Ferran terus menghisap rokok di tangannya dengan pikiran yang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap, sampai asbak di depannya penuh.
Ferran tersedak asap rokoknya sendiri. Dia terbatuk dengan memegangi dadanya. Kemudian tiba-tiba ada yang menyodorkan segelas air padanya. Ferran tidak langsung menerimanya, dia melirikan matanya pada si pelaku. Axel. Ferran pun menerima gelas tersebut lalu meminumnya. Axel mendudukkan dirinya di seberang Ferran.Ferran memperhatikan dengan seksama orang suruhannya yang sedang berbincang dengan Liam di depan pintu kamar inap milik Marie. Tak lama kemudian Liam pergi bersama dokter gadungan suruhannya itu. Ferran cukup bersyukur malam ini Marie hanya di jaga oleh Liam. Liam cukup pengertian, meskipun Ferran tau lelaki paruh baya itu sedang di kecoh oleh dirinya. Ferran keluar dari persembunyiannya setelah Liam sudah menghilang dari pandangannya. Dia pun berjalan dengan cukup tenang menuju kamar inap Marie. Ferran membuka pintu secara perlahan. Menutupnya dan menguncinya dari dalam. Bahkan Ferran mencuri kunci cadangan ruang inap Marie t
Ferran memandangi pemandangan di depannya, di rooftop rumah sakit. Ia tengah menunggu. Menunggu Marie yang sedang melakukan operasi transplantasi hati pada Dion. Operasi sudah berlangsung selama hampir 5 jam, Axel mengatakan operasi yang di lakukan Marie dan Dion bisa berlangsung selama 6 sampai 12 jam. Ferran tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi antara Marie dan Dion, yang ia butuhkan kabar kalau operasi berhasil dan Marie-nya baik-baik saja. "Aku mencari kamu ke mana-mana,"
"Papa,-" Liam menengadahkan wajahnya ke atas, mencegah air matanya agar tidak turun. Menarik napas dalam sebelum menimpali ucapan lemah dari putrinya yang sudah siuman setelah beberapa hari tidak sadarkan diri pasca operasi. "Papa kamu baik-baik saja. Operasinya berhasil. Kamu berhasil menyelamatkan Papa Dion." Liam mencoba menampilkan senyum bersahajanya pada Marie. "Syukurlah..." bisik Marie. "Badan Marie sakit semua," keluh Marie dengan kedua sudut mata mengeluarkan air matanya.
"Kondisi Marie semakin memburuk. Kita bisa kehilangan dia kapan saja. Aku benar-benar turut menyesal, Ferran." "Apa yang harus kulakukan untuknya?! Aku tidak ingin kehilangan dia, Kak." "Bahagiakan Marie di sisa waktunya. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang." Ferran menaikan dasinya sampai terpasang rapi di leher kemejanya. Mengambil sebotol minyak wangi favoritnya, lalu menyemprotkan ke sekitar jasnya barunya. Tidak hanya jas, semua pakaian dan sepatu yang dikenakannya hari ini semua baru. Setelah dirasa penampilannya sudah sangat rapi, Ferran memutar tubuh, berjalan keluar dari kamarnya.  
"STOP!!!" Refleks Ferran dan Evan berhenti ketika tiba-tiba seorang gadis berseragam SMA menghalagi jalan keduanya dengan merentangkan kedua tangan. Ferran mengernyitkan keningnya, memerhatikan gadis itu dari atas sampai bawah. Gadis SMA itu berpenampilan lucu dengan rambut kuncir dua yang dihiasi pita merah muda cukup besar, namun tidak mengurangi kecantikan gadis blasteran beriris hijau itu. Gadis itu
"Jadi misi kalian buat ngelabrak Ferran gagal?" "Gatot alias gagal total!" sahut Sisil. "Lo semua emang gak bisa diandelin!" hardik Shella si ketua genk. Menatap satu persatu ketiga temannya, Marie, Sisil dan Icha secara bergantian. Mereka bertiga sedang berjalan menuju kantin. "Ini semua gara-gara Marie. Bukannya ngelabrak malah kenalan." tukas Icha. Shella langsung menyorot tajam pada Marie memin
Bubar sekolah, Marie langsung menuju ruang guru untuk menemui guru matematikanya Bu Avi. Ia kabur dari teman-temannya yang sejak istirahat, selama jam pelajaran membahas sikap Ferran di kantin. 2 kali lelaki itu kedapatan mengelus puncak kepalanya. Yang terparah di kantin tadi, disaksikan oleh hampir seluruh murid di sekolah. Marie mendengkus dalam hati, kenapa lelaki itu harus bersikap seperti itu di depan banyak orang?! Genit! Ketika sampai di ruang guru, Marie segera mengatur napasnya. Ia memang mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan kakinya. Kenapa ia melarikan diri ke ruang guru karena Marie terkena remidi lagi. Kali ini masih mending nilainya 3, bukan bebek lagi.
Marie berjalan sendirian sepulang sekolah. Ia tidak bisa naik angkot karena tidak memiliki uang. Uangnya habis dipinjam oleh teman sekelasnya untuk ongkos pulangnya dia. Kasihan. Tapi ternyata Marie sedang sial. Ia berusaha menelepon papanya minta di jemput, tapi tidak diangkat. Mungkin papa sangat sibuk. Ia menelepon mamanya, lagi arisan. Kemudian alternatif terakhir, Marie menelepon kakaknya, tapi ternyata kakaknya masih ada kelas di kampusnya lalu menyuruhnya untuk ke sana. Terpaksa Marie menuju kampus kakaknya, Shirin. Jaraknya lumayan, 2 km dari sekolahnya. Masih mendinglah, daripada harus pulang berjalan kaki ke rumah yang berjarak 10 km. Bisa-bisa Marie ngesot nyampe rumah.