Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.
Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya. "Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?" "Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu."Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pengawasan Kak Daren."Kamu coba ketemu dulu, siapa tau jam kerjanya bisa diatur," tukas Kang Hilmi seakan mengerti apa yang membuatku ragu."Iya, deh, Kang. Saya coba dulu," ujarku menyetujui.Meski sikap Mama telah melunak, keraguan terhadapnya masih ada. Aku tidak ingin terlalu menggantungkan harapan akan biaya kuliah terhadap kedua orangtuaku. Berharap, selama menempuh pendidikan, masih bisa bekerja untuk mengumpulkan biaya kuliah. Sungguh ironis memang. Meski kedua orangtuaku adalah dokter spesialis, tak lantas aku bisa menikmati fasilitas yang mereka berikan dengan cuma-cuma. Mereka meminta bayaran untuk setiap rupiah yang mereka kucurkan pada kami anak-anak mereka. Beruntung kedua kakakku bisa membayar dengan prestasi mereka. Sementara aku, seolah aset yang membuat mereka rugi."Kang Hilmi ngomong apa?" tanya Ares ketika aku keluar dari ruangan pemilik kafe.
"Mau tau aja." "Lo beneran mau berhenti? Kenapa enggak lanjut kerja, sih?" kulirik wajah Ares. Tidak biasanya dia terlihat serius seperti saat itu."Kenapa? Bakal kangen, ya kalau aku enggak ada?" tanyaku tersenyum jail, berusaha terlihat biasa meski jantungku kebat-kebit. Sebenarnya, aku juga sedikit berharap dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Berharap dia akan menjawab bahwa dia akan merasa kehilangan jika aku tak lagi bekerja di kafe Kang Hilmi."Mulai kepedean, deh!" ujarnya menjitak pelan kepalaku. Jawabannya serta merta memupus habis harapan yang tadi sempat muncul. "Lagian nanya-nanya mulu kayak tamu," tepisku, melenggang meninggalkannya. Meredakan perih yang seketika hadir.****
Awal tahun ajaran baru. Aku mulai tinggal di kosan yang baru. Mulai menyesuaikan diri kembali dengan lingkungan baru. Kosan yang dicarikan Kak Daren amat sangat nyaman. Terdiri dari dua bangunan utama.Bangunan untuk laki-laki dan bangunan untuk perempuan. Diantara dua bangunan itu dipisah bangunan serupa pendopo.
Kata Kak Daren, pada hari-hari tertentu, pemilik kosan suka mengadakan acara yang melibatkan seluruh penghuni kos di pendopo itu. Kak Daren menempati bangunan kos untuk laki-laki. Sementara aku menempati bangunan untuk perempuan. Setiap bangunan Terdiri dari dua lantai dengan sepuluh kamar yang berhadapan seperti asrama, di tiap lantainya. Aku menempati lantai dua dengan posisi kamar paling ujung.Kamarnya juga cukup luas, empat kali empat dengan kamar mandi di dalamnya, tidak seperti kamar kosku sewaktu Bandung. Perabotan yang disediakan juga cukup bagus. Lemari ukuran besar, tempat tidur dengan kasur pegas yang nyaman, dan meja belajar. Berada di kamar itu, membuatku teringat kamarku di rumah.Ada hal yang tak kusangka. Saat pindah kosan, Kak Daren sengaja datang menjemputku ke Bandung, untuk membantu mengemasi barang-barang. Tidak terlihat wajah kesal seperti yang biasa dia tunjukkan.
"Terima Kasih, Kak. Sudah repot-repot bantuin," ucapku ketika Kak Daren meletakkan koperku di lantai kamar.
"Kaku banget, sih. Memangnya aku ini orang lain?" ujar Kak Daren mengernyit."Uhm, maksud Lia ... Kakak, kan lagi sibuk mau sidang, masih sempat-sempatnya bantuin pindahan, padahal Lia bisa minta bantu Aldo.""Kenapa malah sama kakak sendiri, sungkan? Aldo tentu juga lagi sibuk sama urusan persiapan masuk kuliahnya." Aku menatap heran Kak Daren. Tidak biasanya dia bersikap baik begitu."Kupikir ... Kakak akan menggerutu seperti biasa kalau Lia minta tolong," sahutku jujur."Kakak minta maaf," ujarnya pelan. Lagi-lagi keherananku bertambah. Ada apa dengan keluargaku. Kata maaf seperti kata yang sakral diucapkan oleh orang yang lebih tua dalam keluarga kami.Sebelumnya Mama, lalu Kak Daren. Entah apa yang menyebabkan mereka mau mengucapkan kalimat itu."Untuk apa?" "Karena selama ini selalu menjadi kakak yang menebalkan," jawabnya dengan muka bersungguh-sungguh. "Lia juga adik yang buruk. Tidak perlu meminta maaf." Suasana canggung kentara terasa. Aku dan kakakku bukan saudara yang akrab. Ketika sedang berdua seperti saat itu, terasa bagai dengan orang asing. Kak Daren dengan sikapnya yang kaku, aku dengan sifatku yang juga tidak bisa mencairkan suasana. "Nanti kasih tau saja kalau Lia butuh apa-apa. Kakak akan bantu."Aku ternganga mendengar kalimat itu keluar dari mulut cowok menyebalkan yang kukenal selama ini. "Aku enggak mimpi, kak, Kak?" Aku mencoba tertawa untuk mencairkan suasana. "Kita coba mulai dari awal, untuk menjadi kakak-adik sesungguhnya, Kakak akan berusaha jadi kakak yang baik buat Lia," ucapnya menepuk pelan kepalaku. Seperti ditarik ke dalam kolam dengan air yang sejuk. Sudah lama sekali aku tak merasakan setenang itu. Aku tidak tau apa yang menyebabkan Mama dan Kak Daren berubah seperti itu. Yang pasti, aku harus bersyukur, hidupku tak seburuk yang kupikir selama ini. Paling tidak saat itu aku mempunyai seseorang yang tengah berusaha membuatku merasa aman.****
Setelah semua urusan perkuliahan dan tempat tinggal baru teratasi, aku bertemu dengan Kang Dadan—teman Kang Hilmi yang memiliki distro. Kang Dadan menawarkanku kerja paruh waktu untuk desain karikatur kaos yang akan diproduksi distronya. Bayaran yang ditawarkan oleh Kang Dadan cukup menggiurkan, jam kerja yang tidak terlalu mengikat membuatku menyetujui kerja sama dengan pengusaha distro itu. Aku memberanikan diri meminta izin kepada Kak Daren untuk bekerja paruh waktu. Khawatir dia mengira aku hanya keluyuran jika tidak sedang ada jam kuliah. "Memangnya sepenting apa pekerjaan ini bagi Lia? Bukankah Mama telah mengatakan akan tetap memberikan biaya kuliah?" tanya Kak Daren dengan tatapan menyelidik."Mumpung ada yang menawarkan pekerjaan, kenapa harus disia-siakan. Lagipula, pekerjaannya sesuai dengan bakat Lia, Kak," sahutku dengan wajah penuh harap.
Kak Daren tidak menjawab. Dia seolah tenggelam dalam pikirannya. "Lagipula, Lia ingin membuktikan sama Mama dan Papa kalau bakat Lia ini juga berguna," lanjutku, berharap Kak Daren tidak keberatan dengan keinginanku bekerja paruh waktu. "Ya sudah, jika memang keinginan Lia seperti itu. Yang penting harus bertanggung jawab dengan keputusan itu," sahutnya kemudian. "Ah, terima kasih, Kak!" Saat itu tanpa sadar aku menghambur ke pelukan Kak Daren. Rasa bahagia yang seakan meledak di dadaku, membuatku lupa bahwa kami dulu tak sedekat itu.Untuk pertama kali dalam hidupku, mendapat izin melakukan sesuatu yang kusenangi dari anggota keluarga. Sekilas kulihat Kak Daren tersenyum. Lalu kembali memasang wajah kakunya tatkala aku melepas pelukan darinya. Dari kecil, aku dan Kak Daren memang tidak terlalu dekat. Penyebabnya karena Mama dan Papa selalu membanding-bandingkanku dengannya. Perlahan aku mulai membenci cowok berwajah kaku itu. Karena sikapku yang membencinya, Kak Daren pun seolah tak berhenti membuat hidupku susah. Jarak usia kami yang cukup dekat, membuatku selalu bertemu dengan Kak Daren dalam setiap tingkatan sekolahku. Hidupku tidak pernah merasa tenang, karena selalu saja ada aduan yang disampaikannya pada Mama.Sekarang, Kak Daren dengan segala perubahannya bagai mukjizat yang Tuhan berikan dalam hidupku, semoga saja ini bertahan lama.****
Masa orientasi dengan segala kegilaannya dimulai. Kak Daren membuktikan perkataannya. Walaupun ditengah kesibukan untuk persiapan sidang kelulusan, dia masih berusaha membantuku untuk menyiapkan segala macam perlengkapan ospek. Kendati demikian, rasa canggung diantara kami masih belum sepenuhnya hilang.Sedangkan Ares, dia memilih untuk tidak mengikuti kegiatan orientasi.
"Gue enggak mau diperlakukan seperti manusia bodoh," ujarnya memberi alasan ketika aku menanyakan kemana dirinya saat masa orientasi berlangsung. "Apa kamu tidak takut dikucilkan Atau dipersulit nantinya, Res?" tanyaku heran dengan sikapnya yang santai. "Memangnya lo mau ngucilin gue karena nggak ikut ospek?" "Ya nggak, lah. Kan kamu temanku." "Ya sudah, nggak ada yang perlu dikhawatirkan kalau begitu," kekehnya.Masa orientasi berakhir, masa perkuliahan pun dimulai. Lalu aku kembali dipertemukan kembali dengan Ares, di kelas yang sama."Sepertinya kita memang sudah ditakdirkan untuk bareng ya, Li," ujarnya dengan seringaian lebar. Hati gadis mana yang tidak akan menaruh harapan, jika setiap kali cowok yang ditaksirnya selalu melontarkan kalimat seperti itu. Namun aku masih berusaha sekuat tenaga untuk tidak memperlihatkan rasa sukaku padanya. Gayanya yang selalu berbicara asal, membuatku terlalu takut untuk berharap. Aku takut mengetahui bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang diberi kata-kata seperti itu. Terlebih lagi wajah Ares yang cukup menarik perhatian, membuat teman-teman perempuan di kelasku banyak yang mengaguminya. Aku cukup tau diri dengan penampilan dan wajah yang pas-pasan, merasa tak mampu bersaing dengan mereka yang berpenampilan begitu memukau.Aku hanya seumpama upik abu diantara para mahasiswi lainnya di kelasku. Bagaimana mungkin aku akan berharap Ares akan tertarik padaku. Namun sekuat apapun aku berusaha untuk berhenti mengagumi Ares, semakin saja perasaan terhadapnya makin membesar.Setiap hari ketika tidak bersama Ares, menggoreskan pensil di buku sketsa menjadi pelampiasanku untuk melepaskan cowok itu dari pikiran. Entah berapa lembar sketsa wajahnya telah memenuhi bukuku.Entah berapa malam kuhabiskan hanya untuk menyelesaikan goresan wajahnya.
Satu hal yang membuatku masih bertahan untuk terus menyukainya dalam diam, dia masih terus berada di sisiku. Tak peduli berapa banyak mahasiswi yang berusaha mendekatinya. Setiap jam perkuliahan, Ares selalu memilih tempat duduk di dekatku.Lalu, perempuan mana yang mampu berhenti berharap jika laki-laki yang dia taksir seolah memberinya harapan?
Jika menyukainya dalam diam adalah satu-satunya pilihan untuk bisa terus berada di dekat Ares, maka aku akan bertahan hingga nanti aku mempunyai alasan untuk berhenti menyukainya.
Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan. Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.
Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares."Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku s
Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol
Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me
Memasuki kafe, suara berat Ares tengah menyanyikan lagu Goo Goo Dolls yang berjudul Iris menyambutku. Seperti biasa, mataku tak berkedip menatapnya yang tengah kosentrasi memetik gitar. Telingaku tak sedetik pun melewatkan merdu suaranya.Wajah dan suaranya bagai perpaduan sempurna yang berhasil memasungku. Aku bagai terhipnotis oleh pesonanya. Tanpa terasa, aku turut menyanyikan lirik yang dinyanyikan Ares, ".... and I don't want the world to see me. 'Cause I don't think that they'd understand. When everything's made to be broken. I just want you to know who I am ...."Lagu itu sering dimainkan Ares ketika bersamaku. Setelah masa lalunya yang pernah mengidap OCD kuketahui, dia pernah bilang, hanya kepadaku ia mampu menceritakan siapa dirinya yang sebenarnya.Entah kenapa, ketika melihat Ares menyanyikan lagu itu kembali, aku seolah mampu merasakan kesepian yang ia rasa. Teringat kembali ke
Aku tersentak mendengar ketukan disertai suara Ares memanggil dari luar kamar. Ternyata aku tertidur setelah semalaman berkutat dengan pikiran tentang cowok yang tengah mengetuk pintu itu."Lo tidur apa pingsan, sih? Dari tadi gue bangunin nggak bangun-bangun," semburnya ketika pintu kubuka."Maaf, aku baru bisa tidur sudah mendekati pagi," ucapku sambil mengucek mata yang masih terasa berat."Ngapain? Kelaperan?""Bukan, karena di tempat baru, aja.""Nih, sarapan. Makan dulu, ntar gue anter balik," ujarnya menyerahkan bungkusan plastik. "Bubur ayam kesukaan lo. Ekstra cakwe seperti biasa," lanjutnya."Makasih, nggak sekalian bikinin teh angetnya?""Eh ngelunjak!" Satu jitakan pelan melayang ke puncak kepalaku."Cih! Nggak sopan banget memperlakukan tamu," gerutuku mengusap kepala bekas jitak
Mobil Rio menepi di depan pagar kos. Tanpa menawarkannya untuk masuk, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu."Lia!" teriaknya ketika aku baru saja hendak menutup pintu pagar."Ya?" Aku berbalik, mengurungkan niat menutup pintu."Boleh minta nomor lo?"Aku menatapnya agak ragu. Aku bukan tipe suka bertukar nomor ponsel jika tidak terlalu dekat dengan seseorang."Buat apa?""Kok buat apa? Apa nggak boleh gue ngontak lo?" tanyanya terlihat heran dengan pertanyaanku."Iya, maksudnya keperluan kamu ngontak aku buat apa?""Masa harus sedetil itu? Emangnya nggak mau jadi teman?""Oh ... i-iya, boleh."Aku menyebutkan nomor ponsel, Rio lalu menelpon memastikan nomor yang kuberikan tidak salah."Save nomor gue, ya," ujarnya melambaikan tan
"Apa nggak sebaiknya nanya sama Ares dulu, Beb?" saran Tania mengusap pelan punggungku. "Gue lebih percaya Ares daripada Rio," imbuhnya.Meski selama ini Tania menganggapku bodoh masih menyukai Ares di saat cowok itu telah menyatakan hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi tak membuat gadis itu serta merta memberi komentar buruk terhadap Ares."Nggak mungkin dia akan mengakui, Ta!" sahutku dengan suara sengau."Ya kalau dia nggak mau ngakuin, paling nggak, dia tau alasan lo buat menghindarinya.""Nggak, ah! Biarin aku jaga jarak aja sama dia. Kalau udah ketemu dia, ntar hatiku lemah lagi." Aku kembali terisak."Ye, gimana nggak bakal ketemu, kalian ngambil mata kuliah bareng, ya bakal ketemu terus. Nggak enak dong dari yang biasa dekat banget, tiba-tiba menjauh."Aku bersikeras akan menyimpan sendiri apa yang disampaikan Rio padaku. Ti
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala