Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.
Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.
Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares.
"Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.
Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku saja."Malah manyun, gue cium, nih!" ancamnya mendekatkan wajah ke wajahku."Apaan, sih!" reflek aku mendorong wajahnya menjauh."Ha-ha! Abis cemberut aja. Udah ah! Kita makan aja, biar suasana hati lo membaik," ajaknya di sela-sela tawa.Mungkin baginya hanya bercanda, tapi bagiku yang masih saja terus menyukainya, candaannya itu berhasil membuat jantungku seakan mau copot.
Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan, aku hanya bisa bungkam. Detak jantungku belum sepenuhnya normal. Kembali pertanyaan, sampai kapan aku mampu bertahan, dengan perasaan yang semakin lama semakin membesar ini? diputar berulang dalam pikiranku.
Tempat makan yang kami tuju cukup ramai. Walaupun hanya warung tenda pecel ayam yang terdapat tak jauh dari pasar simpang Dago. Namun rasa masakannya yang tidak mengecewakan, membuat tempat itu tidak pernah sepi.
Beruntung kami masih mendapat tempat duduk di ujung belakang tenda. Biasanya harus antri beberapa saat untuk mendapatkan bangku kosong. Mungkin saat kami datang sudah melewati jam makan malam, hingga pengunjung yang datang tidak seramai biasa.Ares biasanya mengajakku makan di sana sehabis gajian. Bukan tempat yang mewah, tapi terasa spesial karena bersama dengan orang yang kusuka.
"Nambah, ya?" tanyanya ketika melihat nasi yang di piringku hampir habis. Aku mengangguk. Selalu begitu setiap kali kami makan. Seporsi tidak akan cukup. Awalnya aku sempat sempat malu, karena porsi makanku tidak seperti kebanyakan cewek lain, tapi Ares bilang, "Gue suka liat selera makan lo, nggak jaim."
Kuanggap itu pujian. Jarang-jarang cowok memuji selera makan seorang cewek, bukan? Kebanyakan cowok yang kukenal, lebih menyukai cewek yang menjaga image. Hal itu pula lah yang membuatku merasa makin nyaman bersama Ares. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain untuk disukai.
"Daren koas dimana?" tanyanya setelah dua porsi pecel lele berpindah ke perut masing-masing.Suasana hatiku kembali memburuk. Mengingat Kak Daren, membuatku mau tak mau mengingat kata-kata hinaan Papa."Eh, sorry. Gue nggak maksud bikin lo sedih," ucapnya ketika menyadari perubahan wajahku."Nggak apa-apa. Kak Daren koas di kampung.""Berarti nggak ada yang jadi pengawas lagi, dong, ya?" seringaian mencurigakan terpampang di wajahnya."Apaan maksud senyum begitu?" tanyaku menampar pelan wajahnya."Pindah lagi aja ke Bandung. Biar bisa dekat gue," usulnya."Ntar nggak bisa kabur ke kosan gue lagi kalau ada jadwal kuliah kosong.""Iya juga sih, tapi cari kosan yang ga terlalu ketat jam malamnya, lah. Gue pengen ngajak lo nonton midnight, kan nggak bisa kalau masih di sana."Aku menatapnya lama. Menepis harap dengan mengatakan bahwa itu hanya ajakan seorang teman, tidak lebih."Kenapa harus midnight? Yang jam biasa, kan juga bisa?" ujarku dengan detak jantung yang kembali bertalu-talu.
"Selama ini yang bikin kita nggak jadi nonton, kan kepentok jadwal kerja," ujarnya mengajukan alasan.
Masuk akal. Jadwal kerja Ares sampai malam hari, lalu biasanya tiap weekend dia sengaja masuk agar bisa mendapat uang tambahan lebih dari bonus yang diberikan Kang Hilmi. Bahkan terkadang dia merelakan jatah liburnya demi mengumpulkan rupiah untuk biaya kuliah."Ya elah, cuma demi nonton di bioskop aja harus pakai pindah kosan segala," kekeh ku. "Nonton di DVD aja, sih."
"Kurang seru, apalagi kalau film action, kurang dapat efek sound-nya," tukasnya dengan wajah serius. Aku selalu suka jika ekspresi wajahnya begitu, kegantengannya makin maksimal jika sedang berbicara serius. "Kapan lagi nonton sama lo gelap-gelapan tanpa digrebek pak RT, kan?" kekehnya kembali dengan ekspresi wajah konyol.
"Huu! Dasar cowok mesum!" Aku melemparkan tisu bekas ke wajahnya. Dia tertawa puas. Sepuas mataku menikmati pemandangan itu. Mematrinya makin jelas dalam pikiran, untuk nanti kutuangkan kembali dalam buku sketsaku.
Setelah selesai makan, ketika hendak pulang, aku memeriksa ponsel. Berharap salah seorang anggota keluargaku menelpon. Merasa kehilangan karena ketiadaanku. Namun sepertinya aku memang harus memupus harapan. Tidak ada panggilan maupun pesan singkat dari mereka. Aku benar-benar telah dilupakan.
"Yuk gue antar. Ke kosan apa ke hotel tempat ortu lo nginap?" tanyanya hati-hati.
"Ke kosan aja, Res. Bisa mati gaya aku kalau bareng sama mereka semalaman.""Lo nggak bawa jaket?" tanyanya ketika melihatku tidak mengeluarkan jaket dari tas ranselku."Nggak, tadi nggak kepikiran bakal keluyuran malam," sahutku menggosok kedua lengan untuk mengurangi rasa dingin. Karena saat itu aku hanya memakai kaos berlengan pendek."Lo pake dulu aja jaket gue." Ares dengan sigap melepas jaket jeans belel kebangsaannya lalu menyerahkannya padaku."Nggak usah, aku kan duduk di belakang, kamu ntar kedinginan.""Sampai kosan gue aja. Kita ambil dulu jaket lain ke kosan gue. Nggak usah kepedean gue rela kedinginan demi lo!" kekehnya."Ah, dasar! Kirain bakal romantis dikit!" balasku menarik jaket yang disodorkannya."Bukan sepasang kekasih, nggak boleh romantis-romantisan, bahaya!" kelakarnya.Baru saja aku seakan diangkat tinggi karena perlakuan manisnya, tiba-tiba serasa dilemparkan lagi ke tanah. Sakit jendral!
Herannya, aku tidak pernah jera. Selalu berharap ketika dia memperlakukanku dengan manis, dan kembali harus mengobati lukaku sendiri ketika sikap cueknya muncul.Skuter Ares membelah keramaian jalan Dago, berbelok ke arah jalan Dipati Ukur. Aku kembali sibuk dengan pikiranku. Jaket Ares yang membungkus tubuhku terasa begitu hangat. Aroma parfumnya yang masih melekat, membuatku merasa dipeluk cowok itu. Ah terlalu jauh khayalanku.
Apakah memang begitu jika menyukai seseorang? Sesakit apapun, masih tetap bertahan. Bahkan perhatian kecil darinya pun seolah sesuatu yang amat sangat berharga.Skuter Ares memasuki gang kecil yang tak jauh dari Monumen Perjuangan. Ia melambat kan lajunya ketika melewati beberapa polisi tidur. Selama berteman dengannya, itu adalah kali keduaku berkunjung ke kosannya. Pertama kali berkunjung ke sana bersama Aldo.
"Eh, Aldo udah balik belum, Res? Bisa habis kena bully kalau ketahuan kita jalan berdua aja," tanyaku ketika ingat cowok berkacamata itu.
"Tadi gue ajak, kok. Dia lagi ada kegiatan di kampus," sahutnya memalingkan wajah ke arahku agar suaranya terdengar jelas."Oh, syukurlah.""Kenapa? Takut Aldo cemburu?" tanyanya kembali memalingkan wajah."Eh? Kok?""Ha-ha, nggak usah membohongi diri. Kalian saling suka, kan?" ujarnya terdengar sok tahu, dengan tawa kencang."Ih! Sotoy!" Aku menepuk punggungnya."Oh, gue salah, ya?" Tawanya masih saja belum reda.Ya jelas salah! Yang aku suka itu kamu, Res. Nggak peka banget jadi orang! Rutukku membatin.
Kosan Ares malam itu sepi. Tidak terlihat penghuni kos yang biasa berkumpul di salah satu kamar, sekedar bermain gitar ataupun bermain gaple. Kebanyakan pintu kamar yang berjejer menghadap halaman depan tertutup.
"Pada kemana? Kok sepi?" tanyaku heran."Malam mingguan, lah! Jomblo emang suka lupa malam minggu, ya," ledeknya terkekeh."Ish! Sendirinya juga jomblo!" balasku mencibir.Ares mengeluarkan kunci dari kantong celana jeansnya, membuka pintu kamar, dan mempersilahkanku masuk. Aroma Ares begitu kentara tercium ketika aku memasuki ruangan tiga kali tiga bercat putih itu. Kamar Ares sangat rapi, bersih dan wangi untuk ukuran cowok dengan tampilan cuek sepertinya. Bahkan selimut terlipat rapi di pojok kasur yang di tutup seprai berwarna coklat tanah.
Lantai kamar dialas karpet wool warna hitam. Buku-buku juga tertata rapi pada meja belajar yang terdapat di samping kanan pintu masuk. Tidak ada gambar apapun yang menghias dinding layaknya kamar kakak-kakak cowokku dan Aldo. Dindingnya dibiarkan polos, hanya ada gitar yang biasa dibawanya, digantung di sebelah jendela samping tempat tidurnya.
"Mau minum dulu?" tanyanya sambil mencari jaket di lemari kayu yang diletakkan berdampingan dengan meja belajar.
"Siapa yang bersihin kamar kamu?" tanyaku tanpa sadar, mengabaikan pertanyaannya.
"Ya gue, lah. Kenapa? Nggak percaya liat kamar gue bersih?" tebaknya tepat sasaran."Hooh," sahutku jujur masih mengagumi kebersihan kamarnya."Dulu gue sempat terkena OCD," sahutnya menghentikan gerakannya mencari jaket dari dalam lemari."Hah? Kapan?" Ternyata ada sisi lain Ares yang tidak kuketahui, dan selama ini dia juga tidak pernah menunjukkan gejala-gejala bahwa dia pernah mengidap gangguan itu."Udah lama, sih. Waktu SMP," sahutnya dengan tatapan menerawang. "Terus nyokap yang mulai menyadari keanehan gue, langsung gerak cepat bawa gue ke psikiater. Lo tau kenapa gue nggak bisa lepas dari gitar itu?" tunjuknya pada gitar yang digantung.Aku menggeleng."Nyokap membelikan buat gue untuk mengalihkan perhatian dari gangguan yang gue derita," terangnya."Memangnya gejala apa yang dilihat Ibumu waktu itu?" Rasa ingin tahuku muncul. Karena selama ini Ares jarang membicarakan masalah keluarganya kecuali masalah perceraian orangtuanya dulu."Gue sering menata semua barang yang gue punya dengan presisi. Bahkan gue mengukur jarak antara satu barang dengan barang lainnya di meja belajar. Jika ada yang dengan seenaknya memindahkan barang-barang gue, gue bakal ngamuk," cetusnya. "Sekarang udah nggak gitu lagi, tapi gue masih nggak suka jika barang-barang gue berantakan."
Aku hanya tertegun mendengar cerita Ares. Tak mampu berkata apa-apa. Aku pernah membaca bahwa penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) akan melakukan suatu hal berulang-ulang untuk menghilangkan kecemasan yang mereka rasakan. Mereka akan merasakan kecemasan berlebihan jika ada sesuatu yang tidak berada pada tempatnya. Gangguan itu bisa menjadi gangguan kejiwaan parah jika tidak cepat ditangani.
"Tenang, gue nggak sakit jiwa, kok." Sebuah senyum getir menghias bibirnya. Baru kali itu aku melihat Ares terlihat sedih.
"Aku tau," sahutku tersenyum, mencoba mengusir khawatir yang terpancar dari sorot matanya.
Satu hal yang kupelajari saat itu. Tidak semua orang yang terlihat baik-baik saja, memang begitu adanya. Selama ini hanya aku yang selalu mengeluhkan kehidupanku. Ternyata Ares pernah mengalami hal yang lebih berat.
"Nah, ini dia!" ujarnya menarik sebuah jaket baseball warna merah maroon dan menyerahkannya padaku. "Yuk, keburu terlalu malam," ajaknya, kembali pada ekspresi semula.
Di sepanjang perjalanan menuju Jatinagor, tidak ada diantara kami yang bercerita seperti biasa. Aku dan Ares seperti tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Bahkan kebiasaan Ares yang suka bersenandung saat mengendarai skuter, pun kali ini bungkam.
Tak terasa, skuter Ares berhenti di depan kosanku. Aku melompat turun dan menyerahkan helm yang telah kulepas pada Ares.
"Thanks, Res," ucapku hendak beranjak meninggalkannya."Li ...." Cowok itu menarik tanganku. Aku menatapnya heran. Tidak. Biasanya dia begitu."Eh, iya, jaketmu, ya?" Aku baru sadar kalau jaket yang kukenakan adalah milik Ares."Bukan ... uhm ... gimana, ya?" gumamnya sambil menggaruk pelipis yang aku yakin tidak gatal."Kenapa? Buruan. Bentar lagi kena omel Pak Enjang aku.""Lo nggak bakal ngejauhin gue setelah ini, kan?" tanyanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Eh? Kenapa tiba-tiba?" Aku mengernyit heran.
"Setelah tau kalau gue pernah mengidap OCD. Lo nggak bakal risih, kan sama gue?" Saat itu aku seolah melihat bukan Ares yang kukenal selama ini. Rasa percaya diri yang sering kulihat sirna begitu saja. Hanya cowok rapuh yang terlihat duduk di skuter tua itu."Nope. I won't leave you, because you've been my Wonderwall," ujarku menepuk pelan punggung tangannya.
"Arigatou," ucapnya dengan seulas senyum.
"Domo." (sama-sama)"Ya sudah, gue balik, ya." Ares pamit dengan seulas senyum."Ja mata, ne." (sampai jumpa)Aku masih menatap kepergian Ares hingga menghilang di tikungan jalanan depan kos. Satu rahasia hidupnya telah diungkap padaku. Apakah ini pertanda aku adalah cewek spesial baginya? Atau hanya sebagai teman tempatnya bisa berbagi tanpa takut dihakimi? Aku tak berani berharap banyak dan mereka-reka perasaannya terhadapku. Biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasianya.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali berkutat menyelesaikan sketsa wajah Ares. Lalu menatapnya lama seolah dia tengah berada di hadapanku.

Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol
Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me
Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke
Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak
Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan
"Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti
Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi."Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah ko
Tidak ada perasaan berbunga-bunga, tidak ada rasa deg-degan saat mendengar dan menjawab pernyataan Rio. Semua mengalir begitu saja seolah tanpa makna. Aku menerima Rio hanya karena takut menjalani hariku sendirian.Rio langsung mengantarku kembali ke tempat kos begitu kami selesai makan. Wajah tegang yang sedari tadi menggantung di wajahnya telah sirna. Digantikan senyum simpul yang tak lepas dari bibirnya. Meski jalanan yang kami lalui diserang macet, tak mempengaruhi suasana hatinya."Besok kuliah pukul berapa?" Dia menoleh padaku. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok, dan menatapku lekat. Lekuk garis wajahnya terlihat tegas diantara keremangan lampu jalanan."Pukul delapan," sahutku membalas tatapannya. Berharap akan ada setitik rasa yang sama seperti kurasakan pada Ares ketika menatap manik matanya. Namun, tetap saja tak ada rasa apa pun yang hadir."Aku jemput, ya?"
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala