Aku kembali ke kamar setelah semua sketsa Ares menjelma jadi jelaga. Tak ada lagi yang bersisa. Namun entah kenapa masih saja ada sesak yang kurasa mengganjal.
"Nih, diminum dulu. Terus ini kompresan buat mata lo," ujar Tania menyerahkan segelas teh lemon hangat dan eye pad gel ke tanganku. "Lo udah makan?" kembali dia bertanya sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih."Sudah.""Makan apa?" selidiknya seakan tak percaya dengan jawabanku."Tadi Aldo datang bawa kwetiaw.""Oh, ya sudah. Istirahat kalau bisa." Tania berlalu meninggalkanku seorang diri di kamar."Ta!" Aku mencegatnya sebelum gadis itu menutup pintu."Uhm? Kenapa?" Mojang Kuningan berparas kemayu itu melongokkan kembali kepalanya di antara celah pintu yang hampir ditutup."Kayaknya aku cerita sekarang aja, deh. Kamu udah mau tidur?" tanyaku ragu-ragu."Belum, sih. Ya sudah kalau mau cerita, sok mangga." Tania kembali masuk kamar dan menghempaskan tubuh lampainya di bean bag lantai kamar. Kemudian duduk bersila menatapku penuh perhatian."Ta, emang salah ya kalau aku selama ini suka sama Ares?" tanyaku dengan mata kembali berembun."Enggak salah, sih. Cuma rada bego aja menurut gue. Emang Ares cakep, perhatian sama lo, tapi kalau ngga ngasih kepastian kayak gitu buat apa ditungguin terus sampai menutup diri dari cowok yang beneran suka sama lo," cecar Tania dengan berapi-api. "Terus kenapa tiba-tiba lo jadi bakar-bakarin tuh sketsa si Ares?" tanyanya penasaran."Aku baru tau, ternyata selama ini Ares ngerasa keganggu sama aku.""Tau dari mana?""Rio yang bilang." Aku kembali menyusut ingus dengan suara bergetar kembali melanjutkan bercerita, "Katanya, selama ini Ares cuma terpaksa bersikap baik sama aku karena dia memang orangnya enggak enakan.""Masa sih? Kok gue enggak percaya, selama yang gue kenal, Ares itu ceplas ceplos aja kayak gue," ungkap Tania menyangsikan ceritaku.Memang benar apa yang dikatakan Tania. Ares tipe cowok ceplas ceplos dan terkesan cuek. Dia hampir seperti buku yang terkembang. Apa yang ada di pikirannya, selalu ia ungkapkan tanpa memikirkan efeknya. Hingga apa yang disampaikan Rio siang tadi tentang apa yang dikatakan Ares, terasa begitu mengejutkan.
*****
Satu setengah tahun setelah gelar budaya yang diadakan di Jakarta, aku kembali disibukkan dengan segala urusan sekolah. Terlebih lagi ketika naik kelas tiga, semua bimbingan belajar untuk mata pelajaran yang tak kuminati, harus kuikuti.
Papa memberi ultimatum, jika sampai nilai-nilaiku jeblok dan tidak bisa lulus Fakultas Kedokteran seperti kakak-kakakku, aku harus membiayai sendiri kuliahku nanti jika masih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana.
Ditengah-tengah rasa frustasi menghadapi semua modul-modul tugas sekolah dan bimbingan belajar, wajah Ares masih belum bisa sepenuhnya minggat dari pikiranku. Di sela-sela waktu yang kupunya, aku masih saja terus menggoreskan sketsa wajahnya. Entah kenapa, setiap kali pensilku menggoreskan garis wajahnya di buku sketsa, seperti ada rasa tenang yang kurasa.
"Cowok ini lagi. Ini siapanya kamu, Lia?" Suara bass Aldo mengagetkanku.
Aldo, dia tadinya kakak kelasku. Hanya saja ketika kelas dua, dia mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang dengan konsekuensi, tertinggal satu tahun di sekolah formal. Lalu ketika kembali ke Indonesia, dia sekelas denganku.
Hobinya menggambar membuat kami menjadi dekat. Jika Aldo lebih menyukai sketsa desain ruang, aku lebih menyukai sketsa wajah.
"Eh malah bengong ditanya." Aldo menyentil ujung hidungku."Enggak kenal juga, sih. Tiba-tiba tanganku gerak aja ngegambar wajah ini," sahutku sedikit berbohong.
"Kalau aku perhatikan, kamu mulai sering menggambar wajah ini setelah pulang dari Jakarta. Kenal di pameran, ya?" Tembaknya dengan cengiran lebar.
"Hu-uhm. Aku tiba-tiba nggak bisa melenyapkannya dari pikiran. Dengan menggambar sketsa begini sedikit membuatku bisa mengurangi bayangannya."
"Kamu jatuh cinta sama cowok di sketsa itu?" Aldo kembali bertanya.
"Ketinggian mungkin kalau dibilang cinta, ya. Mungkin lebih tepatnya kagum. Kamu ingat pas pementasan musik, ada yang mainin Kiss the rain pakai gitar akustik, nggak?"
Aldo terlihat mencoba mengingat-ingat sesuatu. Satu setengah tahun berlalu dari acara kebudayaan itu, wajar dia lupa."Enggak," sahutnya menyerah. "Kalau disuruh ingat cewek, aku bisa ingat," kekehnya."Huu ...." Tepukan ringan melayang ke bahunya yang bidang.
"Terus, kamu suka sama cowok ini?" tanyanya dengan wajah serius.
"Enggak tau deh, cuma suka lihat garis wajahnya," sahutku menatap hasil goresanku di buku sketsa.
Aldo hanya diam. Mengalihkan tatapannya dariku.
"Eh, kamu sudah tau lomba bikin komik yang kemarin ditempel di mading belum?" tanyanya tiba-tiba."Belum, Memangnya ada?""Ada, lusa hari terakhir. Aku pikir kamu sudah tau. Tadinya mau ngajak kolaborasi, kamu bikin karakternya, aku bikin background," ujarnya antusias."Ya ... Do, kamu 'kan tau, aku nggak punya waktu lagi buat bikin-bikin komik. Semua alat gambarku disita Papa," sahutku memasang raut kecewa."Kalau kamu mau bandel dikit, bilang sama Papamu belajar kelompok aja. Entar kita bikin di rumahku, aku baru beli tablet untuk gambar." Aldo menyeringai jahil. "Lumayan kalau menang, hadiahnya jalan-jalan ke Jepang," lanjutnya antusias.Aku membuang napas pelan. Merasa tidak tega mematahkan semangat yang tampak berkibar dari balik kacamata cowok berkulit pucat itu.
"It's over, finito!" sahutku pelan."Yah!" Kecewa jelas terjejak pada wajahnya."Sorry, Do. Hidupku bakal tamat kalau Papa tau aku berbohong. Aku enggak berani," sesalku."Sayang banget, sih, Li. Banyak orang harus les buat bisa gambar kayak kamu. Giliran kamu punya bakat malah nggak dikembangkan." Dia masih berusaha membujuk."Ya ... mau gimana lagi. Tuhan juga salah ngasih kayaknya ke aku," keluhku mendengkus lemah."Hush! Malah nyalahin Tuhan," sergahnya."Yang ngasih aku bakat seperti ini, 'kan Tuhan. Lalu, yang nempatin aku di keluarga yang enggak ngehargain bakatku, juga Tuhan. Aku mau nyalahin siapa lagi." Aku mengendikkan bahu.Aldo tak lagi bersuara. Selalu seperti itu. Bagai menemukan jalan buntu, setiap kali membicarakan perihal talenta yang kupunya. Aldo mempunyai orangtua yang mendukung penuh bakatnya, segala fasilitas yang di butuhkannya untuk mengembangkan bakat, disediakan lengkap.
Sementara aku, jangankan mendapatkan fasilitas serupa, sekedar melepas lelah dengan menggambar pun aku tak mendapat izin.
Lulus SMA, aku dan Aldo sama-sama berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan kami. Aldo sudah mantap memilih Fakultas Seni Rupa di kampus tertua di Bandung. Sedangkan aku, tetap harus menjejal otakku dengan bimbingan belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.
[Lia, di kosanku ada cowok yang mirip sama sketsamu] satu pesan singkat dari Aldo sontak membuat pikiranku kembali terfokus pada cowok berhidung mancung itu.
[Namanya Ares, bukan?] balasku cepat.
[Iya. What a small world! Ntar deh aku ajak ketemuan, ya.]
Mendadak bingung harus membalas apa. Ketemuan? Lalu nanti hendak membicarakan apa. Bahkan mungkin namaku tak lagi diingat cowok itu.
[Ih, enggak usah, Do. Kamu, kan tau kalau aku paling males ketemuan sama orang baru, apalagi cowok.] Akhirnya kalimat penolakan yang bisa kukirimkan pada Aldo.[Dia masih ingat kamu, kok, Lia.] Kembali satu kalimat singkat dari Aldo itu berhasil membuat jantungku berlompatan.
"Eh, kamu memangnya cerita apa sama Ares? Kok tau-tau bilang dia masih ingat aku?" semburku ketika Aldo menerima panggilan telponku.
Bolak balik membaca dan membalas pesan dari Aldo mengenai Ares membuatku gugup membalas pesan darinya. Entah berapa kali aku mengetikkan kalimat yang kacau karena mendadak tanganku gemetar. Entah karena apa.
"Enggak cerita apa-apa. Pas ada anak baru pindah di depan kamar, aku merasa familiar melihat wajahnya. Iseng deh nanya apa dia kenal sama kamu. Pas aku kasih tau nama kamu, dia langsung inget, tuh," papar Aldo.
Serasa diterbangkan ke langit begitu mendengar apa yang dikatakan Aldo. Selama ini, aku bagai punguk merindukan bulan. Setiap hari menggambar sketsa orang yang sama tanpa tau kabarnya bagaimana. Ternyata orang yang telah memonopoli pikiranku, juga masih mengingatku. Berbagai kata andai mulai memenuhi pikiranku.
"Lia, masih disana?" Suara Aldo menyeretku kembali pada kenyataan.
"Iya, masih," sahutku meredakan euforia sesaat.
"Jadi, mau nggak, ketemuan nanti malam?"
"Uhm, aku nggak berani keluar malam, Do. Takut tiba-tiba Kak Daren datang ke kosan. Bisa dicincang sama Papa kalau ketauan keluar malam." Membayangkan Kak Daren dengan wajah kakunya melapor pada Papa seketika membuatku bergidik.
"Atau aku yang main ke sana sama Ares?"
"Eh, kan kosanku enggak boleh nerima tamu cowok, Do. Lagian kenapa sih harus malam ini? Masih bisa besok, 'kan ketemuannya?" tanyaku sedikit heran.
"Nih, ngomong sendiri." Terdengar suara Aldo seperti berbicara pada orang lain.
"Halo, Li," sapa sebuah suara yang tak kukenal dari seberang sambungan.
"Iya. Ini siapa?"
"Ares. Masih ingat, kan?"
Otomatis aku membekap mulut agar tidak ada jeritan yang keluar. Semua ini terasa begitu tiba-tiba. Ruangan mendadak terasa panas. Entah aku terkena sindrom apa. Suara cempreng yang dulu kuingat berganti dengan suara lelaki dewasa. Aku salah tingkah sendiri meski orangnya tak berada di hadapanku.
"Halo, Li?" Suara renyah dan empuk di telinga itu kembali terdengar.
"Iya. Maaf aku lagi mencoba mengingat," ujarku menetralkan rasa grogi.
"Cowok yang kamu bikinin sketsa waktu di pameran budaya," ungkapnya seakan menimpakan sebongkah batu besar di kepala.
"Iya, aku ingat." Aku menyerah untuk terus berpura-pura. Khawatir jika Aldo juga sempat mengatakan bahwa setelah pameran budaya itu, aku masih terus memenuhi bukuku dengan sketsa wajahnya. Bisa hancur harga diriku.
"Besok bisa ketemuan?" tanyanya sekali lagi.
"Abis pulang bimbel kali, ya." kalimat itu lepas begitu saja, lalu menyesal telah mengucapkannya.
"Ok. Sekalian makan siang, ya. See you. Ini aku balikin lagi sama Aldo." Aku hanya melongo tanpa sempat menjawab.
"Sampai ketemu besok, Lia!" Aldo pun memutuskan sambungan.
"Hei! Kalian kenapa seenaknya saja menyudahi pembicaraan tanpa menunggu orang lain menjawab sih?" teriakku pada handphone yang masih kupegang.
Arrgh! Besok aku harus bagaimana? Rasa panik mulai menjalar. Tak pernah terpikirkan olehku akan bertemu kembali dengan orang yang tanpa sengaja sempat masuk dalam alur cerita hidupku. Aku berpikir, dia hanya salah seorang figuran yang berperan sekilas dalam ceritaku.
Kembali, aku mengambil buku sketsa. Menorehkan kembali garis-garis yang membentuk wajah Ares. Membayangkan seperti apa wajahnya sekarang. Gugup, tapi tak sabar menunggu besok.
Jangan-jangan Ares jodohku, gumamku dalam hati, tak mampu menghentikan bibir yang tak berhenti tersenyum.
Keesokan harinya, Aldo menjemputku ke tempat bimbingan belajar bersama Ares. Gaya Ares masih sama dengan pertama kali aku mengenalnya, cuek. Siang itu dia memakai jaket jeans belel dengan kaus oblong longgar di baliknya. Rambut bagian poni pun masih seperti kuingat, agak gondrong berantakan. Bedanya, dia terlihat lebih tinggi."Hai, Li. Ketemu lagi," sapanya dengan cengiran lebar."Hai ...." balasku kikuk."Yuk ah, cabs udah laper," ajaknya sambil mengusap perut.Tanpa banyak basa-basi, aku, Aldo dan Ares meninggalkan gedung bimbingan belajar. Menyusuri jalan Juanda ke arah Gasibu. Aku berboncengan dengan Aldo, sementara Ares sendirian mengendarai skuter tuanya.Tempat makan pilihan kedua cowok itu di sebuah rumah makan dengan gaya prasmanan."Di sini restoran all you can eat dengan kearifan lokal," terang Ares sambil meny
Aku dan Ares berpisah di gerbang utama kampus tempat ujian seleksi dilaksanakan. Cowok itu kebagian gedung di bagian Utara kampus, sementara aku di gedung bagian Timur."Ntar kalau sudah beres, tunggu di gedung lo aja, Li. Biar gue jemput ke sana," ujarnya ketika hendak berpisah."Okay, thanks, Res."Cowok itu berlalu dari hadapanku dengan langkah panjang dan tak menoleh lagi. Aku pun beranjak ke gedungku. Bimbang tiba-tiba saja menyelubungi. Apakah aku berani menjalani konsekuensi, apabila nanti lulus di jurusan yang bukan pilihan orangtuaku?Perang batin terjadi. Antara keinginan menjadi anak yang patuh atau menjadi anak yang pemberontak. Di tengah perdebatan batin dan kepala yang kembali terasa berat, ponselku berbunyi. Panggilan dari Mama."Halo, Ma.""Sudah enggak perlu doa Mama lagi sekarang?" cecar Mama dari seberang sambungan. "Hari ini kamu ujian, kan? K
Pada saat itu aku berada pada titik kultimasi rasa kecewa, marah dan sedih. Marah pada Tuhan, marah pada kedua orangtuaku. Sedih karena merasa diabaikan dan tak mempunyai tempat untuk bernaung. Kecewa karena perlakuan tak adil yang kuterima.Setelah Mama menutup telepon, Ares juga menelponku. "Selamat ya, Li! Lolos Sastra Jepang," ucapnya dengan suara penuh semangat.Alih-alih merasa senang, aku hanya diam tak menjawab ucapannya."Li, Lo masih di sana?" Kembali Ares bersuara.Belum sempat menjawab pertanyaannya, panggilannya terputus. Aku melempar begitu saja ponselku ke pojok tempat tidur, kembali menggulung tubuh dengan selimut. Mencoba mencari kenyamanan. Rasanya aku tak ingin melakukan apa-apa hari itu. Bahkan untuk menangis pun aku sudah tak mampu. Padahal di saat Mama menelepon, rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi setelah pembicaraan k
Memasuki tahun perkuliahan baru, aku terpaksa berhenti dari pekerjaanku di kafe. Bukan saja karena jarak yang harus kutempuh dari Jatinangor-Bandung, tetapi karena aku tidak mau mencari masalah lain dengan Kak Daren.Saat itu aku merasa hubunganku dengan Mama sudah sedikit membaik, tidak ingin mencari masalah baru jika Kak Daren memberi laporan macam-macam pada Mama.Kang Hilmi memaklumi permintaanku untuk berhenti bekerja di kafenya. Pada hari terakhir bekerja, Kang Hilmi memanggilku ke kantornya. "Lia, saya lihat kamu sering menggambarkan kalau lagi senggang, apa kamu mau ikut kerja di teman saya?" "Memang kerja apaan, Kang?" Aku balik bertanya ragu-ragu."Dia buka distro, kebetulan studio gambarnya ada di Jatinangor, kalau kamu mau, nanti saya bilang ke dia."Aku tak langsung menjawab. Masih ragu apakah masih bisa keluar bebas jika berada di bawah pe
Masa-masa kuliah terasa bagai dunia kebebasan bagiku. Awalnya aku berpikir, tinggal di kosan yang bersebelahan dengan Kak Daren, hidupku akan makin membosankan. Nyatanya kakakku itu tidak terlalu mengurusi keseharianku. Dia terlalu sibuk dengan persiapan sidang kelulusannya.Aku juga mulai menikmati pekerjaanku di studio gambar Kang Dadan. Penghasilan yang kudapat juga cukup lumayan untuk biaya sehari-hari. Bahkan Kang Dadan sering memberikan bonus jika desain yang kuserahkan menjadi produk unggulan. Lalu hubunganku dengan Ares pun semakin dekat. Bahkan teman-teman seangkatan sering menyangka kami pacaran. Di mana ada aku, Ares selalu mengikuti, kecuali ke toilet cewek.Terkadang disaat jeda jam kuliah, cowok itu sering bertandang ke kosanku, hanya untuk sekadar beristirahat atau menghabiskan sisa hari sebelum kembali ke Bandung untuk bekerja. Sikapnya masih seperti biasa, cuek sekaligus perhatian.
Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares."Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku s
Setelah Kak Daren pindah, hidupku makin bebas. Bagai anak ayam yang biasa dikurung, benar-benar menikmati masa keluar dari sangkar. Bebas tanpa batas. Berkeliaran kian kemari.Penyebabnya tak lain, karena aku mulai akrab dengan Agnes, penghuni kos sebelah kamarku. Awalnya dia hanya mengajakku untuk sekedar menghabiskan waktu di kafe yang tak jauh dari kosan kami. Lama-lama kami mulai makin dekat satu sama lain. Pembawaan Agnes yang supel, membuatku nyaman berteman dengannya.Bahkan sesekali ketika hendak pergi bersamanya, Agnes mendandaniku. Membuat rasa percaya diriku mulai tumbuh. "Lo itu sebenarnya cantik, hanya nggak bisa nunjukin kelebihan lo," ujarnya kala mendandaniku.Pertama kali melihat penampilanku di cermin, aku seakan melihat orang lain. Berbagai kosmetik dan make up yang dibubuhkan Agnes ke wajahku membuat tampilanku menjadi beda, aku menyukai hasil karya Agnes. Tidak terlalu menor, tapi menonjol
Mobil yang dikendarai Agnes memasuki area parkiran sebuah gedung apartemen di jalan Braga. Berhenti di area parkir yang bertanda "khusus untuk penghuni apartemen."Gadis itu mengajak kami turun, dan melenggang anggun ke arah lift. Perasaan takut kembali menguasai pikiranku. Kulirik ketiga gadis lainnya selain Agnes. Mereka tampak begitu santai. Bahkan melenggang sama anggunnya dengan Agnes."Nyantai aja, Sis. Enggak bakal diapa-apain kok." Tiba-tiba Silvi menggandeng tanganku. "Baru pertama kali clubbing?" tanyanya dengan senyum ramah. Aku mengangguk membalas dengan senyum kikuk."Jangan mikir macem-macem. Kita ntar cuma liat DJ battle sama having fun aja, nggak pakai drop-dropan," ujar Silvi seakan membaca pikiranku."Drop-dropan apaan?" tanyaku dengan polosnya."Mabok-mabokan," sahut Agnes tertawa geli.Aku hanya manggut-manggut. Me
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala