"Haii..." Sapa Shirin dengan ramah.
Ya, wanita itu adalah Shirin, kakak Marie sekaligus mantan selingkuhan Ferran. ***** Suasana menjadi sangat canggung, terutama untuk Ferran dan Marie. Mereka berdua duduk berdua bersama Shirin, Aldrich dan Abigail. "Kalian berapa lama akan liburan di Bali?" Tanya Shirin memulai pembicaraan. Shirin memang terlihat sangat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Apalagi Shirin juga terlihat biasa dengan kebersamaan Ferran dan Mari"Tante, minta maaf Marie menoleh pada Abigail yang duduk di sampingnya. Keduanya sedang memerhatikan Ferran dan Aldrich yang tengah bermain jetski seusai sarapan "Tante harus mengakui ucapan tante kemarin sangat keterlaluan." Lanjut Abigail tanpa menghilangkan fokusnya pada anak dan suaminya yang sedang beradu cepat Marie tersenyum, "Tidak apa-apa, Tante. Marie ngerti, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Abigail terseyum kecil, menoleh pada Marie,&
BUGH!! Shirin membanting pintu kamarnya. Dion pun mengalihkan pandangannya pada Nilam dan Marie menuntut sebuah jawaban. Lalu tatapan berhenti pada Marie dengan menatapnya sangat tajam. Marie menatap getir pada Dion dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. "AKU BERTANYA ADA APA?!" Bentak Dion. Marie terlonjak kaget, sementara Nilam semakin menangis kencang dengan mempererat pelukannya pada Marie.
"Apa yang kamu katakan, kamu tidak punya hak untuk membawa putriku!!" Sergah Nilam hampir membentak. Kedua mata Ferran dan Nilam saling beradu tajam. "Sudah jelas dengan apa yang saya katakan. Saya akan membawa Marie dari rumah kalian." Tegas Ferran sekali lagi. "Tidak,-" Ucapan Nilam terpotong oleh deheman dari Axel. &nb
Ferran, Abigail dan Aldrich keluar dari mobilnya masing-masing. Di tangan Ferran sudah terdapat boneka sapi berukuran besar, sebuket bunga mawar putih, dan di saku celananya terdapat sekotak cincin yang berisi sepasang cincin. Ketiganya berjalan menuju rumah sakit, namun ternyata mereka disambut oleh beberapa wartawan dengan kamera dan juga cercaran pertanyaan mereka pada Ferran, Abigail dan Aldrich. "Kenapa bisa banyak wartawan di sini?" Bisik Abigail tidak suka. Dia memang paling anti dengan lampu sorot kamera wartawan. &nbs
Hening. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun saat Marie yang dengan tanpa ragu mengakui jati dirinya, menolak bertunangan dan juga meminta Ferran untuk mencari perempuan lain. Marie tidak ingin ada kebohongan. Jika Ferran dan keluarganya mengetahui fakta tersebut dari orang lain, mungkin akan membuat Ferran lebih syok. Marie menundukkan wajahnya, lalu dia menarik napas dengan kasar. Marie mengangkat wajahnya dengan senyum yang dia sunggingkan dengan manis.
Satu minggu kemudian Marie menggeliat, dia menguap dan membuka matanya secara perlahan di kala mendengar alarmnya berbunyi. Menandakan dia harus bangun, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah. Setelah matanya terbuka sempurna, bibirnya tersenyum lebar saat melihat sosok di sampingnya. Nilam dengan kue tart di tangannya, plus sebuah lilin kecil di atas kue tersebut. "Ma...," "Selamat ulang tahun, putri mama..."
Marie melangkahkan kakinya menuju kelas. Ia tetap menatap lurus saat melintasi kelas IPS, di mana para murid perempuan berbisik-bisik sambil menatap tidak suka padanya. Siapa lagi kalau bukan genknya Dhea. "Jadi sekarang lo itu tunangan pak Ferran?" Marie mencoba tidak menghiraukannya, namun dia berhenti ketika mendengar seruan Dhea selanjutnya. "Wah, nyonya pemilik sekolah sombong bener ya?! diajak ngomong kok nyelonong terus, gak sopan." Marie menoleh pada Dhea, &
Ferran mengecup lembut bibir Marie. "Terima kasih. Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman pertama kita ini." Marie mengangguk, Ferran menghapus air mata yang keluar dari sudut mata Marie. "Aku janji tidak akan pernah meninggalkan kamu." "Iya Ferran..." Ferran meraih pipi Mar