"STOP!!!"
Refleks Ferran dan Evan berhenti ketika tiba-tiba seorang gadis berseragam SMA menghalagi jalan keduanya dengan merentangkan kedua tangan.
Ferran mengernyitkan keningnya, memerhatikan gadis itu dari atas sampai bawah.
Gadis SMA itu berpenampilan lucu dengan rambut kuncir dua yang dihiasi pita merah muda cukup besar, namun tidak mengurangi kecantikan gadis blasteran beriris hijau itu.
Gadis itu tidak sendiri, dia bersama dua temannya.
"Kamu bernama Ferran?"
Ferran tidak menjawab, dia hanya melipat kedua tangannya di dada. Menatap jengah gadis kekanak-kanakkan di depannya.
"Sil, bener gak dia orang?" Bisik gadis itu pada seorang temannya yang masih bisa didengar jelas oleh Ferran, mengurangi kemalasannya karena polah polos gadis itu.
"Benar sekali nona manis, lelaki tampan di depan kamu bernama Ferran. Kamu ada perlu dengannya?" Timbrung Evan yang juga bisa mendengar bisikan keras dari gadis di depannya.
Gadis itu mengernyit, memerhatikan Ferran dari atas sampai bawah, seperti sedang menelisik untuk memberikan penilaian apa yang di katakan oleh Evan yang menyebut dirinya tampan.
Ferran mengangkat kedua alisnya kembali dengan mengulum senyumnya. Gadis di depannya adalah gadis paling normal yang pernah Ferran temuinya. Ferran melirikan matanya pada kedua teman gadis itu yang sesekali mencuri pandang dengan kagum, perhatian yang sudah ia biasa dapatkan.
"Begini aku Marie,-" Gadis itu mengulurkan tangannya, dengan santai Ferran menerima uluran tangan Marie.
"Marie!! kita ke sini buat ngelabrak bukan kenalan!" protes salah satu temannya pada gadis itu.
"Siapa yang mau kenalan? Marie kan cuma ngasih tau nama Marie." kilah Marie polos, dengan sadar atau tidak kalau tangannya sedang saling menggenggam dengan tangan Ferran.
Ferran menggeleng pelan melihat tingkah tidak jelas gadis di depannya.
"Tapi tangan lo bikin lain cerita!" kata seorang teman lainnya, dan dengan kompak menarik tangan Marie di gemgaman tangan Ferran yang dibantu temannya yang lain.
Marie menoleh cepat. Rautnya berubah gugup tapi gadis itu segera menyembunyikannya. Ferran tersenyum. Memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
"Kamu tidak mau kenalan juga sama saya? Saya Evan, teman Ferran." ucap Evan sambil mengulurkan tangannya pada Marie.
"Enggak mau." tolak Marie lembut.
"Kenapa?!"
"Ih siapa juga yang mau kenalan. Marie tuh ke sini cuma mau ngelakbrak temen kakak." terang Marie yang membuat kedua temannya tampak frustasi.
"Kenapa kamu mau ngelabrak Ferran?!"
"Ih kepo!" gerutu Marie. Evan tertawa.
"Habis kamu cantik, bikin kepo." sahut Evan dengan mengedipkan matanya. Marie melotot tidak nyaman. Ferran menarik tangannya dalam saku celana untuk meninju pelan pinggang Evan. Evan tertawa mendapat reaksi tidak terduga seperti dari Ferran.
"Ada apa? Bisa cepat?" tukas Ferran ketika Marie akan meladeni kata-kata Evan lagi.
Marie menoleh cepat pada Ferran.
"Begini," Marie mengangkat dagunya cukup tinggi, ekspresinya sangat lucu.
"Kenapa Kakak nolak temen Marie?"
Ferran mengerutkan keningnya tidak mengerti,
"Kakak tau, temen Marie sampe nangis seharian, tidak mau makan, tidak mau sekolah karena sakit hati ditolak cintanya sama kakak. Terus Kakak juga nolaknya tidak berperasaan dengan mengusirnya dari apartemen Kakak. Memangnya Kakak siapa? Ngerasa paling ganteng?-"
Gadis itu kembali memerhatikan Ferran dari atas sampai bawah.
"Iya sih Kakak ganteng, tapi temen Marie jauh lebih cantik,-"
"Dia kan perempuan, pasti saya kalah cantik." sela Ferran.
"Ihh bukan itu maksudnya!"
"Terus...?!" tanya Ferran lembut, matanya menatap geli pada Marie.
"Maksud Marie, temen Marie terlalu cantik buat kakak." sahut Marie gemas.
"Jadi menurut kamu, saya harus menerima teman kamu jadi pacar saya?!" todong Ferran yang sudah mengerti arah pembicaraan gadis di depannya.
Marie menggeleng cepat. Kemudian menggangguk cepat ketika menyadari kepalanya menggeleng.
Ferran pun tertawa,
"Pulang sana. Sudah sore." ucap Ferran sambil mengusap lembut puncak kepala Marie.
Sontak saja ucapan dan sikap lembut Ferran pada Marie membuat kedua temannya melebarkan mata tidak percaya. Sementara ketiga gadis masih tertegun, Ferran meneruskan langkahnya menuju mobilnya yang diikuti Evan yang sedang terkekeh karena sikap jahil Ferran yang sudah membuat baper anak gadis orang.
Ferran membuka pintu mobilnya, namun sebelum masuk, lelaki itu membalikkan badan menatap Marie.
"Marie,-" panggilnya.
Marie dan kedua temannya pun menoleh ke arah Ferran.
"Meskipun saya tidak ingat teman kamu yang nembak saya, tapi saya yakin kamu lebih cantik dari dia." tandas Ferran dengan bibir melengkung manis.
Marie melotot mendengar pujian frontal Ferran. Ferran terkekeh pelan, menggeleng-gelengkan sedikit kepalanya lalu masuk ke dalam mobilnya.
"Cantik heuh?" goda Evan meninju bahu Ferran setelah Ferran melajukan mobilnya.
Ferran tidak mengacuhkannya, matanya melirik pada kaca spion memerhatikan Marie yang kini sedang direnteti pertanyaan oleh kedua temannya. Ferran tersenyum puas, lalu meluruskan kembali pandangannya ke depan.
"Jadi misi kalian buat ngelabrak Ferran gagal?" "Gatot alias gagal total!" sahut Sisil. "Lo semua emang gak bisa diandelin!" hardik Shella si ketua genk. Menatap satu persatu ketiga temannya, Marie, Sisil dan Icha secara bergantian. Mereka bertiga sedang berjalan menuju kantin. "Ini semua gara-gara Marie. Bukannya ngelabrak malah kenalan." tukas Icha. Shella langsung menyorot tajam pada Marie memin
Bubar sekolah, Marie langsung menuju ruang guru untuk menemui guru matematikanya Bu Avi. Ia kabur dari teman-temannya yang sejak istirahat, selama jam pelajaran membahas sikap Ferran di kantin. 2 kali lelaki itu kedapatan mengelus puncak kepalanya. Yang terparah di kantin tadi, disaksikan oleh hampir seluruh murid di sekolah. Marie mendengkus dalam hati, kenapa lelaki itu harus bersikap seperti itu di depan banyak orang?! Genit! Ketika sampai di ruang guru, Marie segera mengatur napasnya. Ia memang mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan kakinya. Kenapa ia melarikan diri ke ruang guru karena Marie terkena remidi lagi. Kali ini masih mending nilainya 3, bukan bebek lagi.
Marie berjalan sendirian sepulang sekolah. Ia tidak bisa naik angkot karena tidak memiliki uang. Uangnya habis dipinjam oleh teman sekelasnya untuk ongkos pulangnya dia. Kasihan. Tapi ternyata Marie sedang sial. Ia berusaha menelepon papanya minta di jemput, tapi tidak diangkat. Mungkin papa sangat sibuk. Ia menelepon mamanya, lagi arisan. Kemudian alternatif terakhir, Marie menelepon kakaknya, tapi ternyata kakaknya masih ada kelas di kampusnya lalu menyuruhnya untuk ke sana. Terpaksa Marie menuju kampus kakaknya, Shirin. Jaraknya lumayan, 2 km dari sekolahnya. Masih mendinglah, daripada harus pulang berjalan kaki ke rumah yang berjarak 10 km. Bisa-bisa Marie ngesot nyampe rumah.
Marie dan Ferran menghabiskan waktu libur mereka di apartemen milik Ferran, seperti biasa. Mau bagaimana lagi, Marie tidak ingin mengekpos hubungan mereka berdua. Kalau pun mereka kencan di luar hanya untuk sekedar nonton atau karoke untuk menghabiskan waktu berdua, mereka pun akan berjalan terpisah. Biar tidak masuk lambe turah kata Marie. Ferran hanya bisa mangut. Bagaimana lagi, ia sudah menjadi bucin-nya Marie Alexandria. Si polos yang menggemaskan. Ferran sedang bermain video game sembari tiduran di sofa dengan Marie di pelukannya. Yang diawasi oleh Marie, si anak asuh memperhatikan di bawah kakinya dan Marie. Kucing yang menjadi saksi pertemuan pertamanya
Marie baru memasuki sekolah. Ia mengernyit ketika mendapati mading sekolah dipenuhi oleh siswa. "Pantes aja ya si Amanda bisa sekolah di sini. Ternyata anak rampok!" "Najis banget gak sih, kita satu sekolah sama anak penjahat?" "Bukannya si Amanda dapet beasiswa ya di sini?" "Bodolah masalah itu. Yang penting gue kagak ridho sekolah kita di sekolahin sama anak rampok."
'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.' Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya. Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman. Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY. Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. F
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m