"Kamu yakin tidak mau buka baju?" canda Ferran.
Marie memukul lengan Ferran, "Ih mesum."
"Selain melindungi perempuan, lelaki memang diciptakan untuk mesum." kilah Ferran sambil berkelit dari pukulan Marie.
"Makin ke sini Ferran makin mesum."
"Habis selain kamu gak ada yang bisa di mesumin lagi." celetuk Ferran dengan spontan.
 
"Haii..." Sapa Shirin dengan ramah. Ya, wanita itu adalah Shirin, kakak Marie sekaligus mantan selingkuhan Ferran. ***** Suasana menjadi sangat canggung, terutama untuk Ferran dan Marie. Mereka berdua duduk berdua bersama Shirin, Aldrich dan Abigail. "Kalian berapa lama akan liburan di Bali?" Tanya Shirin memulai pembicaraan. Shirin memang terlihat sangat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Apalagi Shirin juga terlihat biasa dengan kebersamaan Ferran dan Mari
"Tante, minta maaf Marie menoleh pada Abigail yang duduk di sampingnya. Keduanya sedang memerhatikan Ferran dan Aldrich yang tengah bermain jetski seusai sarapan "Tante harus mengakui ucapan tante kemarin sangat keterlaluan." Lanjut Abigail tanpa menghilangkan fokusnya pada anak dan suaminya yang sedang beradu cepat Marie tersenyum, "Tidak apa-apa, Tante. Marie ngerti, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Abigail terseyum kecil, menoleh pada Marie,&
BUGH!! Shirin membanting pintu kamarnya. Dion pun mengalihkan pandangannya pada Nilam dan Marie menuntut sebuah jawaban. Lalu tatapan berhenti pada Marie dengan menatapnya sangat tajam. Marie menatap getir pada Dion dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. "AKU BERTANYA ADA APA?!" Bentak Dion. Marie terlonjak kaget, sementara Nilam semakin menangis kencang dengan mempererat pelukannya pada Marie.
"Apa yang kamu katakan, kamu tidak punya hak untuk membawa putriku!!" Sergah Nilam hampir membentak. Kedua mata Ferran dan Nilam saling beradu tajam. "Sudah jelas dengan apa yang saya katakan. Saya akan membawa Marie dari rumah kalian." Tegas Ferran sekali lagi. "Tidak,-" Ucapan Nilam terpotong oleh deheman dari Axel. &nb
Ferran, Abigail dan Aldrich keluar dari mobilnya masing-masing. Di tangan Ferran sudah terdapat boneka sapi berukuran besar, sebuket bunga mawar putih, dan di saku celananya terdapat sekotak cincin yang berisi sepasang cincin. Ketiganya berjalan menuju rumah sakit, namun ternyata mereka disambut oleh beberapa wartawan dengan kamera dan juga cercaran pertanyaan mereka pada Ferran, Abigail dan Aldrich. "Kenapa bisa banyak wartawan di sini?" Bisik Abigail tidak suka. Dia memang paling anti dengan lampu sorot kamera wartawan. &nbs
Hening. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun saat Marie yang dengan tanpa ragu mengakui jati dirinya, menolak bertunangan dan juga meminta Ferran untuk mencari perempuan lain. Marie tidak ingin ada kebohongan. Jika Ferran dan keluarganya mengetahui fakta tersebut dari orang lain, mungkin akan membuat Ferran lebih syok. Marie menundukkan wajahnya, lalu dia menarik napas dengan kasar. Marie mengangkat wajahnya dengan senyum yang dia sunggingkan dengan manis.
Satu minggu kemudian Marie menggeliat, dia menguap dan membuka matanya secara perlahan di kala mendengar alarmnya berbunyi. Menandakan dia harus bangun, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah. Setelah matanya terbuka sempurna, bibirnya tersenyum lebar saat melihat sosok di sampingnya. Nilam dengan kue tart di tangannya, plus sebuah lilin kecil di atas kue tersebut. "Ma...," "Selamat ulang tahun, putri mama..."
Marie melangkahkan kakinya menuju kelas. Ia tetap menatap lurus saat melintasi kelas IPS, di mana para murid perempuan berbisik-bisik sambil menatap tidak suka padanya. Siapa lagi kalau bukan genknya Dhea. "Jadi sekarang lo itu tunangan pak Ferran?" Marie mencoba tidak menghiraukannya, namun dia berhenti ketika mendengar seruan Dhea selanjutnya. "Wah, nyonya pemilik sekolah sombong bener ya?! diajak ngomong kok nyelonong terus, gak sopan." Marie menoleh pada Dhea, &
"Kondisi Marie semakin memburuk. Kita bisa kehilangan dia kapan saja. Aku benar-benar turut menyesal, Ferran." "Apa yang harus kulakukan untuknya?! Aku tidak ingin kehilangan dia, Kak." "Bahagiakan Marie di sisa waktunya. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang." Ferran menaikan dasinya sampai terpasang rapi di leher kemejanya. Mengambil sebotol minyak wangi favoritnya, lalu menyemprotkan ke sekitar jasnya barunya. Tidak hanya jas, semua pakaian dan sepatu yang dikenakannya hari ini semua baru. Setelah dirasa penampilannya sudah sangat rapi, Ferran memutar tubuh, berjalan keluar dari kamarnya.  
"Papa,-" Liam menengadahkan wajahnya ke atas, mencegah air matanya agar tidak turun. Menarik napas dalam sebelum menimpali ucapan lemah dari putrinya yang sudah siuman setelah beberapa hari tidak sadarkan diri pasca operasi. "Papa kamu baik-baik saja. Operasinya berhasil. Kamu berhasil menyelamatkan Papa Dion." Liam mencoba menampilkan senyum bersahajanya pada Marie. "Syukurlah..." bisik Marie. "Badan Marie sakit semua," keluh Marie dengan kedua sudut mata mengeluarkan air matanya.
Ferran memandangi pemandangan di depannya, di rooftop rumah sakit. Ia tengah menunggu. Menunggu Marie yang sedang melakukan operasi transplantasi hati pada Dion. Operasi sudah berlangsung selama hampir 5 jam, Axel mengatakan operasi yang di lakukan Marie dan Dion bisa berlangsung selama 6 sampai 12 jam. Ferran tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi antara Marie dan Dion, yang ia butuhkan kabar kalau operasi berhasil dan Marie-nya baik-baik saja. "Aku mencari kamu ke mana-mana,"
Ferran memperhatikan dengan seksama orang suruhannya yang sedang berbincang dengan Liam di depan pintu kamar inap milik Marie. Tak lama kemudian Liam pergi bersama dokter gadungan suruhannya itu. Ferran cukup bersyukur malam ini Marie hanya di jaga oleh Liam. Liam cukup pengertian, meskipun Ferran tau lelaki paruh baya itu sedang di kecoh oleh dirinya. Ferran keluar dari persembunyiannya setelah Liam sudah menghilang dari pandangannya. Dia pun berjalan dengan cukup tenang menuju kamar inap Marie. Ferran membuka pintu secara perlahan. Menutupnya dan menguncinya dari dalam. Bahkan Ferran mencuri kunci cadangan ruang inap Marie t
Ferran terus menghisap rokok di tangannya dengan pikiran yang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap, sampai asbak di depannya penuh. Ferran tersedak asap rokoknya sendiri. Dia terbatuk dengan memegangi dadanya. Kemudian tiba-tiba ada yang menyodorkan segelas air padanya. Ferran tidak langsung menerimanya, dia melirikan matanya pada si pelaku. Axel. Ferran pun menerima gelas tersebut lalu meminumnya. Axel mendudukkan dirinya di seberang Ferran.
"Hallo," "Kamu di mana? Sudah berjam-jam aku menunggu kamu pulang, Marie." todong Samuel begitu Marie mengangkat telepon darinya. "Marie masih sama Ferran,-" aku Marie dengan jujur. Dia melirikan matanya pada Ferran yang terlihat fokus menyetir. Tidak terpengaruh oleh Marie yang tengah menerima telepon dari Samuel. "Sebentar lagi Marie pulang kok. Maaf ya Kak..." Marie mendengar Samuel menghela napasnya dengan berat. &nb
Sampe segitunya lo nyari perhatian papa sama kakak angkat lo? Sampe-sampe lo mamfaatin Pak Ferran?" Marie tersenyum kecil. Namun tanpa ke empat gadis itu sadari, Ferran berada di belakang mereka. Ferran tersenyum kecut, kemudian dia berbalik, mengurungkan niatnya untuk makan bersama Marie dan teman-temannya di kantin. ____________________________________________________________________________________ Marie menggeleng, "Marie emang manfaatin Ferran buat mancing marahnya kak Shirin sama papa Dion,- tapi Marie
"Kamu masih belum ingin bicara padaku?" Ferran menoleh pada Marie yang berada di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ferran. Pagi-pagi sekali Ferran menjemputnya dengan membawa sekantong roti dan susu untuk opa Handoko. Dan kakek tua itu langsung melempar paper bagnya karena menurutnya Ferran membawa makanan untuk orang sakit, dan sama saja mendoakan dirinya cepat mati. Namun Ferran tidak menghiraukan sikap kakek tua itu atau menyanggah semua omongan opa Handoko. Ferran sedang malas berdebat, lebih memilih menyambar tangan Marie lalu menyeretnya ke dalam mobil. Marie tidak menyahut. Gadis itu memang masih ma
68Ferran, Shirin, Evan dan teman-temannya sedang berada di sebuah Club malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai model. "Cho, Nicholla gak dateng?" Tanya Erick salah satu temannya. "Udah tobat ke tempat ginian dia." jawab Ferran dengan asal sembari merogoh ponsel di saku celananya. Yang pasti, Nicholla tidak datang karena adiknya itu memang jarang bersosialisasi, dan hanya akan datang ke pesta yang menurutnya mewah. Ketika Ferran dan Evan mengajak Nicho