Ferran mengetuk-ngetuk bolpoinnya di meja rapat. Hari ini dia sengaja menggantikan sang ayah untuk mengikuti rapat Maxston Group dalam proyek terbaru mereka yang bekerja sama dengan Wiranata Group.
Ferran memang sudah mengundurkan diri dari perusahaan dan memilih fokus mengurusi sekolah, setidaknya hanya selama dua tahun ke depan sampai Marie-nya lulus sekolah. Tapi hari ini dia menggunakan kekuasaannya sebagai seorang anak, dan Aldrich tidak bisa tidak mengizinkannya untuk menangani rapat penting hari ini. Ada hal penting yang harus Ferran selesaikan dengan Dion, ayah dari pacar sekaligus ayah dari mantan selingkuhannya. Hubungannya bersama Marie sudah terkuak, sekarang waktunya untuk meminta izin kepada Dion secara gentlemen untuk memacari putFerran menoleh pada Marie yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Ada apa, sayang?" Marie menatap ragu pada Ferran. "Ferran, Marie gugup. Gimana kalau keluarga Ferran gak suka sama Marie?" "Percaya padaku, mereka akan menyukai kamu. Kalau pun tidak, kamu coba lagi." Ferran tersenyum menggoda, "Ihh Ferran!" &
Senyum tidak lepas dari bibir Marie, saat memerhatikan Ferran yang tengah berdansa bersama salah satu neneknya, Oma Shopia. Suasana acara keluarga Ferran begitu hangat dengan anggota keluarga Ferran yang banyak, sangat ramai sekali. Dari pihak keluarga Daddy Ferran hanya memiliki nenek sama kakeknya, yaitu oma Karina dan Opa Damian karena Om Aldrich merupakan anak tunggal. Sementara dari pihak Mommy Ferran merupakan keluarga besar. Atuk Kenan dan Oma Shopia sebagai orang tua tante Abigail dan dua orang kakak, yang masing-masing sudah berkeluarga, Om Alex dan tante Maudy. Sedari tadi Marie berusaha melupakan insiden di meja makan yang kurang kondusif. Dimana dirinya cukup dipojokkan ol
"Lo kenapa sih Shel, senyam senyum terus dari tadi. Gak jelas!" tegur Icha. Marie dan ketiga sahabatnya, Shella, Sesil dan Icha, sedang berada di rooftop sekolah, menikmati makan siang mereka. "Bener! Sampe si pak Samsul gedek sama lo. Untung hari ini dia lagi baik. Coba kalo hitlernya lagi kumat?! Alamat lo bejemur di lapangan sampe pulang!" timpal Sesil. Shella menatap bergantian Marie, Sesil dan Icha dengan wajah ceria tidak terpengaruh omongan kedua sahabatnya. &
Hening. Marie mengatupkan bibirnya yang terpisah. Dia menelan salivanya dengan sangat kasar. Kerongkongannya kering. Dadanya berdebar kencang namun jantungnya bukan lagi seperti berdetak tapi dia sedang menari di dalam sarangnya. Ferran perjaka?? Ferran-nya masih perjaka?? Pacar-nya masih perjaka?? &nbs
Ferran membukakan pintu mobil untuk Marie. Lalu dia mengulurkan tangannya, Marie menyambut dan menggenggam tangan pacarnya itu. Keduanya berjalan dengan saling menggenggam menuju rumah Marie. Ferran mengantar Marie pulang setelah menghabiskan malam minggu bersama orang tua Ferran. Sangat menyenangkan, Abigail sang calon ibu mertua bisa berbaur meskipun terkadang masih terlihat judes padanya. Senyum pun tidak bisa menghilang dari bibir Marie. Dia merasa jika malam minggu ini adalah malam minggu terbaik sepanjang hidupnya. Ferran menekan bell rumah. Pintu terbuka, Bi Asih yang membukakannya. &nbs
"Marie.... Lo begonya gak ketulungan!" kata Rocka dengan emosi. Namun Marie tidak menimpali karena matanya yang sayup-sayup pun menutup dengan perlahan. Marie pingsan. ***** Marie membuka matanya perlahan, dan yang pertama dia lihat adalah wajah penuh lebam milik sabahat kecilnya, Rocka.
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Iya Ferran, nanyanya itu terus ih, bosen!" "Tapi kita mau pergi lumayan jauh, aku takut kamu kenapa-kenapa?!" "Ya ampun Ferran, yang sakit punggung Marie bukan kaki atau apapun yang bisa menghambat. Lagian Ferran nanyanya aneh, kita udah terbang jauh juga, kalau pun Marie mau balik lagisudah tanggung banget." cerocos Marie dengan kesal pada Ferran yang terus mengkhawatirkan punggungnnya yang cedera.  
"Kamu yakin tidak mau buka baju?" canda Ferran. Marie memukul lengan Ferran, "Ih mesum." "Selain melindungi perempuan, lelaki memang diciptakan untuk mesum." kilah Ferran sambil berkelit dari pukulan Marie. "Makin ke sini Ferran makin mesum." "Habis selain kamu gak ada yang bisa di mesumin lagi." celetuk Ferran dengan spontan.  
"Kondisi Marie semakin memburuk. Kita bisa kehilangan dia kapan saja. Aku benar-benar turut menyesal, Ferran." "Apa yang harus kulakukan untuknya?! Aku tidak ingin kehilangan dia, Kak." "Bahagiakan Marie di sisa waktunya. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang." Ferran menaikan dasinya sampai terpasang rapi di leher kemejanya. Mengambil sebotol minyak wangi favoritnya, lalu menyemprotkan ke sekitar jasnya barunya. Tidak hanya jas, semua pakaian dan sepatu yang dikenakannya hari ini semua baru. Setelah dirasa penampilannya sudah sangat rapi, Ferran memutar tubuh, berjalan keluar dari kamarnya.  
"Papa,-" Liam menengadahkan wajahnya ke atas, mencegah air matanya agar tidak turun. Menarik napas dalam sebelum menimpali ucapan lemah dari putrinya yang sudah siuman setelah beberapa hari tidak sadarkan diri pasca operasi. "Papa kamu baik-baik saja. Operasinya berhasil. Kamu berhasil menyelamatkan Papa Dion." Liam mencoba menampilkan senyum bersahajanya pada Marie. "Syukurlah..." bisik Marie. "Badan Marie sakit semua," keluh Marie dengan kedua sudut mata mengeluarkan air matanya.
Ferran memandangi pemandangan di depannya, di rooftop rumah sakit. Ia tengah menunggu. Menunggu Marie yang sedang melakukan operasi transplantasi hati pada Dion. Operasi sudah berlangsung selama hampir 5 jam, Axel mengatakan operasi yang di lakukan Marie dan Dion bisa berlangsung selama 6 sampai 12 jam. Ferran tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi antara Marie dan Dion, yang ia butuhkan kabar kalau operasi berhasil dan Marie-nya baik-baik saja. "Aku mencari kamu ke mana-mana,"
Ferran memperhatikan dengan seksama orang suruhannya yang sedang berbincang dengan Liam di depan pintu kamar inap milik Marie. Tak lama kemudian Liam pergi bersama dokter gadungan suruhannya itu. Ferran cukup bersyukur malam ini Marie hanya di jaga oleh Liam. Liam cukup pengertian, meskipun Ferran tau lelaki paruh baya itu sedang di kecoh oleh dirinya. Ferran keluar dari persembunyiannya setelah Liam sudah menghilang dari pandangannya. Dia pun berjalan dengan cukup tenang menuju kamar inap Marie. Ferran membuka pintu secara perlahan. Menutupnya dan menguncinya dari dalam. Bahkan Ferran mencuri kunci cadangan ruang inap Marie t
Ferran terus menghisap rokok di tangannya dengan pikiran yang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap, sampai asbak di depannya penuh. Ferran tersedak asap rokoknya sendiri. Dia terbatuk dengan memegangi dadanya. Kemudian tiba-tiba ada yang menyodorkan segelas air padanya. Ferran tidak langsung menerimanya, dia melirikan matanya pada si pelaku. Axel. Ferran pun menerima gelas tersebut lalu meminumnya. Axel mendudukkan dirinya di seberang Ferran.
"Hallo," "Kamu di mana? Sudah berjam-jam aku menunggu kamu pulang, Marie." todong Samuel begitu Marie mengangkat telepon darinya. "Marie masih sama Ferran,-" aku Marie dengan jujur. Dia melirikan matanya pada Ferran yang terlihat fokus menyetir. Tidak terpengaruh oleh Marie yang tengah menerima telepon dari Samuel. "Sebentar lagi Marie pulang kok. Maaf ya Kak..." Marie mendengar Samuel menghela napasnya dengan berat. &nb
Sampe segitunya lo nyari perhatian papa sama kakak angkat lo? Sampe-sampe lo mamfaatin Pak Ferran?" Marie tersenyum kecil. Namun tanpa ke empat gadis itu sadari, Ferran berada di belakang mereka. Ferran tersenyum kecut, kemudian dia berbalik, mengurungkan niatnya untuk makan bersama Marie dan teman-temannya di kantin. ____________________________________________________________________________________ Marie menggeleng, "Marie emang manfaatin Ferran buat mancing marahnya kak Shirin sama papa Dion,- tapi Marie
"Kamu masih belum ingin bicara padaku?" Ferran menoleh pada Marie yang berada di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ferran. Pagi-pagi sekali Ferran menjemputnya dengan membawa sekantong roti dan susu untuk opa Handoko. Dan kakek tua itu langsung melempar paper bagnya karena menurutnya Ferran membawa makanan untuk orang sakit, dan sama saja mendoakan dirinya cepat mati. Namun Ferran tidak menghiraukan sikap kakek tua itu atau menyanggah semua omongan opa Handoko. Ferran sedang malas berdebat, lebih memilih menyambar tangan Marie lalu menyeretnya ke dalam mobil. Marie tidak menyahut. Gadis itu memang masih ma
68Ferran, Shirin, Evan dan teman-temannya sedang berada di sebuah Club malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai model. "Cho, Nicholla gak dateng?" Tanya Erick salah satu temannya. "Udah tobat ke tempat ginian dia." jawab Ferran dengan asal sembari merogoh ponsel di saku celananya. Yang pasti, Nicholla tidak datang karena adiknya itu memang jarang bersosialisasi, dan hanya akan datang ke pesta yang menurutnya mewah. Ketika Ferran dan Evan mengajak Nicho