Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.
Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan.Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.Terkadang perlakuannya membuatku merasa istimewa dan berharap lebih dari pertemanan kami. Namun terkadang, sikapnya seolah menjaga jarak. Sikapnya yang sering bertolak belakang itulah yang membuatku semakin takut untuk memperlihatkan perasaanku.Suatu hari, dosen yang mengajar, berhalangan hadir. Alih-alih menghabiskan waktu di kampus untuk menunggu jam kuliah berikutnya, Ares mengajakku kembali ke kosan."Enggak enak, sih Res. Kita selalu memisahkan diri dari anak kelas." Aku mencoba protes."Terlalu berisik," sahutnya cuek."Siapa?" "Cewek-cewek itu," bisiknya."Aku yang nggak enak disindir mulu.""Sudah, nggak usah dengerin omongan orang, nggak bakal kenyang. Yuk balik aja," ujarnya santai merangkul bahuku dengan setengah menyeret ke arah parkiran.Jika sudah begitu, aku sudah tidak bisa berkutik. Jujur, aku juga senang menghabiskan waktu berdua dengannya. Karena selama di kelas, Ares selalu saja dikelilingi para cewek yang berusaha mencuri perhatiannya. Sekuat apa pun cowok itu menghindar, mereka selalu saja bisa membuat Ares merasa terperangkap. Karena alasan itulah, setiap kali ada jam kuliah yang kosong, Ares selalu mengajakku meninggalkan kampus untuk menghindar.Jatinangor sangat terik ketika kami meninggalkan kampus. Debu jalanan beterbangan mengusik pernapasanku. Aku terbatuk agak lama.Ares mendadak memberhentikan skuternya di warung pinggir jalan menuju kosan. Tanpa banyak bicara dia turun begitu saja. Kembali ke tempatku menunggu dengan sebotol air mineral."Nih minum. Dari tadi gue lihat lo nggak bawa botol minum seperti biasa," tukasnya.Seketika hawa panas Jatinangor mendadak turun. Perhatian kecilnya membuat harapan yang selalu kutekan, makin tak mampu kukendalikan."Thanks, Res," ucapku dengan wajah yang terasa bersemu."Muka lo udah kayak kepiting rebus. Kepanasan, ya?"Bukan, Res! Wajahku merah karena perlakuan manismu, teriakku dalam hati."Iya, yuk buruan balik. Lagian tadi udah enakan di kampus ngadem, kamu maksa banget minta ke kosan aku," sahutku menggerutu untuk menutupi rasa grogi."Bantu gue buat lepas dari cewek-cewek berisik itu. Lo kayak nggak tau aja gimana gue," sahutnya dengan wajah serius. Lalu kembali menyalakan skuternya.Di sepanjang perjalanan menuju kosan, aku hanya sibuk dengan pikiranku. Bertanya-tanya dalam hati, sampai kapan aku mampu bertahan menyukainya diam-diam seperti ini. Semoga saja hati ini tidak menuntut lebih dari rasa nyaman yang telah Ares berikan padaku.****
"Li, masih suka bikin sketsa?" tanyanya sambil menyetem senar gitar yang dibawanya hari itu."Masih, kenapa?" Aku yang tengah mengetik tugas kuliah di laptop, memalingkan wajah ke arahnya."Bikinin sketsa gue lagi, dong. Pastinya sekarang sudah lebih expert, dong, ya? Apalagi sekarang, kan udah jadi kerjaan sehari-hari." Tatapan Ares mengunci, menimbulkan gelenyar halus di dada, yang selalu kutahan.Andai kamu tau, Res. Buku sketsaku hanya dipenuhi sketsa wajahmu, ungkapku dalam hati.
"Sketsa yang kamu bikin waktu pameran kebudayaan dulu, masih gue simpan," katanya, dengan senyum yang tidak biasa, menghias bibir. Menambah debaran yang semakin menguat dalam rongga dadaku.
"Males, ah! Gambar gue jelek," tolakku.
"Pelit lo, ah! Nggak asyik!" Ares melemparkan kupluk yang sering dia pakai. Tepat mengenai wajahku. Aroma sampo yang dipakainya seketika menutupi indera penciumanku. Aku selalu suka mencium aromanya. Aroma musk dan lemon yang segar, sesegar pribadi Ares yang tak kenal kata sedih."Iya. Nanti kalau ada waktu aku bikinin," ujarku mengalah.Ares tak lagi menanggapi. Matanya terpaku pada gitar, jari-jarinya dengan lincah memetik senar. Kemudian lagu Wonderwall—Oasis, mengalun merdu dari bibirnya.Tanpa terasa, aku pun turut menyanyikan beberapa lirik yang seolah menggambarkan perasaanku.
".... there are many things that I would like to say to you but I don't know how. Because maybe, you're gonna be the one that saves me. And after all, you're my wonderwall ...."Ya, bagiku Ares seolah menjadi penyelamatketika aku sempat terpuruk menjelang ujian masuk perguruan tinggi dulu. Dia yang menyelamatkanku untuk tidak patah semangat melanjutkan hidup meski merasa dibuang oleh keluarga.
"Menghayati banget." Ares menghentikan petikan gitarnya dan menatapku dengan satu alis terangkat dan senyumannya yang khas."Ha-ha, itu lagu kesukaanku!""BTW, ada cowok yang lo suka, nggak, Li?" tanyanya dengan wajah serius.Jantungku berdebar cepat. Ingin rasanya mengakui perasaanku padanya, tapi gengsi. Aku tidak ingin Ares menganggapku sama saja dengan para cewek yang selalu memaksa untuk mendekatinya."Belum kepikiran. Kalau kamu punya cewek yang kamu suka?" Aku membalikkan pertanyaan, harap-harap cemas. Berharap dia akan menjawab, bahwa aku lah cewek itu. Namun, cemas jika ternyata bukan aku yang ada di hatinya."Ada, sih. Cuma gue masih takut buat menjalin hubungan serius. Masih mahasiswa kere kayak gini," kekehnya kembali dengan tawa renyah."Tumben ngga pede? Biasa juga over pede."Dia mengendikkan bahu. "Kalau soal perasaan nggak bisa dibuat pede-pedean. Gue pengen nanti kalau udah lulus kuliah, dapat kerjaan yang pasti penghasilannya, langsung mau nikah aja."kembali wajahnya terlihat serius."Kalau kamu nggak bilang dari sekarang, tu cewek, kan nggak tau. Bisa-bisa diembat orang.""Berarti bukan jodoh gue.""Sesimple itu?" Aku menatapnya heran."Bukannya kalau cinta harus diperjuangkan?" tanyaku kembali. Tak puas dengan jawabannya yang terdengar asal.
"Ya perjuangan gue sekarang, gimana cepat-cepat lulus kuliah buat ngehalalin tu cewek. Kalau sekiranya nanti gue keduluan orang lain, berarti bukan dia jodoh gue, kan?" ujarnya seakan meminta pendapatku."Tapi, seenggaknya kamu kan bisa bilang dulu ke ceweknya." Argumen lain kuutarakan."Ya, kalau jodoh gue, ga bakal kemana juga, Li. Pasti Tuhan jaga buat gue." Ares menyengir lebar.Sedikit rasa penasaran terasa menggelitik. Siapa cewek yang telah mampu menempati ruang dalam hati Ares yang selama ini terkesan cuek. Lalu ada rasa getir kurasa, ketika satu pikiran yang melintas, Bagaimana jika cewek yang di taksir Ares bukan aku? Apakah aku bisa menerimanya dengan lapang dada?
Kala itu aku tak berani bertanya lebih lanjut. Bukankah pepatah mengatakan, "terkadang ketidaktahuan bisa menyelamatkanmu." Lebih baik aku membuang jauh rasa penasaran akan cewek yang ada di hati Ares. Terus berada di sisinya seperti saat itu, sudah lebih dari cukup. Saat itu aku tidak ingin membuang rasa nyaman bersamanya dengan mengetahui siapa cewek yang dia suka.***
Tak terasa setahun sudah dekat dengan Ares. Dalam satu tahun itu cukup banyak hal yang kami lalui. Bahkan Aldo sempat mengira kami sudah jadian. Karena setiap kali kami bertiga bertemu, Aldo memperhatikan caraku dan Ares berinteraksi."Kamu sudah berubah jauh sekarang, Lia," ungkap Aldo ketika kami bertemu di kafe tempat Ares bekerja."Hah?" Aku yang saat itu fokus memperhatikan Ares yang sedang perform dengan lagu Fix You-Cold Play, memalingkan wajah menatap Aldo."Berubah dalam artian buruk Atau baik, Do?" selidikku.
"Berubah lebih baik. Dulu jarang sekali aku melihatmu tertawa lepas. Sekarang kamu lebih ekspresif," terang Aldo."Masa, sih? Perasaan sama saja," tepisku."Kan, yang bisa melihat orang lain. Biasanya tiap ketemu kamu selalu mengeluhkan sikap orangtuamu Atau kakakmu . Sekarang sudah tidak pernah lagi masalah keluarga kamu singgung-singgung." Sekali lagi Aldo menyampaikan analisanya."Ha-ha, iya, ya?" Aku tertawa gugup. Berharap Aldo tidak mengaitkannya dengan Ares."Kalian sudah jadian, ya?" tembaknya kemudian."Enggak! Kamu kayak nggak tau Ares aja. Emang dia modelnya begitu, kan?" Aku semakin gugup. Sesekali melirik ke panggung tempat Ares perform."Lalu perasaanmu ke Ares gimana?" Aldo menatapku dengan tatapan menyelidiki dari balik kacamatanya."Ya, enggak gimana-gimana." Aku mengendikkan bahu. Menyeruput milk shake yang kupesan, untuk mengurangi rasa gugup."Bukannya kamu suka Ares?" tanya Aldo tanpa banyak basa-basi."Eh? Kata siapa?" tanyaku sengit bagai maling tertangkap tangan."Kan kamu dulu yang bilang.""Kapan?" tanyaku berusaha mengingat."Waktu SMA."Aku menatap Aldo panik. "Itu cuma kagum aja. Bukan suka." Aku masih berusaha mengelak."Ya, terserah kamu bilang apa. Yang jelas aku sudah tau perasaanmu," gelaknya dengan tawa penuh kemenangan.Aku tak lagi membalas perkataan Aldo. Ares telah selesai perform. Khawatir dia mendengar pembicaraan kami jika masih diteruskan membahas perasaanku."Li, ayo gue anter balik. Takutnya kemaleman, nggak bisa masuk kosan, lo," ajaknya menepuk pundakku."Biar gue yang anter, Res. Lo kan masih kerja," tawar Aldo."Jangan dong, Bro. Yang bawa dia ke sini kan gue. Ntar gue di sangka cowok nggak bertanggung jawab sama Daren. Tadi gue minta ijin sama dia bawa Lia soalnya," tolak Ares.Aldo ternganga. "Serius Daren kasih ijin kamu jalan?" tanyanya tak percaya, menatapku dan Ares bergantian."Iya. Cs-an dia sama Daren sekarang," kekehku. Mengingat bagaimana Ares dengan gaya sok akrabnya mengajak kakaku mengobrol. Pada awalnya Daren terlihat terganggu. Namun, lama-lama mulai terpengaruh juga. Pembawaan Ares yang luwes, akhirnya mampu mencairkan kekakuan sikap Daren."Kok, bisa?" Aldo masih menatap tak percaya."Gue jampe-jampe," kekeh Ares asal. "Yuk, ah. Keburu malam. Lo nggak perlu gue anter balik, kan, Do?" tanyanya dengan senyum genit yang dibuat-buat."Hii, merinding gue liat ekspresi lo, Res!" ujar Aldo melemparkan sherbet bekas ke muka Ares sambil bangkit berdiri dari duduknya.Udara dingin Bandung menerpa wajahku ketika skuter yang dikendarai Ares membelah jalanan daerah Cicaheum yang masih terlihat ramai. Duduk berboncengan dengannya seperti saat itu membuatku mampu mencium aroma parfum yang dipakai Ares. Aku selalu menyukai aromanya. Terasa begitu menenangkan.
"Kedinginan, Li?" tanya Ares sedikit berteriak mengalahkan suara skuternya yang keras."Nggak, kan ketutup badan kamu," balasku juga setengah berteriak."Kalau kedinginan, peluk aja," kekehnya."Huu, maunya!" Aku menoyor bahu Ares dengan detak jantung yang mendadak naik. Bahkan suhu udara sekitar juga terasa ikut naik.Candaannya yang terlalu santai itu terkadang membuatku yakin kalau Ares tak mempunyai perasaan yang sama denganku. Sekali lagi, aku harus menelan sendiri perasaan ini jika masih ingin terus berada di dekatnya. Aku masih terlalu takut untuk kehilangan Ares.Kehadirannya selama ini telah mampu mengubah tatanan hidupku yang dulu suram. Aku tidak ingin kembali ke masa itu. Pikirku saat itu, biarlah untuk sesaat saja aku menikmati perhatian yang diberikan Ares.Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares."Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku s
Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol
Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me
Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke
Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak
Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan
"Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti
Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi."Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah ko
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala