikuh."Ya udah, cabs yuk!" Erik mengajak para tamunya keluar."Rio, lo bawa mobil?" tanya Agnes."Nggak, gue bareng Egi." Akhirnya tatapan Rio beralih pada Agnes."Ya udah, lo bareng Rio aja ya, Li." Agnes menoleh padaku. "Nih, lo bawa mobil gue." Agnes menyerahkan kunci mobil ke tangan Rio dan berlalu keluar unit Erik."Yuk!" Rio menarik tanganku, yang langsung kutarik karena tak terbiasa."Eh, sorry," ucapnya sambil mengangkat kedua telapak tangannya.Para gadis berpisah, ikut dengan pasangan masing-masing. Aku dengan Rio di mobil Agnes. Seketika menyesal telah turut bersama mereka. Tak terlintas dalam benakku bahwa mereka akan memisahkan diri seperti saat itu."Tumben nggak bareng Ares?" Suara Rio memecah keheningan sedari keluar parkiran apartmen tadi."Ya, enggak harus bareng terus, kan? Aku sama dia punya hidup masing-masing," sahutku dingin. Sementara tanganku masih berusaha menutupi bagian paha yang terbuka karena dress yang kukenakan makin tertarik ke atas."He-he Iya, sih." Rio melirikku sekilas. "Pakai jaket gue aja buat nutupin, nih." Tiba-tiba cowok itu menyerahkan jaketnya, seakan membaca apa yang membuatku tidak nyaman."Thanks.""Kalau nggak nyaman pakai pakaian seperti itu kenapa maksa make, sih?" kembali Rio bersuara. Kali ini tanpa menoleh padaku. Ada nada kasian yang kutangkap dari nada suaranya."Agnes yang memaksa," sahutku jujur.Rio lalu membelokkan mobil ke sebuah mini market dua puluh empat jam, "Tunggu bentar, ya." cowok itu berlalu meninggalkanku di dalam mobil.Aku hanya memperhatikannya masuk ke dalam mini market. Selang beberapa saat dia kembali dengan sebuah plastik di tangan."Pakai ini aja, biar nggak terlalu kebuka," ujarnya menyerahkan plastik itu padaku, yang ternyata sebuah stocking berwarna hitam.Tak lantas mengucapkan terima kasih, aku hanya terpana menatap bungkusan itu. Tidak terpikirkan bahwa Rio akan membelikanku benda itu. Rasa asing mendadak memaksa masuk ke hatiku. Entah rasa apa yang tiba-tiba kurasa saat itu."Malah bengong, buruan pake, gue tunggu di luar," ujarnya sambil menutup pintu mobil.Tak pernah terbayangkan rasanya menjadi orang yang awalnya diabaikan, lalu tiba-tiba mendapat perhatian bertubi-tubi dari orang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganku. Terharu, lebih tepatnya yang kurasakan saat itu.Disaat aku merasa selalu diabaikan oleh keluargaku, aku dipertemukan dengan orang asing yang memberi perhatian yang tidak kudapat itu. Rasanya seperti dikeluarkan dari tempat sampah dan didaur ulang. Aku merasa menjadi pribadi baru.Rio mengetuk kaca mobil, "Udah belum?" tanyanya dari luar.Aku menurunkan kaca mobil pada sisi penumpang, "Udah, yuk."Kami kembali melaju meninggalkan mini market. Aku merasa sedikit nyaman karena bagian kaki sudah tertutup."Lo pertama kali ikut clubbing, ya?" tanya Rio masih fokus ke jalan."Iya."Rio hanya manggut-manggut"Kamu kenal Ares darimana?" rasa penasaran membuatku menghilangkan rasa sungkan terhadapnya."Dia teman SMA gue. Jarang-jarang gue liat dia bareng ama cewek. Hebat juga lo bisa deketin dia," ujarnya menatapku sekilas dengan seulas senyum."Terus kok kamu tau aku sering bareng dia?""Gue, kan, anak FIB juga, gue sering liat lo kok di kampus. Lo aja yang nggak ngeh," kekehnya. "Gitu emang kalau orang lagi jatuh cinta mah, ya. Yang diliat cuma orang yang disayangnya aja. Yang lain butiran debu." Rio tergelak.Suasana kaku yang kurasa dari awal perjalanan mendadak cair. Aku merasa sifat Rio hampir mirip dengan Ares. Sehingga kesulitanku berbaur dengan orang baru menjadi tersingkirkan. Lagi-lagi aku kepikiran cowok cuek itu.Wajah kecewanya ketika meninggalkan kosku, kembali membuatku merasa bersalah. Bahkan aku juga tidak mau menerima telepon darinya. Rasa bersalah yang berlipat, kemudian disingkirkan egoku, "Suruh siapa jadi orang nyebelin. Bukan pacar tapi ngatur-ngatur.""Yuk, turun." Suara Rio membuatku terkesiap.
"Eh, udah nyampe?""Ngelamun mulu dari tadi," ujarnya dengan tawa ringan."Ha-ha, ngantuk sih tepatnya," sahutku sambil membuka pintu mobil."Masih siang ini," kekehnya ringan.Hentakan musik seketika terasa menampar gendang telingaku ketika kami memasuki ruangan kelab. Bau nikotin berpadu aroma minuman dan parfum pengunjung, memenuhi indera penciuman. Lampu laser berwarna-warni menghiasi ruangan yang gelap. Aku merasa seakan memasuki dunia lain.Itu adalah kali pertamaku menjejakkan kaki di kelab malam. Sesekali terdengar suara sorakan dan teriakan pengunjung. Tumpang tindih dengan musik yang sedang dimainkan Disk Jockey. Rasa tak nyaman dengan keriuhan, membuatku makin gugup.Rio kembali menarik tanganku. Aku bergeming, membiarkan cowok itu menuntunku berjalan melewati beberapa pengunjung diantara keremangan ruangan. Kesan yang ditunjukkannya selama di perjalanan, membuatku bisa memercayainya."Lama banget kalian. Ngapain dulu?" sambut Erik begitu kami sampai di meja."Ah, biasa. Kayak yang nggak ngalamin aja," kekeh Rio, kemudian menarikkan sebuah kursi untukku."Ciee ...." Agnes dan ketiga gadis lainnya kompak menggoda kami."Langsung jadi aja, nih!" Komen Erik.Aku yang masih belum terlalu akrab dengan mereka hanya bisa tersenyum kikuk. Membiarkan Rio yang membalas godaan teman-temannya yang lain.Selama berada di sana, aku hanya memperhatikan pengunjung dan teman-temanku yang riuh bercengkrama. Sesekali mereka meninggalkanku turun melantai jika musik yang dimainkan Disk Jockey menarik. Hanya aku dan Rio yang bertahan di meja. Beberapa kali Agnes mengajakku turut melantai, tapi selalu kutolak. Aku tidak terbiasa dan merasa tidak nyaman.Rasanya ingin pergi dari tempat itu, tapi aku tidak tau hendak kemana."Masih mau di sini?" tanya Rio tiba-tiba, seakan memahami perasaan tidak nyamanku."Mau nggak mau. Emangnya mau kemana lagi?" tanyaku mengangkat bahu."Mau pulang? Biar gue antar," tawarnya."Kosanku udah tutup jam segini."Aku sudah tidak punya pilihan. Bertahan di sana, menunggu mereka selesai bersenang-senang adalah satu-satunya pilihan kendati rasa tak nyaman yang kurasa telah memuncak."Terus entar lo nginap di mana?""Di tempat Erik bareng Agnes."Rio tampak berpikir sejenak."Kalau nggak, kita ngider aja dulu. Daripada lo nggak nyaman gitu," katanya sambil menjentikan jari.Aku berpikir sejenak. Menatap Rio sekilas. Merasa cowok itu dapat dipercaya, aku mengangguk menyetujui ajakannya untuk keluar dari ruangan kelab malam tersebut.Tanpa meminta izin pada yang lain, kami meninggalkan kelab. Perlahan dentuman musik mulai terdengar samar ketika kami telah berada di luar. Aku memenuhi paruku dengan udara segar di luar, dingin menerpa wajahku.Rio membawaku kembali ke jalan Braga. Meski belum akhir minggu, jalanan itu sudah ramai dipenuhi mobil dengan pelat nomor luar kota. Sepertinya Bandung memang menjadi tujuan favorit untuk menghabiskan akhir pekan. Tak peduli berapa pun sesaknya, mereka masih saja terus berdatangan.Proses perkenalan dengan Rio berlanjut di sepanjang perjalanan. Dia yang lebih banyak mengobrol lebih tepatnya. Aku hanya mendengarkannya bercerita. Hingga percakapan kami kembali membahas Ares. Seperti biasa, getaran halus itu kembali hadir ketika nama Ares disebut."Jadi lo udah kenal Ares dari SMA juga?" tanya Rio setelah mendengar kisah awal perkenalanku dengan cowok yang menjadi model favorit sketsaku itu."Hu-uhm, tapi kenal gitu aja, sih. Nggak kontak-kontakan juga.""Tapi hebat juga, lo, bisa deketin Ares. Dia terkenal cowok dingin dulu waktu SMA, bahkan pernah dikira ga demen cewek. Ha-ha." Rio terbahak. "Pakai pelet apaan, lo?" tanyanya di sela tawa."Apaan, sih!"Rio hanya menanggapi dengan tawa."Makan yuk!" ajak Rio, tiba-tiba membelokkan mobilnya ke salah satu kafe, yang tak lain adalah kafe Kang Hilmi."Jangan di sini, deh," tolakku mendadak panik."Kenapa?""Ares kerja di sini ....""Lo takut ke-gap jalan sama cowok lain?" ledeknya."Bukan .... eng .... aku nggak nyaman dengan pakaian seperti ini ketemu dia," ujarku beralasan."Dia bukan cowok lo, kan?" Rio menatapku curiga."Bukan, aku sama Ares nggak ada hubungan seperti itu.""Nggak perlu takut mikir pendapat dia gimana." Rio bersikeras. "Atau lo emang ada rasa sama dia, makanya takut kelihatan jalan sama cowok lain?" kalimat yang diucapkan Rio seolah menantangku."Ng ... nggak, kok." Aku mencoba berkilah."Ya sudah kalau nggak ada apa-apa, nggak usah panik. Yuk turun."Jika kala itu ada pilihan untuk menghilang, aku akan mengambil pilihan itu. Perasaanku kacau. Pertengkaran kami pada siang hari masih belum selesai. Lalu jika aku datang dengan pakaian seperti itu, bersama Rio pula, entah bagaimana reaksi cowok itu.Namun, ada sisi lain hatiku penasaran mengetahui bagaimana reaksi Ares. Membuatku perlahan membuang rasa cemas. Jika memang Ares tak mempunyai rasa terhadapku, untuk apa aku harus memikirkan perasaannya. Lalu dengan secuil rasa percaya diri, aku mengikuti langkah Rio memasuki bangunan Kafe.Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke
Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak
Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan
"Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti
Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi."Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah ko
Tidak ada perasaan berbunga-bunga, tidak ada rasa deg-degan saat mendengar dan menjawab pernyataan Rio. Semua mengalir begitu saja seolah tanpa makna. Aku menerima Rio hanya karena takut menjalani hariku sendirian.Rio langsung mengantarku kembali ke tempat kos begitu kami selesai makan. Wajah tegang yang sedari tadi menggantung di wajahnya telah sirna. Digantikan senyum simpul yang tak lepas dari bibirnya. Meski jalanan yang kami lalui diserang macet, tak mempengaruhi suasana hatinya."Besok kuliah pukul berapa?" Dia menoleh padaku. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok, dan menatapku lekat. Lekuk garis wajahnya terlihat tegas diantara keremangan lampu jalanan."Pukul delapan," sahutku membalas tatapannya. Berharap akan ada setitik rasa yang sama seperti kurasakan pada Ares ketika menatap manik matanya. Namun, tetap saja tak ada rasa apa pun yang hadir."Aku jemput, ya?"
[By, hari ini kerja, nggak?] Satu pesan dari Rio kuterima ketika keluar dari kelas terakhir, siang ini.Akhir-akhir ini Rio memanggilku 'Baby'. Meski beberapa kali kuprotes, ia tak menggubrisnya. Lelah berdebat hanya masalah panggilan, aku memilih membiarkan sesuka hatinya hendak memanggilku apa. Bagiku tak ada bedanya.[Nggak, kenapa?] Aku membalas segera.[Aku masih ada rapat untuk persiapan Bunkasai*. Kamu tunggu, ya.] [Aku pulang sendiri aja. Takut kamu lama.][Kamu tunggu bentar. Aku nggak lama.] lagi-lagi Rio tak mengizinkanku pulang sendiri.Semenjak pacaran dengannya, waktuku makin banyak habis bersamanya. Lebih parah dibanding sebelum bersama Ares. Sedikit demi sedikit, aku mulai merasa ketergantungan padanya. Setiap kali hendak pergi ke suatu tempat, seperti sebuah keharusan untuk melapor. L
Pikiranku tak lepas dari bayangan Ares. Berkali-kali kuperiksa ponsel. Menunggu balasan dari Aldo, tapi hingga keluar dari tempat billiard, tak ada pesan yang kuterima."Kamu tidak senang dengan surprise tadi, By?" Rio terlihat kecewa. "Apa karena tempatnya nggak tepat?" tanyanya kembali."Aku senang, kok. Baru kali ini aku mendapat kejutan seperti ini. Makasih, ya!" Aku berusaha mengembalikan fokus pada cowok yang sedang menyetir di sampingku. Sebuah boneka beruang yang cukup besar hadiah dari Rio, kini berada di pelukanku. Membantu meredam rasa dingin dari pendingin udara di dalam mobil."Tapi wajahmu menunjukkan sebaliknya," ujarnya menoleh sekilas padaku."Aku lagi khawatir. Aldo mengabarkan kalau Ares masuk rumah sakit." Akhirnya kuutarakan apa yang menyebabkanku gundah.Kulihat rahang Rio mengeras, "Kamu masih mikirin dia, ternyata," ucapn
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala