"Kamu yakin sudah tidak apa-apa?"
"Iya Ferran, nanyanya itu terus ih, bosen!"
"Tapi kita mau pergi lumayan jauh, aku takut kamu kenapa-kenapa?!"
"Ya ampun Ferran, yang sakit punggung Marie bukan kaki atau apapun yang bisa menghambat. Lagian Ferran nanyanya aneh, kita udah terbang jauh juga, kalau pun Marie mau balik lagi
sudah tanggung banget." cerocos Marie dengan kesal pada Ferran yang terus mengkhawatirkan punggungnnya yang cedera.
 
"Kamu yakin tidak mau buka baju?" canda Ferran. Marie memukul lengan Ferran, "Ih mesum." "Selain melindungi perempuan, lelaki memang diciptakan untuk mesum." kilah Ferran sambil berkelit dari pukulan Marie. "Makin ke sini Ferran makin mesum." "Habis selain kamu gak ada yang bisa di mesumin lagi." celetuk Ferran dengan spontan.  
"Haii..." Sapa Shirin dengan ramah. Ya, wanita itu adalah Shirin, kakak Marie sekaligus mantan selingkuhan Ferran. ***** Suasana menjadi sangat canggung, terutama untuk Ferran dan Marie. Mereka berdua duduk berdua bersama Shirin, Aldrich dan Abigail. "Kalian berapa lama akan liburan di Bali?" Tanya Shirin memulai pembicaraan. Shirin memang terlihat sangat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Apalagi Shirin juga terlihat biasa dengan kebersamaan Ferran dan Mari
"Tante, minta maaf Marie menoleh pada Abigail yang duduk di sampingnya. Keduanya sedang memerhatikan Ferran dan Aldrich yang tengah bermain jetski seusai sarapan "Tante harus mengakui ucapan tante kemarin sangat keterlaluan." Lanjut Abigail tanpa menghilangkan fokusnya pada anak dan suaminya yang sedang beradu cepat Marie tersenyum, "Tidak apa-apa, Tante. Marie ngerti, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Abigail terseyum kecil, menoleh pada Marie,&
BUGH!! Shirin membanting pintu kamarnya. Dion pun mengalihkan pandangannya pada Nilam dan Marie menuntut sebuah jawaban. Lalu tatapan berhenti pada Marie dengan menatapnya sangat tajam. Marie menatap getir pada Dion dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. "AKU BERTANYA ADA APA?!" Bentak Dion. Marie terlonjak kaget, sementara Nilam semakin menangis kencang dengan mempererat pelukannya pada Marie.
"Apa yang kamu katakan, kamu tidak punya hak untuk membawa putriku!!" Sergah Nilam hampir membentak. Kedua mata Ferran dan Nilam saling beradu tajam. "Sudah jelas dengan apa yang saya katakan. Saya akan membawa Marie dari rumah kalian." Tegas Ferran sekali lagi. "Tidak,-" Ucapan Nilam terpotong oleh deheman dari Axel. &nb
Ferran, Abigail dan Aldrich keluar dari mobilnya masing-masing. Di tangan Ferran sudah terdapat boneka sapi berukuran besar, sebuket bunga mawar putih, dan di saku celananya terdapat sekotak cincin yang berisi sepasang cincin. Ketiganya berjalan menuju rumah sakit, namun ternyata mereka disambut oleh beberapa wartawan dengan kamera dan juga cercaran pertanyaan mereka pada Ferran, Abigail dan Aldrich. "Kenapa bisa banyak wartawan di sini?" Bisik Abigail tidak suka. Dia memang paling anti dengan lampu sorot kamera wartawan. &nbs
Hening. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun saat Marie yang dengan tanpa ragu mengakui jati dirinya, menolak bertunangan dan juga meminta Ferran untuk mencari perempuan lain. Marie tidak ingin ada kebohongan. Jika Ferran dan keluarganya mengetahui fakta tersebut dari orang lain, mungkin akan membuat Ferran lebih syok. Marie menundukkan wajahnya, lalu dia menarik napas dengan kasar. Marie mengangkat wajahnya dengan senyum yang dia sunggingkan dengan manis.
Satu minggu kemudian Marie menggeliat, dia menguap dan membuka matanya secara perlahan di kala mendengar alarmnya berbunyi. Menandakan dia harus bangun, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah. Setelah matanya terbuka sempurna, bibirnya tersenyum lebar saat melihat sosok di sampingnya. Nilam dengan kue tart di tangannya, plus sebuah lilin kecil di atas kue tersebut. "Ma...," "Selamat ulang tahun, putri mama..."