Marie sedang berjalan di lorong sekolah menuju kelasnya. Saat melewati beberapa siswa di lorong sekolah kelas IPS, terutama siswa perempuan, Marie menatap mereka semua dengan mengernyit. Karena beberapa dari mereka berbisik-bisik sambil menatap ke arahnya dengan tatapan mengejek.
Marie memerhatikan dirinya dengan seksama. Takut kalau penampilannya aneh,- tapi tidak, Marie berpakaian rapi, bersih dan wangi seperti biasa.
Marie menggeleng tidak peduli. Anak IPS memang terkadang sensitif dengan anak IPA.
"Marie..."
&nb
Marie membuka pintu rumahnya, dia baru pulang sekolah. Namun Marie langsung berlari ketika mendengar suara tangis dan ribut di ruang tamu. Marie terdiam, ia berdiri tidak jauh dari Shirin yang di tengah dipeluk oleh Dion sedangkan Nilam duduk di sebelah Shirin. "Pokoknya Shirin gak mau tau, Ferran harus kembali pada Shirin..., Papa harus bantu Shirin..." pinta Shirin dengan terisak pilu. Dion dan Nilam menatap pada Marie dengan tatapan yang berbeda. Nilam menatap Marie dengan bingung, sementara Dion dengan tatapan geramnya. &
"Marie berangkat..." Ucap Marie pada Ferran. Tapi Ferran bergeming dengan tidak menggeser tubuhnya yang menghalangi jalan Marie. "Marie udah telat, tolong minggir sedikit..." Ferran menarik napasnya dalam. Tanpa melepaskan tatapannya dari Marie, Ferran pun menyingkir perlahan, memberikan ruang untuk Marie agar bisa keluar rumah menuju mobil yang sudah di siapkan oleh supirnya. _____________________________________
Ferran mengetuk-ngetuk bolpoinnya di meja rapat. Hari ini dia sengaja menggantikan sang ayah untuk mengikuti rapat Maxston Group dalam proyek terbaru mereka yang bekerja sama dengan Wiranata Group. Ferran memang sudah mengundurkan diri dari perusahaan dan memilih fokus mengurusi sekolah, setidaknya hanya selama dua tahun ke depan sampai Marie-nya lulus sekolah. Tapi hari ini dia menggunakan kekuasaannya sebagai seorang anak, dan Aldrich tidak bisa tidak mengizinkannya untuk menangani rapat penting hari ini. Ada hal penting yang harus Ferran selesaikan dengan Dion, ayah dari pacar sekaligus ayah dari mantan selingkuhannya. Hubungannya bersama Marie sudah terkuak, sekarang waktunya untuk meminta izin kepada Dion secara gentlemen untuk memacari put
Ferran menoleh pada Marie yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada apa, sayang?" Marie menatap ragu pada Ferran. "Ferran, Marie gugup. Gimana kalau keluarga Ferran gak suka sama Marie?" "Percaya padaku, mereka akan menyukai kamu. Kalau pun tidak, kamu coba lagi." Ferran tersenyum menggoda, "Ihh Ferran!" &
Senyum tidak lepas dari bibir Marie, saat memerhatikan Ferran yang tengah berdansa bersama salah satu neneknya, Oma Shopia. Suasana acara keluarga Ferran begitu hangat dengan anggota keluarga Ferran yang banyak, sangat ramai sekali. Dari pihak keluarga Daddy Ferran hanya memiliki nenek sama kakeknya, yaitu oma Karina dan Opa Damian karena Om Aldrich merupakan anak tunggal. Sementara dari pihak Mommy Ferran merupakan keluarga besar. Atuk Kenan dan Oma Shopia sebagai orang tua tante Abigail dan dua orang kakak, yang masing-masing sudah berkeluarga, Om Alex dan tante Maudy. Sedari tadi Marie berusaha melupakan insiden di meja makan yang kurang kondusif. Dimana dirinya cukup dipojokkan ol
"Lo kenapa sih Shel, senyam senyum terus dari tadi. Gak jelas!" tegur Icha. Marie dan ketiga sahabatnya, Shella, Sesil dan Icha, sedang berada di rooftop sekolah, menikmati makan siang mereka. "Bener! Sampe si pak Samsul gedek sama lo. Untung hari ini dia lagi baik. Coba kalo hitlernya lagi kumat?! Alamat lo bejemur di lapangan sampe pulang!" timpal Sesil. Shella menatap bergantian Marie, Sesil dan Icha dengan wajah ceria tidak terpengaruh omongan kedua sahabatnya. &
Hening. Marie mengatupkan bibirnya yang terpisah. Dia menelan salivanya dengan sangat kasar. Kerongkongannya kering. Dadanya berdebar kencang namun jantungnya bukan lagi seperti berdetak tapi dia sedang menari di dalam sarangnya. Ferran perjaka?? Ferran-nya masih perjaka?? Pacar-nya masih perjaka?? &nbs
Ferran membukakan pintu mobil untuk Marie. Lalu dia mengulurkan tangannya, Marie menyambut dan menggenggam tangan pacarnya itu. Keduanya berjalan dengan saling menggenggam menuju rumah Marie. Ferran mengantar Marie pulang setelah menghabiskan malam minggu bersama orang tua Ferran. Sangat menyenangkan, Abigail sang calon ibu mertua bisa berbaur meskipun terkadang masih terlihat judes padanya. Senyum pun tidak bisa menghilang dari bibir Marie. Dia merasa jika malam minggu ini adalah malam minggu terbaik sepanjang hidupnya. Ferran menekan bell rumah. Pintu terbuka, Bi Asih yang membukakannya. &nbs