15
Mang Asep membukakan pintu mobil untuk Marie. Mulai sekarang ia diantar jemput oleh salah satu supir keluarganya itu.
"Makasih, Mang Asep..." gumam Marie. "Hati-hati ya, Non... Semangat belajarnya." Mang Asep menatap prihatin pada Marie. Marie hanya tersenyum kecil. Dia pun berjalan gontai menuju kelasnya. Tubuhnya lemas dan masih gemetar akibat semalaman di kurung di gudang oleh Dion. Wajahnya sembab, mukanya pucat pasi dengan pipi lebam yang coba di tutupi oleh sebuah perban kecil, dan bibirnya terluka akibat gigitannya sendiri untuk meluapkan semua perasaannya.Ferran terus menggenggam tangan Marie, menunggu pacarnya itu untuk bangun. Ferran sedang sendirian di ruangan Marie karena Nilam sedang mengangkat telepon di luar ruangan. "Bangun sayang, Kamu sudah terlalu lama tidur..." Ferran mencium punggung tangan Marie dengan protective. Tiba-tiba Ferran merasakan jemari Marie bergerak. Baru saja akan mengeluarkan suaranya, Marie sudah membuka matanya dengan melotot. Bibirnya bergetar. Ferran yang melihat itu, langsung menarik tubuh Marie ke dalam pelukannya. Berusaha
Ferran meminum sampanye dengan sangat bosan. Dia sedang berada di pesta perayaan ulang tahun pernikahan orang tuanya, Abigail dan Aldrich yang ke 23. Andai saja dia bisa mengajak Marie ke pesta ini, dia tidak akan sebosan ini. Bahkan dia akan sangat bahagia dan bangga pada orang tuanya, teman dan kerabatnya yang hadir, memperkenalkan gadis secantik Marie sebagai pacarnya. Ferran menoleh saat merasakan seseorang bergelayut di lengannya. Shirin. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya wanita itu. "Menikmati sampanye." sahut Ferran sambil mengalihkan kembali p
"Aa----" Marie tidak bisa meneruskan teriakannya saat mulutnya dibekap oleh sebuah tangan. Dia didorong sampai membentur sebuah tembok. Marie meronta, dia ketakutan. Siapa orang gila yang berusaha menculiknya di tengah Bazar yang ramai? Tubuhnya di balik, Marie melotot saat mengetahui siapa pelakunya."Haii...." Sapa Ferran tanpa dosa dengan senyum manisnya, lelaki itu melepaskan cekalan tangannya di mulut Marie. "Ferran ihh..." Marie memukuli dada Ferran, "Nyebelin... Marie pikir penculik."&nbs
"KITA TAMPILKAN PERWAKILAN DARI KELAS XI IPA 2, THE PRINCESS." (Jennie : Shella, Rose : Sesil, Jisoo : Marie, Lisa : Icha) "Wihh gila, gue gak nyangka si Marie bisa seseksi itu kalo ngedance." "Cakep banget tuh anak kalo didandanin." "Dia mah emang cakep. Makanya anggota genk Blackcard banyak yang naksir si Marie." "Apalagi si Eza, gencar ba
"Ferran..." Panggil Marie entah untuk ke berapa kalinya. Yang jelas pacarnya itu tidak menggubrisnya dari tadi. Ferran terlihat sibuk sendiri mengompres pipi Marie yang ditampar dengan es batu. Padahal sudah tidak sakit sama sekali. Tamparan cewek Rocka tidak sekeras tamparan papanya. "Ferran, udah gak sakit, pipi Marie udah kedinginan...." Marie meraih tangan Ferran agar turun dari pipinya. "Beneran?" Marie mengangguk mengiyakan. Dia lega akhirnya Ferran membuka suaranya. &n
Marie menatap tegang pada Aldrich karena pernyataan Ferran yang lagi-lagi tanpa ragu mengakuinya sebagai pacar di depan ayahnya sendiri. Marie menunduk malu dengan wajah merah dan takut jika ia tidak akan disukai, karena Aldrich sedang menatapnya seperti penuh selidik. Marie mendesah dalam hati, mungkin Aldrich mengetahui tentang track recordnya di sekolah bagaimana?! Marie adalah murid yang jauh dari prestasi dengan segala kebodohan yang dia miliki. "Jangan tegang seperti itu, santai saja." kekeh Aldrich sambil mengusap bahu Marie.
Marie sedang berjalan di lorong sekolah menuju kelasnya. Saat melewati beberapa siswa di lorong sekolah kelas IPS, terutama siswa perempuan, Marie menatap mereka semua dengan mengernyit. Karena beberapa dari mereka berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya dengan tatapan mengejek. Marie memerhatikan dirinya dengan seksama. Takut kalau penampilannya aneh,- tapi tidak, Marie berpakaian rapi, bersih dan wangi seperti biasa. Marie menggeleng tidak peduli. Anak IPS memang terkadang sensitif dengan anak IPA. "Marie..."&nb
Marie membuka pintu rumahnya, dia baru pulang sekolah. Namun Marie langsung berlari ketika mendengar suara tangis dan ribut di ruang tamu. Marie terdiam, ia berdiri tidak jauh dari Shirin yang di tengah dipeluk oleh Dion sedangkan Nilam duduk di sebelah Shirin. "Pokoknya Shirin gak mau tau, Ferran harus kembali pada Shirin..., Papa harus bantu Shirin..." pinta Shirin dengan terisak pilu. Dion dan Nilam menatap pada Marie dengan tatapan yang berbeda. Nilam menatap Marie dengan bingung, sementara Dion dengan tatapan geramnya. &