'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.'
Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya.
Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman.
Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY.
Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. Ferran memang manis banget.
Dan yang lebih istimewa lagi, mobil itu adalah mobil pertama yang Ferran beli menggunakan uangnya sendiri. Sekitar 5 bulan yang lalu. Ferran adalah sosok terajin yang pernah Marie kenal. Selain menjadi wakil CEO di perusahaan keluarganya, Ferran juga menyambi sebagai fotografer.
Marie cemburu, karena Ferran sering memfoto model-model cantik. Tapi Marie tidak pernah mengatakannya pada Ferran. Karena Marie tau, kalau Marie mengatakannya mungkin Ferran akan langsung berhenti. Fotografer adalah cita-cita kecil Ferran, sedangkan bekerja di perusahaan adalah tuntutan keluarganya. Dan Marie tidak mau merusak cita-cita sederhana pacarnya hanya karena cemburu. Marie percaya Ferran. Ferran hanya mencintainya.
Beberapa langkah lagi sampai, Ferran keluar dari mobilnya. Pria itu tersenyum pada Marie. Lalu berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu untuknya.
"Silahkan, princess."
"Makasih..."
Marie duduk di bangku penumpang sebelah kemudi. Ferran pun kembali masuk ke dalam mobil.
"Capek?" tanyanya,
"Lumayan. Deket apanya?! jauhh..." protes Marie.
Ferran merangsek. Dia menangkup kedua pipi Marie, memerhatikan pipi Marie yang semakin merah oleh terik matahari.
"Maaf, tapi ini tempat yang paling sepi buat pasangan kriminal seperti kita."
"Ihhh Ferran..."
Ferran memang terkadang menyebalkan dengan menyebut jika mereka seperti pasangan copet yang harus sembunyi-sembunyi dari masa untuk melancarkan aksi pacarannya.
Ferran terkekeh. Membawa Marie ke dalam pelukannya.
"Dari tadi pengen meluk kamu. Baru kesampaian." aku Ferran.
"Iyakah?"
"Hmm... Bangga sama kamu."
"Bangga?"
"Bangga karena kamu melakukan kebaikan pada tempatnya."
"Amanda?"
Ferran mengangguk.
"Kan Ferran yang ngajarin."
Ferran mencium puncak kepala Marie.
"Dalam hidup kita juga harus menggunakan logika daripada perasaan. Termasuk kebaikan. Bukannya aku nyuruh kamu buat milih-milih. Tapi aku tidak mau kalau kebaikan yang kamu buat bisa merugikan diri sendiri. Aku takut kamu terluka oleh kebaikan kamu sendiri."
Marie mengangguk sembari mengeratkan pelukannya. Tersenyum lebar sambil menghirup aroma kayu manis dan mint, parfum khas Ferran yang Marie sangat sukai.
"Tapi ada satu hal yang tidak aku suka."
"Apa lagi?"
"Kamu jadi tambah malas dengan membuat Amanda mengerjakan semua tugas sekolah kamu, sayang."
Marie terkekeh. "Sekali-kali, Ferran. Menyelam sambil minum air. Menolong orang sembari menolong diri sendiri."
Ferran mendengkus, "Makin pinter kamu kalau ngomong."
Marie terkekeh. Ferran puncak kepala gadisnya.
"Sayang, aku punya kabar gembira."
"Apa?"
"Aku berhenti dari kantor."
Marie melepaskan pelukannya dan menatap heran Ferran.
"Daddy setuju, aku yang urus sekolah sampai S2 ku beres. Seneng gak?"
"Yah..." ringis Marie.
"Kok yah? Gak senang? Padahal aku lakuin semua itu demi kamu."
"Soalnya Marie harus nyiapin iman yang kuat dari godaan setan kalau harus tiap hari ketemu sama Ferran."
Ferran tertawa pelan, dia menggesekkan hidungnya pada hidung Marie. Gemas.
"Ciuman itu enak sayang."
"Dosa."
"Yang dosa itu memang enak. Kamu belum tau aja." timpal Ferran sekenanya.
"Masa sih? Emang ciuman enak banget ya?"
"Kamu akan ketagihan. Yakin gak mau nyoba?" goda Ferran sambil memperhatikan bibir merah muda Marie yang segar.
"Ih Ferran nakal."
Marie mengusap wajah Ferran dengan cemberut. Ferran tertawa. Dia mencium kening dan hidung Marie untuk menyalurkan kegemasannya.
*****
"Gimana hasil fotonya, Cho?"
Shirin menghampiri Ferran dan memeluknya dari bekang sembari memperhatikan Ferran yang tengah mengecek hasil jepretannya. Kali ini modelnya adalah Shirin, teman kuliahnya. Sekaligus model yang sedang naik daun, calon saingan adiknya. Ferranlla. Model paling arogan seantero jagat raya.
"Bagus. Seperti biasa." Jawabnya dengan lempeng.
"Cho, yang semalam---"
"Tidak usah dibahas. Kita berdua lagi mabuk. Sorry kalau semalam aku hampir lepas control."
Ferran melepas pelukan Shirin. Beranjak menghampiri Evan. Lalu menyerahkan kameranya pada Evan yang akan mengedit hasil jepretannya.
"Pilih 10 foto terbaik lalu kirim ke agensi. Biar mereka yang pilih sendiri buat covernya."
Ferran menjatuhkan dirinya di sofa.
"Lo lagi berantem sama si Shirin?" tanya Evan sembari melirik pada Shirin yang sedang berjalan ke ruang ganti dengan langkah gontai.
"Apa masalah semalam di kelab?" cerca Evan penasaran.
"Semalam gue hampir lepas control lagi. Kita berdua hampir gituan."
"Cupu. Kenapa hampir? Kenapa gak di terusin? Terus jadiin si Shirin pacar. Lo bukannya suka sama Shirin?"
"Suka tapi bukan idaman."
"Muna. Bukan idaman tapi kalian berduaan terus. Bahkan lo hampir merawanin dia." celoteh Evan.
Ferran menghela napas berat, Shirin adalah teman kuliahnya. Hampir 5 tahun mereka berteman dan hampir 2 tahun mereka berdua menjalani hubungan tanpa status. Dan selama 2 tahun itu dirinya mengkhianati Marie. Ferran adalah pria normal. Marie tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan. Namun begitu, bagi Ferran, Marie adalah cinta dan masa depannya.
"Kasihan Shirin. Sejak lama dia suka sama lo, Cho. Eh pas kejadian, lo malah milih HTS sama dia. Bejad lo jadi cowok."
"Gue gak cinta sama Shirin. Tapi gue butuh."
"Butuh nyalurin hasrat? Kalo nyalurin hasrat, lo beli aja. Jangan mainin perasaan anak orang."
Ferran hanya terdiam. Sembari menatap langit-langit.
Tak lama Shirin datang dan duduk di sebelah Ferran. Ferran memberikan senyumnya sembari mengusap puncak kepala Shirin. Lalu menarik kepala gadis itu untuk mendaratkan sebuah ciuman dan membawanya ke dalam pelukannya.
Shirin pun tersenyum lebar di dalam pelukan Ferran.
Evan memutar bola matanya, "Pasangan aneh lo berdua!"
_______________________________________
Marie mengarahkan panah di layar laptopnya pada tulisan 'publikasi', kemudian ia menekan touchpad untuk mempublikasikan novel yang sedang di tulisnya. Secara diam-diam, Marie memang iseng menulis cerita di salah satu aplikasi novel. Pembacanya belum terlalu banyak, tapi lumayan. Namun bukan itu tujuan Marie menulis. Ia hanya ingin sedikit menyalurkan beban pikirannya melalui tulisannya.
Marie mematikan laptopnya, mengalihkan pandangannya pada majalah di sampingnya. Ia menatap nanar. Di mana terselip artikel kecil dengan foto Ferran yang sedang berciuman di sebuah kelab malam bersama perempuan yang sudah tidak asing lagi bagi Marie.
Marie menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kembali dengan kasar.
Kemudian dia meraih majalah tersebut, menggulungnya dan mengikatnya dengan karet. Marie beranjak menuju tempat tidurnya. Dia berjongkok dan mengambil keranjang yang berada di dalam kolong kasur.
Sebuah keranjang berisi koran atau majalah yang memberitakan kemesraan Ferran dengan wanita yang sama beberapa tahun terakhir.
"Sudah penuh." gumamnya dengan tersenyum kecil.
"Sepertinya harus beli keranjang baru lagi."
Marie menarik napas dengan sekali hentak. Lalu dia berdiri, menjatuhkan dirinya di kasur.
"Jika Marie memakai logika seperti yang selalu Ferran katakan. Ferran tidak akan menyukainya kalau Marie gunakan untuk hubungan kita, Ferran."
Kemudian Marie menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh sampai kepalanya. Ia memejamkan matanya. Marie selalu menganggap jika pengkhianatan Ferran adalah mimpi. Saat bangun besok pagi, semua akan baik-baik saja seperti semula.
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m
Ferran sedang terdiam di balkon studio miliknya sembari mengisap sebuah rokok dengan memandangi lampu kota. Pikirannya menerawang. Sudah beberapa hari dia hampir tidak menemukan senyum tulus dari gadisnya, bersamaan dengan beredarnya foto skandal dirinya dan Shirin yang mencuat di media. Apa Marie mengetahui perselingkuhannya dengan Shirin? Tidak. Tidak. Tidak. Marie pasti tidak tau, gadisnya hanya sedang badmood seperti yang dia katakan. Ini juga bukan kali pertama Marie-nya bersikap aneh seperti ini. Tapi.... Perkataannya dia kemarin sangat tidak biasa. Secara tidak langsung Marie meminta putus dengan wajah.... Sendu. Bukan dengan cara polos seperti biasa.
"Kami sudah mendapatkan 500 tandatangan dari semua murid Pelita pak, untuk mengeluarkan Amanda keluar dari sekolah. Ini belum semua. Karena kelas XI IPA 2. Ingin keputusan lewat sidang yang melibatkan seluruh perwakilan sekolah." Dea menyerahkan sebuah proposal pada kepala sekolah. Sesuai permintaan Marie, mereka semua kini telah berkumpul di auditorium sekolah. Pak Adnan membenarkan kacamatanya sebelum memeriksa isi dokumennya. "Semuanya berisi tandatangan, pak." Pak Adnan menyerahkannya pada Ferran.  
Usis 5 tahun "Papa, Shirin mau boneka beruang paling besar itu!" Shirin menunjuk boneka yang di inginkannya pada Dion. Mereka sekeluarga sedang berjalan-jalan di mall. Termasuk Marie dan Nilam. "Iya sayang." Dion pun langsung memanggil seorang pramuniaga agar mengambilkannya. "
Marie mengecup bibir Ferran. Kecupan yang tidak sampai satu detik tapi membuat tubuh Ferran seperti tersengat aliran listrik. Seperti orang bodoh, tanpa sadar Ferran memegangi bibirnya, layaknya seseorang yang baru saja menerima ciuman pertamanya. Marie mengernyit. "Ciumannya tidak enak ya?" tanyanya ringan membuyarkan rasa terkejut Ferran. Ferran terkekeh. Untung saja pacarnya itu sangat
Ferran menghentikan mobilnya beberapa block dari rumah Marie. "Sayang, kamu yakin tidak mau aku antar sampai rumah?" Marie menggeleng. "Kan Ferran tau, kita masih backstreet." Marie mengusap pipi Ferran dengan lembut. Ferran menarik napas. Dia meraih tangan Marie di pipinya, lalu menciumnya. "Hati-hati."
15Mang Asep membukakan pintu mobil untuk Marie. Mulai sekarang ia diantar jemput oleh salah satu supir keluarganya itu. "Makasih, Mang Asep..." gumam Marie. "Hati-hati ya, Non... Semangat belajarnya." Mang Asep menatap prihatin pada Marie. Marie hanya tersenyum kecil. Dia pun berjalan gontai menuju kelasnya. Tubuhnya lemas dan masih gemetar akibat semalaman di kurung di gudang oleh Dion. Wajahnya sembab, mukanya pucat pasi dengan pipi lebam yang coba di tutupi oleh sebuah perban kecil, dan bibirnya terluka akibat gigitannya sendiri untuk meluapkan semua perasaannya.