Marie berjalan sendirian sepulang sekolah. Ia tidak bisa naik angkot karena tidak memiliki uang. Uangnya habis dipinjam oleh teman sekelasnya untuk ongkos pulangnya dia. Kasihan.
Tapi ternyata Marie sedang sial. Ia berusaha menelepon papanya minta di jemput, tapi tidak diangkat. Mungkin papa sangat sibuk. Ia menelepon mamanya, lagi arisan. Kemudian alternatif terakhir, Marie menelepon kakaknya, tapi ternyata kakaknya masih ada kelas di kampusnya lalu menyuruhnya untuk ke sana.
Terpaksa Marie menuju kampus kakaknya, Shirin. Jaraknya lumayan, 2 km dari sekolahnya. Masih mendinglah, daripada harus pulang berjalan kaki ke rumah yang berjarak 10 km. Bisa-bisa Marie ngesot nyampe rumah.
Marie menghentikan langkahnya, ketika matanya menangkap seekor anak kucing yang sedang memakan sesuatu di tengah jalan.
"Itulah kenapa dilarang buang sampah sembarangan, apalagi di tengah jalan. Selain bikin kotor, ngebahayain hewan jalanan yang kelaparan." Gumam Marie pada dirinya sendiri.
Merasa jalanan lengang, Marie pun berjalan mendekati si kucing. Bukannya langsung membawa anak kucing itu ke pinggir, Marie malah mengelus-ngelus kucing tersebut. Memerhatikannya makan.
"Neng awas! Ada mobil!"
Marie tidak menyadari orang-orang di pinggir jalan berteriak memperingatinya. Ia terlalu fokus pada sianak kucing yang lucu meskipun agak kotor.
"Laper ya? Kasihan... Mama kamu ke mana? Kok kamu sendirian... Anak kecil gak boleh sendiri tau, bahaya." kata Marie memberi nasihat.
Namun didetik selanjutnya, tiba-tiba Marie merasakan tubuhnya terlempar ke pinggir jalan.
"Aahh...." ringis Marie kesakitan.
"Astagfirulloh. Adek tidak apa-apa?!" Tanya salah satu bapak-bapak yang sedang mengerubuninya.
Marie menggeleng, padahal sikut dan lututnya lecet dan mengeluarkan darah.
"Kucingnya?" Marie celingak celinguk cemas mencari keberadaan si anak kucing.
"Aman." timpal seorang lelaki yang menyeruak dari kerumunan sembari memangku anak kucing jalanan itu.
"Syukurlah." Marie mendesah lega. Bibirnya menyungging manis.
Lelaki itu duduk di sampingnya lalu meminta orang-orang untuk bubar.
"Terima kasih semuanya." ucap Marie pada mereka.
"Lain kali hati-hati ya dek, bikin deg-degan aja." sahut seorang ibu-ibu.
"Iya bu, maaf ya." Marie tersenyum tidak enak hati.
"Kamu seharusnya bersyukur buat nyawa kamu sendiri. Kucing nyawanya 9, kamu 1."
Marie menoleh cepat pada lelaki yang menolongnya itu,
"Tetap saja kucing akan mati kalau terlindas. Nyawa 9 itu cuman mitos."
Lelaki itu mendengkus. Marie mengambil anak kucing berwarna abu berpolet hitam itu dari pangkuannya.
"Paman makasih ya udah nyelamatin aku sama kucingnya."
Marie tersenyum ramah pada lelaki itu. Lelaki itu melongo,
"Gue bukan paman lo!" sergahnya tidak terima.
"Kan memang bukan, Itu cuman panggilan sopan dari aku." timpal Marie polos, tidak terpengaruh sanggahan ketus dari pria itu.
Lelaki itu mendelik tajam. Marie menyengir. Lalu dia mengelus-ngelus kucing di tangannya.
Lelaki itu kemudian bangkit. Tidak lama dia kembali dengan sebuah botol air mineral, betadine, tisu, kapas dan perban.
"Ehh!" Marie menjauhkan tangannya ketika lelaki itu mencoba membersihkan luka lecet di tangannya.
"Harus dibersihkan." kata lelaki itu singkat. Lelaki itu kembali meraih tangan Marie untuk membersihkan lukanya kembali. Marie menurut, sepertinya penolongnya itu orang baik.
"Paman kenapa baik sama aku? Padahal kita tidak saling kenal. Pasti ada udang di balik batu yah...,"
*****
Ferran pov
Ferran menatap takjub gadis kecil di depannya, sedangkan tangannya mengusapkan betadine dengan kapas pada siku Marie.
Ferran baru menemukan model gadis seperti gadis di depannya.
Pertama, dia gadis terbodoh karena hampir kehilangan nyawa demi memerhatikan seekor anak kucing makan di tengah jalan.
Kedua, dia gadis pertama yang tidak tertarik padanya. Bukan karena Ferran terlalu percaya diri dengan pesona yang dia miliki, tapi Ferran selalu mendapatkan tatapan takjub dari para gadis, sampai dirinya merasa risih sendiri.
Apa karena dia masih bocah? Tapi anak SD sekali pun selalu jelalatan padanya. Sampai Ferran ngeri sendiri.
Gadis ini.... cukup menarik. Batinnya.
Ketiga, omongan gadis itu yang polos natural. Seperti barusan, dia menuduhnya yang tidak-tidak tapi dengan sangat halus. Seperti omongannya tidak dibuat untuk menyinggung orang lain, padahal cara itu lebih menyinggung.
Keempat, cantik. Sangat cantik. Wajahnya imut. Kulitnya putih terang. Pipinya merah alami. Dan matanya sangat indah. Beriris hijau. Banyak wanita cantik di sekitarnya yang juga memiliki paras bule seperti gadis di hadapannya, tapi gadis SMP ini memiliki pesona yang unik.
Sial. Rutuk Ferran saat jantungnya tiba-tiba berdegup tidak berirama. Tidak mungkin. Sadarlah! Gadis di depannya masih berseragam putih biru. Ferran menggeleng untuk mengenyahkan pikiran bodohnya. Dia tidak mungkin langsung naksir gadis bau kencur itu.
"Tidak? Syukurlah... Kalau paman tulus. Soalnya mama bilang sama aku. 'Marie! kamu jangan terlalu percaya sama orang asing. Sekarang banyak kasus penculikan. Kamu itu anak mama sama papa yang paling lugu. Nanti di culik terus dijual ke luar negeri.' gitu kata mama."
Ferran tersenyum mendengar ocehan kelewat polos dari gadis yang bernama Marie itu, yang menyalah artikan gelengannya.
"Kamu kelas berapa?" tanya Ferran kemudian, sembari memasangkan perban pada sikut Marie.
"Kelas 2A."
Lengkap. Ferran mengulum senyum.
"SMP mana?"
"Dharma bakti."
"Kamu pulang sendiri?"
"Iyah mau ke kampus kakak. Mau minta ongkos pulang. Uang aku di pinjem temen buat ongkos pulangnya dia."
Ferran menganga tidak percaya, didetik selanjutnya dia menyerah. Ferran tertawa.
What the....
Apa-apaan dia? Memberikan ongkos pada orang lain sedangkan dirinya menyiksa diri dengan berjalan sejauh berkilo-kilo meter hanya untuk sebuah ongkos? Hell, polosnya benar-benar terlalu.
"Kenapa paman tertawa? Padahal aku gak lagi melucu." protes gadis itu.
Ferran menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kamu baik." ujarnya dengan tawa yang sudah berhenti.
"Makasih. Semua orang juga bilang begitu."
"Jangan terlalu baik. Nanti dimanfaatin orang."
Ferran memencet hidung Marie sekilas. gemas. Dia sudah selesai memperban siku Marie yang terluka. Sekarang giliran kakinya.
"Gak apa-apa, yang penting kita ikhlas. Aku percaya, orang baik gak bakalan dijahatin."
"Hati manusia tidak ada yang tau."
"Paman terlalu negatif."
"Kamu terlalu positif."
"Karena pikiran positif membuat hidup lebih ringan dan bahagia."
Ferran mengehela napasnya. Lebih baik tidak usah disanggah lagi. Suka-suka gadis itu saja. Sepertinya logika dalam hidupnya sudah mati.
Ferran membasahi tisu dengan air untuk membersihkan luka di lutut Marie. Dia mengernyit. Apa gadis itu tidak merasakan sakit akibat luka-lukanya? Karena Ferran tidak mendengar ringis kesakitan sedikipun dari Marie. Keren...
Tapi tangan Ferran di tepis kasar saat dia akan menempelkan tisu basah itu pada lutut gadis itu.
"Biar aku aja. Ini area pribadi. Paman bukan mahrom. Dosa."
What the....
"Kalau lutut area pribadi, kenapa rok kamu di atas lutut? Area pribadi itu harus ditutupi. Haram di lihat orang!" cerocos Ferran dengan gemas sembari menjejalkan tisu basahnya pada tangan Marie.
"Paman kasar." protesnya sembari menyerahkan sianak kucing pada Ferran.
"Roknya lagi musim model begini. Marie suka. Gak apa-apa diliatin asal jangan disentuh sembarangan sama orang. Apalagi sama cowok. Apalagi om-om kayak paman. Kan ngeri. Kalau tiba-tiba paman keusap setan gimana?! Nanti malah grepe-grepe ke atas lagi. Kan takut."
"Serah lu lah bocah!"
Emosi jiwa. Untung cakep lu. Ferran menggerutu dalam hati.
"Itu kata mama." tambah si polos dengan menyengir padanya.
Ferran merasa ibunya juga sedikit gila mendoktrin anaknya yang kelewat polos melompong dengan menjejalkan pikiran cukup vulgar.
Dan seharusnya, anak berwatak seperti Marie disediakan bodyguard atau minimal supir. Jangan dibiarkan sendiri. Mengkhawatirkan. Terlebih jika diperhatikan gadis ini berasal dari keluarga berada. Barang yang ia pakai, barang branded semua.
Untuk beberapa saat suasana diantara keduanya hening kecuali suara kendaraan dan sayup-sayup orang yang berbicara di sekitar mereka.
Ferran melirikan matanya pada Marie yang sedang memasang perbannya dengan asal. Dia ingin membenarkan, tapi malas mendengar omongan ngaco gadis itu.
Tiba-tiba gadis itu berdiri.
"Paman, makasih sudah menolong Marie. Tolong rawat kucingnya ya?! Marie gak bisa bawa dia ke rumah. Papa gak suka ada hewan di rumah. Dah bayi kucing..."
Marie melangkah pergi. Ferran melongo. Kemudian menatap kucing di pangkuannya.
Apa-apaan ia?!
Ferran berdiri, lalu berjalan cepat untuk menyusul si gadis ajaib.
Ferran meraih lengan Marie sampai berbalik.
"Ada apa paman?" Marie mengernyit.
"Aku antar pulang." Ferran merutuki mulutnya yang malah berkata seperti itu, padahal niatnya ia ingin protes masalah si anak kucing di tangannya.
Tapi sudah terlanjur mau bagaimana lagi, pun Ferran menarik Marie menuju motor sport merah miliknya.
"Aku bisa pulang sendiri. Kata mama, aku gak boleh pulang sama orang asing, apalagi bicara banyak pada orang asing."
"Udah telat! Kamu ngomong sama aku udah kayak dongeng. Panjang."
"Aku kan cuma jawab aja dari tadi." sanggah Marie dengan suara lemah. Seperti menyadari jika ucapan Ferran masuk akal. Ferran tersenyum diam-diam.
Setelah sampai. Ferran mengambil helm dan memasangkannya pada Marie.
"Kakak aku pasti sudah nunggu di kampus."
"Kaki kamu terluka. Aku antar ke rumah kamu saja."
Ferran memasukan anak kucingnya ke dalam tas ranselnya dengan sedikit membuka ritsleting tasnya sebagai akses napas si kucing.
"Memang paman tau rumah Marie?"
Kan ada elu! Jawab Ferran dengan sabar.
Marie terpekik kaget saat Ferran mengangkat tubuhnya untuk mendudukkan gadis itu di jok belakang motornya. Lalu Ferran menyusul naik motornya.
"Pegangan."
.
"Bukan mahra,-"
Marie tidak menyelesaikan ucapannya karena Ferran langsung memutar gas motor sport merahnya. Marie menjerit, refleks memeluk perutnya. Ferran tersenyum.
Bukan mahram? Ini apa? Peluk-peluk. Dasar bocah, batin Ferran cengengesan.
Tidak lama kemudian. Mereka sampai di perumahan elit tempat tinggal Marie. Ferran membantu Marie turun dari motornya.
"Bi Asih... mang Asep..." Teriak Marie.
Tidak berselang lama, gerbang dibuka yang menampilkan wanita paruh baya berdaster. Ferran yakini jika ia adalah asisten rumah tangga di rumah Marie.
"Ya Allah, Non. Bibi tadinya mau nyusul ke sekolah. Soalnya non belum pulang-pulang. Bibi khawatir. Apalagi tadi ibu telepon bibi katanya enon kehabisan uang. Alhamdullah akhirnya non pulang juga. Syukur... Syukur..." kicau Bi Asih sambil mengelus dadanya.
Marie terkekeh, memeluk asisten rumah tangannya tanpa canggung sedikit pun.
"Jangan khawatir, bibi."
"Ya Allah ini kenapa Non?" Bi Asih memeriksa tangan dan kaki Marie yang di perban ketika menyadari adanya luka-luka itu di tubuh Marie.
"Jatuh. Tapi gak apa-apa kok. Gak sakit. Tuh lihat..." Marie melompat-lompat kecil meyakinkan kalau dia baik-baik saja.
"Iya. Iya. Bibi percaya. Sudah jangan melompat lagi takut jadi parah." ucap si bibi dengan wajah cemas memerhatikan kaki Marie.
Marie mengangguk patuh. Lalu gadis itu menghadap pada Ferran.
"Makasih sudah mengantar Marie pulang. Ternyata paman orang baik."
Ferran hanya tersenyum kecil sembari membantu Marie melepaskan helmnya.
"Tidak semua orang asing itu jahat. Tapi kamu harus tetap waspada." nasehatnya.
Marie mengangguk,
"Lain kali hati-hati. Harus lebih memperhatikan jalan." Ferran mengusap puncak kepala Marie dengan sendirinya.
Marie kembali mengangguk dengan bibir menyengir kuda. Bi Asih melongo takjub memerhatkan sikap perhatian Ferran pada Marie.
"Aku pulang."
Pamit Ferran sambil naik ke atas motornya.
"Paman, nama paman siapa?" tanya Marie kemudian,
"Ferran. Dan aku bukan pamanmu. Aku juga tidak setua itu. Panggil saja Ferran." jawab Ferran, mengurungkan niatnya untuk menyalakan mesin motornya.
"Tapi tidak sopan."
Ferran mengembus pasrah.
"Masuklah. Istirahat." ucapnya,
Marie mengiyakan dengan senyum yang cantik.
"Dah..." pamit Marie.
Lalu gadis itu memutar tubuhnya, berjalan ke dalam rumah. Marie berjalan normal tidak pincang.
Ferran yang masih memerhatikan, mengernyit, apa gadis itu benar-benar tidak kesakitan, -
Pikirannya langsung terhenti kala gadis itu mengubah posisi jalannya dengan mendorong tubuh Bi Asih dari belakang.
Kakinya berjalan pincang bahkan lebih tertatih dari sebelumnya. Mungkin akibat tadi Marie melompat-lompat.
Satu hal lagi yang Ferran tangkap tentang Marie,
Gadis itu tidak ingin membuat orang sekitarnya, mengkhawatirkannya.
Ferran tersenyum.
'Diamond Heart.'
Ferran menstater motornya lalj melajukannya, meninggalkan rumah gadis kecil yang sudah membuat degub jantungnya tidak beraturan untuk pertama kalinya. Siall!
Marie dan Ferran menghabiskan waktu libur mereka di apartemen milik Ferran, seperti biasa. Mau bagaimana lagi, Marie tidak ingin mengekpos hubungan mereka berdua. Kalau pun mereka kencan di luar hanya untuk sekedar nonton atau karoke untuk menghabiskan waktu berdua, mereka pun akan berjalan terpisah. Biar tidak masuk lambe turah kata Marie. Ferran hanya bisa mangut. Bagaimana lagi, ia sudah menjadi bucin-nya Marie Alexandria. Si polos yang menggemaskan. Ferran sedang bermain video game sembari tiduran di sofa dengan Marie di pelukannya. Yang diawasi oleh Marie, si anak asuh memperhatikan di bawah kakinya dan Marie. Kucing yang menjadi saksi pertemuan pertamanya
Marie baru memasuki sekolah. Ia mengernyit ketika mendapati mading sekolah dipenuhi oleh siswa. "Pantes aja ya si Amanda bisa sekolah di sini. Ternyata anak rampok!" "Najis banget gak sih, kita satu sekolah sama anak penjahat?" "Bukannya si Amanda dapet beasiswa ya di sini?" "Bodolah masalah itu. Yang penting gue kagak ridho sekolah kita di sekolahin sama anak rampok."
'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.' Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya. Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman. Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY. Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. F
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m
Ferran sedang terdiam di balkon studio miliknya sembari mengisap sebuah rokok dengan memandangi lampu kota. Pikirannya menerawang. Sudah beberapa hari dia hampir tidak menemukan senyum tulus dari gadisnya, bersamaan dengan beredarnya foto skandal dirinya dan Shirin yang mencuat di media. Apa Marie mengetahui perselingkuhannya dengan Shirin? Tidak. Tidak. Tidak. Marie pasti tidak tau, gadisnya hanya sedang badmood seperti yang dia katakan. Ini juga bukan kali pertama Marie-nya bersikap aneh seperti ini. Tapi.... Perkataannya dia kemarin sangat tidak biasa. Secara tidak langsung Marie meminta putus dengan wajah.... Sendu. Bukan dengan cara polos seperti biasa.
"Kami sudah mendapatkan 500 tandatangan dari semua murid Pelita pak, untuk mengeluarkan Amanda keluar dari sekolah. Ini belum semua. Karena kelas XI IPA 2. Ingin keputusan lewat sidang yang melibatkan seluruh perwakilan sekolah." Dea menyerahkan sebuah proposal pada kepala sekolah. Sesuai permintaan Marie, mereka semua kini telah berkumpul di auditorium sekolah. Pak Adnan membenarkan kacamatanya sebelum memeriksa isi dokumennya. "Semuanya berisi tandatangan, pak." Pak Adnan menyerahkannya pada Ferran.  
Usis 5 tahun "Papa, Shirin mau boneka beruang paling besar itu!" Shirin menunjuk boneka yang di inginkannya pada Dion. Mereka sekeluarga sedang berjalan-jalan di mall. Termasuk Marie dan Nilam. "Iya sayang." Dion pun langsung memanggil seorang pramuniaga agar mengambilkannya. "