Bubar sekolah, Marie langsung menuju ruang guru untuk menemui guru matematikanya Bu Avi. Ia kabur dari teman-temannya yang sejak istirahat, selama jam pelajaran membahas sikap Ferran di kantin. 2 kali lelaki itu kedapatan mengelus puncak kepalanya. Yang terparah di kantin tadi, disaksikan oleh hampir seluruh murid di sekolah. Marie mendengkus dalam hati, kenapa lelaki itu harus bersikap seperti itu di depan banyak orang?!
Genit!
Ketika sampai di ruang guru, Marie segera mengatur napasnya. Ia memang mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan kakinya. Kenapa ia melarikan diri ke ruang guru karena Marie terkena remidi lagi. Kali ini masih mending nilainya 3, bukan bebek lagi.
Namun begitu Marie adalah murid tersabar karena harus bulak balik keruang guru hanya untuk remidi. Gimana lagi, otaknya selalu stuck kalau disuguhi pelajaran. Apalagi disuguhi rumus-rumus yang rumit. Otaknya bakal langsung ngehang kayak Hp yang kelebihan aplikasi.
Setelah napasnya mulai normal, Marie pun mengetuk pintu sebagai formalitas, setelah itu ia masuk. Marie memberi salam pada guru-gurunya yang sedang berkumpul, dan di sana juga ada pak Aldrich sebagai pemilik sekolah. Pantas saja Ferran berada di sekolah. Selama satu tahun sekolah di Pelita, Marie baru melihat batang hidung Ferran di sekolahnya.
"Remidi lagi Marie?" Todong Pak Hasan, guru olahraganya ketika mereka berpapasan.
"Iya pak. Bu Avi pelit kalo ngasih nilai." sahut Marie yang cuma bisa didengar oleh Pak Hasan.
"Hush kamu itu..."
Marie terkikik. Lalu menghampiri bu Avi yang terlihat sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya.
"Sore bu."
"Marie, kita tunda ya remidi kamu. Kebetulan ibu lagi banyak tugas. Senin depan baru free." kicau Bu Avi tanpa basa-basi.
"Yah kok gitu sih bu, senin Marie sudah ada janji sama pak Samsul. Kalo remidi kimia dan matematika sekaligus, Marie bisa mati, Bu." rengek Marie dengan memelas terkesan mendramatisir.
Bu Avi menghela napas sabar. "Gimana ya?"
Bu Avi terlihat berpikir. Ia juga tidak tega kalau membuat Marie mengerjakan dua rumus berbeda dan rumit dalam satu waktu, bisa-bisa muridnya itu masuk rumah sakit karena otaknya langsung ngebul.
"Bu...?"
"Hmm..."
"Gimana kalo Marie beliin peralatan kelas sebagai gantinya." Nego Marie sepelan mungkin, kebetulan bu Avi adalah wali kelasnya.
"Mau nyogok ceritanya?!" Bisik seseorang yang entah sejak kapan berdiri di belakang Marie. Marie menoleh cepat. Bu Avi terlihat menegang di tempat.
"K-kamu....??!"
*****
Dengan langkah gontai, Marie mengikuti Ferran menuju ruangan pak Aldrich, ayahnya. Marie menghela napas pasrah.
Setelah kejadian tadi di ruang guru bersama bu Avi, Ferran menawarkan diri dengan sukarela untuk menggantikan bu Avi meremidi Marie, setelah sebelumnya menceramahi Marie dan Bu Avi dengan hanya beberapa patah kata, tapi nyelekit.
Ferran membuka ruangan pak Aldrich.
"Masuk." perintahnya sedikit ketus.
Tanpa membantah Marie masuk. Ferran menutup pintunya.
Ceklek!
Marie langsung memutar tubuh ketika mendengar suara putaran kunci.
"K-kenapa Anda kunci pintunya?"
Ferran memutar bola matanya, kemudian lelaki itu berjalan menghampiri Marie. Tanpa kata, Ferran menggenggam tangannya,
"Berhenti bersikap formal dan pura-pura gak kenal. Sudah gak ada orang." katanya dengan suara jengah.
Marie mencebik. Ferran tersenyum, mencium pelipis dan pipi Marie secara bergantian dengan gemas.
Ferran menuntun Marie menuju sofa, menjatuhkan dirinya di sana, menarik Marie agar duduk di pangkuannya.
"Ferran jangan gini. Kalau ada yang masuk gimana?"
"Kan sudah dikunci. Aman kok."
Ferran memeluk erat, mencium pundak Marie.
"Kok Ferran ada di sekolah? Tumben." tanya Marie membuka pembicaraan.
"Nganter Daddy, mobilnya mogok." jawab Ferran singkat.
"Ohh..."
"Kamu gak kangen? Padahal hampir seminggu kita gak ketemu?" kali ini Ferran yang bertanya dengan tidak berhenti menciumi pundak Marie.
Marie memutar tubuhnya menjadi miring di atas paha Ferran.
"Kemarin kan kita ketemu...," Marie mengalungkan kedua tangannya ke belakang leher Ferran.
Lelaki itu mendengkus. "Dan aku seperti orang bodoh harus berakting kalau kita gak saling kenal. Itu menyiksa! hampir saja aku kehilangan crontol memeluk kamu kemarin saking kangennya."
Marie terkekeh. "Maafin Marie ya...,"
Marie mencium pipi Ferran. "Di kantin juga Ferran gak bisa kontrol ya?" tanyanya polos.
"Itu naluri seorang pacar yang bicara. Bangga kalau liat pacarnya sangat baik." puji Ferran dengan senyum hangat di bibirnya.
"Tapi Marie jadi sasaran empuk teman-teman tau gak?!"
"Ya tinggal bilang saja sama mereka kalau kita pacaran." tukas Ferran ringan.
"Jangaannn.... Kan udah bilang Marie belum siap. Apalagi Shella sahabat Marie suka sama Ferran. Kalo dia tau kita pacaran, dia pasti kecewa sama Marie karena merasa sudah dibohongi."
Ferran memang bangga dengan kebaikan Marie, tapi terkadang pacarnya itu terlalu baik. Gadis itu terlalu memikirkan perasaan orang. Salah satu yang paling Ferran benci dari Marie. Karena menurut Ferran, baik sama orang itu harus diimbangi dengan pintar membaca karakter. Niat baik tidak selalu mendapatkan sambutan baik. Contohnya teman-temannya yang menjadikan Marie sebagai tameng untuk melabraknya karena mereka pikir Marie tidak mengetahui siapa Ferran yang notabenenya anak dari pemilik sekolah. Pacarnya terlalu perasa, dan Ferran terlalu menjaga perasaan Marie dengan memenuhi semua kemauan gadis itu.
"Mau sampai kapan kita berdua kayak gini terus hmm? pacaran sembunyi-sembunyi? Ini hampir tahun ketiga kita pacaran, sayang. Masa kamu gak capek?" ungkap Ferran sembari menyelipkan rambut bagian depan Marie yang tidak dijepit ke belakang telinganya dengan gerakan pelan. Menatap raut Marie dengan lekat.
Marie mengangguk paham pertanyaan pacarnya itu, mengusap lembut pipi lelaki tampan itu penuh perhatian.
Marie dan Ferran sudah saling mengenal selama 4 tahun, tepatnya ketika Marie kelas 2 SMP, saat itu usianya masih 14 tahun. Sedangkan Ferran seorang mahasiswa semester 2 yang sudah berusia 19 tahun. Mereka berdua melakukan pendekatan selama setahun karena Marie sendiri dulu cukup takut didekati oleh lelaki dewasa seperti Ferran, sebelum akhirnya, di tahun berikutnya, Marie memutuskan menerima Ferran sebagai pacarnya.
"Kan Marie selalu ngomong, kalau Ferran gak kuat, kita putus saja."
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu terus sih? Aku gak suka. Ucapan adalah doa, sayang. Memang kamu mau kita beneran putus?" cerocos lelaki itu menggerutu.
Marie tersenyum simpul, kepalanya menggeleng kecil.
"Marie gak mau putus sama Ferran. Tapi Marie juga kasian sama Ferran. Ferran kayak udah capek pacaran diem-diem sama Marie."
Ferran menarik napasnya dengan sabar. Jika dirinya mengeluh mengenai hubungan mereka berdua, pasti Marie menjawab enteng. Putus.
"Bukannya capek, sayang. Tapi kalau semua orang tau kita pacaran, kita bisa bebas pacaran depan umum. Temen-temen kamu juga gak bakalan genit lagi sama aku. Kalau mereka tulus tememan sama kamu, mereka juga pasti ngerti dan gak marah sama kamu." Ferran meraih pipi Marie untuk mengecup hidungnya.
"Tapi buat sekarang, Marie nyaman kayak gini, Ferran." balas Marie keras hati dengan suara melemah, menatap penuh penyesalan pada Ferran.
Marie sendiri sebenarnya sudah lelah bertahun-tahun menyembunyikan hubungannya dengan Ferran. Marie juga ingin diakui. Namun untuk saat ini memang ia tidak memiliki pilihan. Menyembunyikan hubungannya bersama Ferran memang yang terbaik.
Ferran tersenyum tipis, "ya sudah. Terserah kamu saja. Kamu nyamannya gimana, aku ikut."
Marie menipiskan bibirnya. Menarik napas dalam, lalu ia memeluk pacarnya dengan sayang. Menyandarkan kepalanya di dada bidang lelaki yang terpaut usia 5 tahun dengannya itu.
"Makasih, Marie sayang banget sama Ferran."
"Iya, sayang." Ferran mengusap lembut rambut panjang Marie yang dihiasi jepit pita besar bercorak polkadot biru dan putih.
"Katanya mau remidi? Sore ini Papa kamu pulang dari Surabaya kan?" kata Ferran mengingatkan.
"Oh iya. Marie kelupaan. Marie udah kangen pengen ketemu Papa." ucap Marie dengan semangat sambil melepaskan pelukannya dari Ferran. Ferran mengusap rambut Marie.
Tapi kemudian lelaki itu menahan Marie yang akan beranjak dari atas pangkuannya.
"Ferran..."
"Begini saja." pinta Ferran menyadarkan dagunya di bahu Marie setelah lelaki itu memutar tubuhnya menghadap ke depan. Marie pun nurut. Meletakkan lembaran soal dan jawaban yang ada di tangannya ke atas meja.
"Kok kamu sering banget diremidi? Hampir setiap ulangan loh. Aneh, padahal pas SMP kamu tuh pinter sama rajin. Bahkan ranking satu. Kenapa sekarang jadi langganan remidi?" tanya Ferran kemudian, Marie memang selalu menceritakan hari-harinya pada Ferran.
Dan Marie bersyukur, Ferran adalah pendengar yang baik.
"Mungkin otak Marie berhenti berkembang sampai SMP. Tapi ada untungnya kan, kita pacaran diam-diam?! Ferran jadi gak malu gara-gara pacaran sama cewek bego kayak Marie. "
"Bisa gak kalau bicara itu mikir dulu? Jangan selalu asal bicara."
"Idih yang katanya gak bisa ngambek sama Marie. Ini apa? Ketus banget." kekeh Marie.
Ferran tidak menyahut. Dia mendelik sebal pada gadis yang ada di pangkuannya. Kebiasaan buruk lain Marie adalah, bicaranya selalu sembarangan.
"Sudah kerjakan soalnya. Aku liatin dari belakang. Kalo salah, aku cium."
"Cium di mana dulu?"
"Bibirlah."
"Ogah."
"Nasib. Sudah diumpetin selama 3 tahun, gak pernah dikasih jatah lagi. Untung setia."
"Ferran selingkuh juga gak apa-apa." celetuk Marie.
"Makin ngaco kamu, cepet kerjain."
"Tapi boong. Wee..."
Ferran mendengkus. Marie terkikik. Pun ia membungkuk untuk mulai mengerjakan soal-soalnya.
"Besok week-end. Main ke apartemen ya?" Pinta Ferran. Marie cuma mengangguk sebagai jawaban karena ia sedang fokus mengerjakan soal matematikanya.
Ferran tersenyum, mencium bagian belakang kepala Marie, lalu menaruh kembali dagunya di bahu gadis itu. Memerhatikan pacarnya yang sedang berusaha menggerakan pensilnya di atas kertas jawabannya.
"Rumusnya salah sayang, seharusnya begini..."
Ferran memegang tangan Marie di atas pensil, menggerakan pensilnya secara bersamaan, menuliskan rumus yang benar sembari memberikan menjelaskannya pada Marie dengan perlahan, agar bisa di mengerti oleh pacarnya itu. Dengan sabar Ferran berusaha mengajarkan pacarnya itu di tengah Marie yang selalu mengeluh tidak paham.
Marie berjalan sendirian sepulang sekolah. Ia tidak bisa naik angkot karena tidak memiliki uang. Uangnya habis dipinjam oleh teman sekelasnya untuk ongkos pulangnya dia. Kasihan. Tapi ternyata Marie sedang sial. Ia berusaha menelepon papanya minta di jemput, tapi tidak diangkat. Mungkin papa sangat sibuk. Ia menelepon mamanya, lagi arisan. Kemudian alternatif terakhir, Marie menelepon kakaknya, tapi ternyata kakaknya masih ada kelas di kampusnya lalu menyuruhnya untuk ke sana. Terpaksa Marie menuju kampus kakaknya, Shirin. Jaraknya lumayan, 2 km dari sekolahnya. Masih mendinglah, daripada harus pulang berjalan kaki ke rumah yang berjarak 10 km. Bisa-bisa Marie ngesot nyampe rumah.
Marie dan Ferran menghabiskan waktu libur mereka di apartemen milik Ferran, seperti biasa. Mau bagaimana lagi, Marie tidak ingin mengekpos hubungan mereka berdua. Kalau pun mereka kencan di luar hanya untuk sekedar nonton atau karoke untuk menghabiskan waktu berdua, mereka pun akan berjalan terpisah. Biar tidak masuk lambe turah kata Marie. Ferran hanya bisa mangut. Bagaimana lagi, ia sudah menjadi bucin-nya Marie Alexandria. Si polos yang menggemaskan. Ferran sedang bermain video game sembari tiduran di sofa dengan Marie di pelukannya. Yang diawasi oleh Marie, si anak asuh memperhatikan di bawah kakinya dan Marie. Kucing yang menjadi saksi pertemuan pertamanya
Marie baru memasuki sekolah. Ia mengernyit ketika mendapati mading sekolah dipenuhi oleh siswa. "Pantes aja ya si Amanda bisa sekolah di sini. Ternyata anak rampok!" "Najis banget gak sih, kita satu sekolah sama anak penjahat?" "Bukannya si Amanda dapet beasiswa ya di sini?" "Bodolah masalah itu. Yang penting gue kagak ridho sekolah kita di sekolahin sama anak rampok."
'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.' Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya. Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman. Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY. Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. F
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m
Ferran sedang terdiam di balkon studio miliknya sembari mengisap sebuah rokok dengan memandangi lampu kota. Pikirannya menerawang. Sudah beberapa hari dia hampir tidak menemukan senyum tulus dari gadisnya, bersamaan dengan beredarnya foto skandal dirinya dan Shirin yang mencuat di media. Apa Marie mengetahui perselingkuhannya dengan Shirin? Tidak. Tidak. Tidak. Marie pasti tidak tau, gadisnya hanya sedang badmood seperti yang dia katakan. Ini juga bukan kali pertama Marie-nya bersikap aneh seperti ini. Tapi.... Perkataannya dia kemarin sangat tidak biasa. Secara tidak langsung Marie meminta putus dengan wajah.... Sendu. Bukan dengan cara polos seperti biasa.
"Kami sudah mendapatkan 500 tandatangan dari semua murid Pelita pak, untuk mengeluarkan Amanda keluar dari sekolah. Ini belum semua. Karena kelas XI IPA 2. Ingin keputusan lewat sidang yang melibatkan seluruh perwakilan sekolah." Dea menyerahkan sebuah proposal pada kepala sekolah. Sesuai permintaan Marie, mereka semua kini telah berkumpul di auditorium sekolah. Pak Adnan membenarkan kacamatanya sebelum memeriksa isi dokumennya. "Semuanya berisi tandatangan, pak." Pak Adnan menyerahkannya pada Ferran.  
"Kondisi Marie semakin memburuk. Kita bisa kehilangan dia kapan saja. Aku benar-benar turut menyesal, Ferran." "Apa yang harus kulakukan untuknya?! Aku tidak ingin kehilangan dia, Kak." "Bahagiakan Marie di sisa waktunya. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang." Ferran menaikan dasinya sampai terpasang rapi di leher kemejanya. Mengambil sebotol minyak wangi favoritnya, lalu menyemprotkan ke sekitar jasnya barunya. Tidak hanya jas, semua pakaian dan sepatu yang dikenakannya hari ini semua baru. Setelah dirasa penampilannya sudah sangat rapi, Ferran memutar tubuh, berjalan keluar dari kamarnya.  
"Papa,-" Liam menengadahkan wajahnya ke atas, mencegah air matanya agar tidak turun. Menarik napas dalam sebelum menimpali ucapan lemah dari putrinya yang sudah siuman setelah beberapa hari tidak sadarkan diri pasca operasi. "Papa kamu baik-baik saja. Operasinya berhasil. Kamu berhasil menyelamatkan Papa Dion." Liam mencoba menampilkan senyum bersahajanya pada Marie. "Syukurlah..." bisik Marie. "Badan Marie sakit semua," keluh Marie dengan kedua sudut mata mengeluarkan air matanya.
Ferran memandangi pemandangan di depannya, di rooftop rumah sakit. Ia tengah menunggu. Menunggu Marie yang sedang melakukan operasi transplantasi hati pada Dion. Operasi sudah berlangsung selama hampir 5 jam, Axel mengatakan operasi yang di lakukan Marie dan Dion bisa berlangsung selama 6 sampai 12 jam. Ferran tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi antara Marie dan Dion, yang ia butuhkan kabar kalau operasi berhasil dan Marie-nya baik-baik saja. "Aku mencari kamu ke mana-mana,"
Ferran memperhatikan dengan seksama orang suruhannya yang sedang berbincang dengan Liam di depan pintu kamar inap milik Marie. Tak lama kemudian Liam pergi bersama dokter gadungan suruhannya itu. Ferran cukup bersyukur malam ini Marie hanya di jaga oleh Liam. Liam cukup pengertian, meskipun Ferran tau lelaki paruh baya itu sedang di kecoh oleh dirinya. Ferran keluar dari persembunyiannya setelah Liam sudah menghilang dari pandangannya. Dia pun berjalan dengan cukup tenang menuju kamar inap Marie. Ferran membuka pintu secara perlahan. Menutupnya dan menguncinya dari dalam. Bahkan Ferran mencuri kunci cadangan ruang inap Marie t
Ferran terus menghisap rokok di tangannya dengan pikiran yang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap, sampai asbak di depannya penuh. Ferran tersedak asap rokoknya sendiri. Dia terbatuk dengan memegangi dadanya. Kemudian tiba-tiba ada yang menyodorkan segelas air padanya. Ferran tidak langsung menerimanya, dia melirikan matanya pada si pelaku. Axel. Ferran pun menerima gelas tersebut lalu meminumnya. Axel mendudukkan dirinya di seberang Ferran.
"Hallo," "Kamu di mana? Sudah berjam-jam aku menunggu kamu pulang, Marie." todong Samuel begitu Marie mengangkat telepon darinya. "Marie masih sama Ferran,-" aku Marie dengan jujur. Dia melirikan matanya pada Ferran yang terlihat fokus menyetir. Tidak terpengaruh oleh Marie yang tengah menerima telepon dari Samuel. "Sebentar lagi Marie pulang kok. Maaf ya Kak..." Marie mendengar Samuel menghela napasnya dengan berat. &nb
Sampe segitunya lo nyari perhatian papa sama kakak angkat lo? Sampe-sampe lo mamfaatin Pak Ferran?" Marie tersenyum kecil. Namun tanpa ke empat gadis itu sadari, Ferran berada di belakang mereka. Ferran tersenyum kecut, kemudian dia berbalik, mengurungkan niatnya untuk makan bersama Marie dan teman-temannya di kantin. ____________________________________________________________________________________ Marie menggeleng, "Marie emang manfaatin Ferran buat mancing marahnya kak Shirin sama papa Dion,- tapi Marie
"Kamu masih belum ingin bicara padaku?" Ferran menoleh pada Marie yang berada di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ferran. Pagi-pagi sekali Ferran menjemputnya dengan membawa sekantong roti dan susu untuk opa Handoko. Dan kakek tua itu langsung melempar paper bagnya karena menurutnya Ferran membawa makanan untuk orang sakit, dan sama saja mendoakan dirinya cepat mati. Namun Ferran tidak menghiraukan sikap kakek tua itu atau menyanggah semua omongan opa Handoko. Ferran sedang malas berdebat, lebih memilih menyambar tangan Marie lalu menyeretnya ke dalam mobil. Marie tidak menyahut. Gadis itu memang masih ma
68Ferran, Shirin, Evan dan teman-temannya sedang berada di sebuah Club malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai model. "Cho, Nicholla gak dateng?" Tanya Erick salah satu temannya. "Udah tobat ke tempat ginian dia." jawab Ferran dengan asal sembari merogoh ponsel di saku celananya. Yang pasti, Nicholla tidak datang karena adiknya itu memang jarang bersosialisasi, dan hanya akan datang ke pesta yang menurutnya mewah. Ketika Ferran dan Evan mengajak Nicho